Jakarta, Aktual.com – Kalau perjuangan bersenjata melawan Belanda kita mengenal Jenderal Sudirman, Kolonel Abdul Haris Nasution dan Letnan Kolonel Suharto, di medan diplomasi ada 4 pemuda Indonesia yang tak kalah jasannya dalam perjuangan memperoleh pengakuan dunia internasional sebagai negara merdeka. Mereka itu adalah L.N Palar, Sudarpo Sastrosatomo, Sumitro Joyohadikusmo dan Sujatmoko.
Kiprah para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia antara 1945-1949 seakan bertumpu sepenuhnya melalui perjuangan bersenjata dan peran penting Tentara Nasional Indonesia. Padahal, perjuangan kemerdekaan RI melalui sarana diplomasi yang dilakukan anak-anak bangsa, juga memainkan peran yang cukup strategis. Sebagaimana tergambar melalui riwayat hidup salah seorang pelakunya, Sudarpo Sastrosatomo.
Salah satu yang terdokumentasi secara lengkap dalam berbagai arsip terkait sejarah diplomasi kita adalah, kiprah para diplomat Indonesia di New York, Amerika Serikat. Pada 15 Mei 1948, Sudarpo Sastrosatomo ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk segera memperkuat delegasi Indonesia sebagai Peninjau Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dipimpin oleh L.N Palar, di New York, Amerika Serikat. Bergabung juga dalam delegasi Indonesia adalah Sujatmoko dan Sumitro Joyohadikusumo.
Namun pada perkembangannya, yang bertugas di New York maupun dalam melakukan persuasi diplomatik terhadap Departemen Luar Negeri AS adalah Sumitro dan Sudarpo. Sedangkan Palar dan Sujatmoko bermanuver di Paris, tempat berlangsungnya Sidang Umum PBB membahas agresi militer Belanda terhadap RI.
Di New York, Sudarpo semula berkantor di Wall Street No.40, di tengah kawasan finansial. Kantor tersebut diperoleh delegasi Indonesia berkat bantuan Mathew Fox dan kawan-kawannya. Pada September 1948, martabat kita secara diplomatik semakin menguat ketika perwakilan Indonesia berkantor di Empire State Building. Hal ini setidaknya menggambarkan betapa lihainya para diplomat kita bermanuver di negera yang kala itu mulai bangkit sebagai negara adidaya baru menggantikan Inggris.
Salah seorang anggota delegasi perwakilan RI yang punya andil besar dalam merintis terbangunnya jaringan pendukung perjuangan diplomasi kita adalah Sumitro Joyohadikusumo, yang kelak di tanah air dikenal sebagai salah seorang pakar ekonomi dan perintis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Ketika delegasi Indonesia mula-mula tiba di Amerika tak ada seorangpun di dunia bisnis yang mau melirik Indonesia. Namun kemudian muncullah Matthew Fox, seorang produser film dan Wakil Presiden Universal Picture di New York, yang berpikir bisa mengusahakan bisnis di Indonesia yang setaraf dengan garis besar kontrak perdagangan luar negeri. Dr Sumitro Joyohadikusumo kala itu diberi wewenang penuh untuk menandatangani kontrak, dengan memberikan Matthew Fox monopoli perdagangan antara RI dengan Amerika Serikat.
Inilah yang menjadi landasan bagi Sumitro kemudian merintis pembentukan sebuah perusahaan bersama Indonesia-American Corporation. Perusahaan ini berdomisili di Delaware Amerika Serikat dengan cabang-cabangnya di New York, Singapura, dan Bukittinggi (Sumatera Barat, Indonesia).
Menurut kesaksian Sudarpo yang kala itu sudah bergabung dengan ring satu Sumitro di delegasi perwakilan RI di New York, kesepakatan Sumitro-Fox sebenarnya sangat ditentang oleh Departemen Luar Negeri RI. Padahal melalui skema kontrak kerjasama ini, delegasi Indonesia memperoleh cukup banyak devisa. Bahkan bukan itu saja. Melalui hubungan RI-AS yang terjalin lewat perantaraan Matthew Fox, delegasi Indonesia di Amerika bisa mengembangkan dan memperluas jaringan kontaknya dengan banyak kalangan.
Sayangnya, dokumen kerjasama ini bocor, dan Departemen Luar Negri Amerika menentang keras kesepakatan ini. Karena menurut Departemen Luar Negeri Amerika, pemerintah Amerika belum dapat mengakui kontrak Sumitro-Fox karena Indonesia dan Belanda masih dalam keadaan sengketa. Tentu saja ini menggambarkan situasi ketika itu yang mana Washington masih cenderung pro Belanda ketimbang terhadap Republik.
Kalau kita cermati saat ini, nampaknya ini merupakan langkah terobosan yang luarbiasa cerdas dari para diplomat kita di New York ketika itu, khususnya Sumitro. Betapa tidak. Melalui kontrak tersebut, bisa dipandang sebagai upaya memperoleh klaim pertama terhadap produk-produk di wilayah Indonesia dan memonopoli seluruh perdagangan. Seraya menciptakan perseroan tersebut sebagai satu-satunya pelaku khusus Republik Indonesia untuk berunding dengan kelompok-kelompok kepentingan Amerika.
Dalam memorandumnya yang disampaikan kepada pemerintah Amerika, Sumitro menjelaskan, Perusahaan Indonesia-Amerika itu akan merupakan penghubung dan organisasi service dengan kantor penjualan Republik di Amerika dari barang-barang Republil melalui prosedur yang biasa di Amerika.
Pada tataran inilah Sudarpo memainkan peran sentral dalam skema kerjasama RI-AS yang dirancang Sumitro tersebut. Sudarpo ditugasi mengelola devisa delegasi Indonesia yaitu hasil perdagangan luar negeri RI. Tak heran jika Belanda yang waktu itu bermaksud kembali menjajah Indonesia menyusul kekalahan Jepang atas tentara Sekutu, menilai kegiatan bisnis delegasi Indonesia itu sebagai “penyelundupan.” Padahal sebenarnya merupakan perdagangan dalam komoditas ekspor yang lazim seperti karet, kopi, dan juga opium.
Bicara soal opium, Pemerintah Belanda punya pabrik candu di Salemba, Jakarta(tempat fakultas ekonomi UI sekarang). Ketika Jepang berkuasa di Indonesia antara 1942-1945, Jepang tidak menyentuh pabrik itu sama sekali. Ketika Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, RI kemudian mengangkut semua stok candu yang ada di pabrik itu ke Yogyakarta. Dari Yogya opium itu dibawa ke Singapura dan Malaya(belakangan jadi Malaysia). Di sana ada banyak pembelinya yang berasal dari Cina yang memang gemar madat. Dan entah apa alasannya, pemerintah kolonial Inggris di Singapura, ternyata bersikap toleran terhadap masuknya candu dari daerah Republik Indonesia.
Penghasilan dari hasil penjualan candu itu kemudian dikirim melalui New York ke perwakilan-perwakilan RI di tempat-tempat laon untuk membiayai kebutuhan operasi mereka. Tak heran jika Sudarpo yang ditugasi mengelola devisa delegasi Indonesia, memiliki dana yang cukup lumayan besar untuk diinvestasikan. Atas saran seorang temannya, agar Sudarpo meminta nasehat Banker’s Trust. Untuk mencegah agar dana tersebut tidak disita Belanda, Sudarpo menaruh dana-dana tersebut dalam sebuah rekening bank yang nasabah-nasabahnya semua adalah fiktif. Namun dengan kekuatan notaris dia dapat menarik rekening sewaktu-waktu. Selain itu, beberapa dana disimpan dalam sebuah safety deposit box.
Pada 1950, ketika Indonesia resmi mendapat pengakuan de jure sebagai Negara merdeka, Banker’s Trust menjadi koresponden bank pertama dari Bank Negara Indonesia(BNI).
Kalau menyimak penuturan dan kesaksian Sumitro sendiri dalam biografinya, skema kerjasama RI-Fox bertujuan agar Indonesia bisa menggalang hubungan dengan kalangan swasta Amerika, guna menyediakan berbagai kebutuhan rakyat negeri itu. Sebaliknya pihak swasta Amerika dihadapkan dapat memenuhi kebutuhan barang-barang konsumsi dan produksi pemerintah Indonesia.
Pada fase-fase awal perjuangan diplomasi Indonesia, sambutan Departemen Luar Negeri AS benar-benar amat meremehkan Indonesia. “Pejabat di State Department yang mengurus Indonesia bernama William Byrd Sterling Lacy Jr. Ia seorang yang berasal dari daerah selatan Amerika Serikat. Rambutnya merah, punya jambang dan kumis, perilakunya bagai seorang pangeran. Dia sopan tapi tidak terlalu ramah. Dia amat pro Belanda, begitu kenang Sudarpo.”
Setelah aksi militer Belanda kedua, yang membawa akibat ditangkapnya Sukarno, Mohammad Hatta, Agus Salim dan Sutan Sjahrir dan membuangnya ke luar Jawa, Lacy dinaikkan pangkatnya menjadi kepala urusan Asia Tenggara. Waktu anggota-anggota delegasi RI datang, Lacy membiarkan mereka menunggu 45 menit lamanya. Ketika masuk ke dalam ruangan mereka lihat Lacy melepaskan jasnya, kancing-kancing rompinya tidak tertutup dan sepatunya ditanggalkan. Dia berkata: “Apakah ada yang berharga dibicarakan? Republik tidak ada lagi. Pemimpin-pemimpin kalian sudah ditangkap. Tidak ada republik.”
Menghadapi sikap dan perilaku orang-orang Amerika semacam itu, yang menampilkan diri mereka sebagai arus utama dan penuh penghinaan, Sudarpo malah makin teguh keyakinannya bahwa dia harus berjuang melawan rintangan-rintangan yang menghadangnya dan bahwa dia harus bertumbuh melawan arus.
Maka meskipun secara militer Belanda berhasil menduduki Yogyakarta, namun manuver diplomatik Indonesia di New York justru malah mendapatkan momentumnya untuk semakin gencar membangun opini publik di dunia internasional. Apalagi ketika terjadi serangan umum selama umum 1 Maret 1949 dan menduduki Yogyakarta selama 6 jam, Delegasi Indonesia memanfaatkan serangan 1 Maret 1949 untuk menyatakan di forum PBB bahwa Indonesia masih ada, sekalipun Sukarno-Hatta telah ditawan di Bangka.
Akhirnya tindakan Belanda berhasil dibendung berkat usaha yang dipimpin oleh L.N Palar dengan dibantu oleh Sumitro Joyohadikusumo, Sujatmoko, dan Sudarpo. Dewan Keamanan PBB telah menggariskan penyelesaian masalah Indonesia. Belanda harus berunding lagi dengan Indonesia. Seraya menegaskan bahwa tidak benar kalau Indonesia sudah sirna. Sukarno-Hatta memang masih ditawan di pulau Bangka tapi posisi mereka berdua sebagai presiden dan wakil presiden merangkap perdana menteri RI justru semakin penting.
Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 28 Januari 1949 mengatur hal-hal berikut:
Pertama, segera hentikan semua operasi militer oleh pemerintah Belanda dan perang gerilya oleh pengikut-pengikut Republik Indonesia; Kedua, dibebaskannya segera dan tanpa syarat oleh pemerintah Belanda terhadap semua tahanan politik yang ditangkap Belanda sejak 17 Desember 1948 di Republik Indonesia; Ketiga, kembalinya segera para pejabat Republik Indonesia ke Yogyakarta supaya mereka dapat melaksanakan tanggungjawab mereka berkaitan dengan dihentikannya permusuhan dan melakukan fungsi-fungsi mereka yang tepat dalam kebebasan penuh; Keempat, perundingan-perundingan antara para wakil Belanda Republik Indonesia, menuju kepada terbentuknya sebuah pemerintah federal sementara selambat-lambatnya pada 15 Maret 1949
Resolusi PBB Januari 1949 itu pada perkembangannya menjadi landasan menuju terselenggaranya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, yang mana pada akhirnya Indonesia secara de jure menjadi negara merdeka pada Desember 1949.
Tanpa mengurangi apresiasi kita terhadap perjuangan bersenjata TNI dan seluruh milisi bersenjata kita di tanah air, hasil gilang gemilang diplomasi kita di luar negeri untuk memperoleh pengakuan internasional terhadap Negara Republik Indonesia, berkat kerja Public Relations yang cerdas dan penuh ketrampilan dari empat serangkai L.N Palar, Sudarpo Sastrosatomo, Sumitro Joyohadikusumo dan Sujatmoko.
(Hendrajit)
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit





















