Jakarta, Aktual.com — Kalau mau mencari inspirasi dengan menelisik khazanah intelektual bangsa kita, pelajari dan simak Muhammad Yamin. Imajinasinya soal nusantara boleh juga. Menurut Yamin, wilayah Indonesia itu sebetulnya mencakup seluruh Hindia Belanda Semenanjung Malaya, Kalimantan Utara, Timor Portugis, Irian dan Papua Nugini. Suatu gagasan yang sekaliber Bung Karno atau Bung Hatta pun belum berani menggagas sejauh itu.

Usulan Yamin memang akhirnya ditolak dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dipimpin oleh Dr Rajiman Widyodiningrat.

Dalam kongres Pemuda Indonesia II yang berlangsung antara 26-28 Oktober 1928, Yamin lah penyusun draf yang kelak kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Yamin kala itu baru berusia 25 tahun. Dalam kongres ini, Yamin hadir mewakili Jong Sumatranen Bond, dan di kongres ini beliau diberi amanah sebagai sekretaris.

Adalah Yamin juga yang mengusulkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan,sebagai bahasa persatuan, dalam Kongres Pemuda Indonesia I pada 30 April-2 Mei 1926.

Muhamad Yamin yang lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 22 Agustus 1903. Selain sebagai salah satu tokoh sentral Kongres Pemuda Indonesia I dan II, Yamin juga merupakan salah satu pemain kunci dalam Sidang BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Bahkan kemudian dipercaya duduk sebagai salah satu anggota Panitia Sembilan bersama Bung Karno, Bung Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Achmad Subardjo, Abdul Kahar Muzakkir dan Haji Agus Salim.
Melalui Panitia Sembilan inilah, kelak menghasilkan yang sekarang kita kenal sebagai Piagam Jakarta.

Kembali ke era 1930-an, Yamin memang sangat berobsesi tentang persatuan Indonesia. Dalam pidatonya di Kongres Pemuda Indnesia II 27 Oktober 1928, Yamin mengangkat topik: Persatuan dan Kebangsaan Indonesia.

Pada Kongres Indonesia Muda pada 28 Desember 1930-2 Januari 1931, Yamin mengangkat topik: Kebangunan Bangsa Indonesia. Menyamakan kebangunan menuju Indonesia Raya dengan Renaissance di Eropa.

Yamin memang punya multi-bakat. Pencipta lirik lagu Indonesia Raya, meskipun Wage Rudolf Supratman yang menyusun notasinya, sehingga WR Supratmanlah yang lebih dikenal sebagai pencipta Lagu kebangsaan Indonesia Raya. Yamin juga pencipta semboyan Indonesia Merdeka Sekarang. Dan Perumus Lambang Garuda.

Di era kemerdekaan, beberapa kali dipercaya sebagai menteri. Pada 1951, Menteri Kehakiman pada Kabinet Sukiman-Suwiryo. Pada 1953 menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Pada 1957, Mentteri Negara pada Kabinet Juanda. Selanjutnya Menteri Sosial-Kulturil pada 1959. Dan Menteri/Ketua Dewan Perancang Nasional kabinet inti pada 1960.

Yamin menikah pada September 1926, dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmojo, seorang anggota Keputrian Indonesia Muda dan Guru Kweekschool di Surakarta.
Beberapa kalangan sempat menilai bahwa pernikahannya dengan seorang ningrat Jawa inilah, yang mendorong minat dan ketertarikannya dengan budaya nusantara, utamanya Jawa. Minatnya yang besar dalam bahasa Sansekerta besar kemungkinan karena interaksinya dengan budaya Jawa. Dan karena apresiasinya yang tinggi pada budaya nusantara, termasuk dalam mengkaji kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, telah menginspirasi dirinya untuk mengangkat wacana Persatuan Indonesia.

Bahkan menjadi semacam obsesi, bukan sekadar cita-cita. Ungkapannya yang terkenal: “Biar Majapahit dan Sriwijaya tenggelam tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia Kekal Abadi ke akhir Zaman.

Napak Tilas Tumbuhnya Minat Yamin Kepada Sastra Timur
Namun jika menelisik kembali riwayat hidupnya, minat dan ketertarikannya pada budaya nusantara justru mulai tumbuh jauh-jauh hari sebelum pernikahannya dengan ibu Sundari yang putri Solo ini. Minat dan ketertarikannya pada kejayaan budaya nusantara sudah dimulai sejak 1926, ketika Yamin menempuh pendidikan di Algemene Middelbare School atau AMS A!(setingkat dengan Sekolan Menengah Atas). Kala itu, AMS A1 Solo termasuk sekolah favorit dan tidak sembarangan orang bisa masuk sekolah ini. Yamin, menurut analisis peneliti sejarah kota Solo Hery Priyatmoko, bisa masuk sekolah ini berkat pemberian beasiswa.

Sekadar informasi. Solo pada 1925, ketika Yamin mulai bermukim di Solo, merupakan “Jantung Pulau Jawa.” Di sinilah Yamin mulai mempelajari Sastra Timur atau yang dalam istilah Belanda Oostersch Letterkundige), termasuk kesusteraan Jawa dan Melayu. Barang tentu, termasuk kebudayaan Indonesia dan juga sejarah kesenian. Salah satu mentor dan gurunya dalam menekuni studi ini adalah Raden Tumenggung Yasawidagda, salah seorang pengarang sastra Jawa yang cukup produktif kala itu. Bahkan Raden Yasawidagda juga menuntun Yamin belajar adat, tata cara, dan bahasa Jawa.

Mengingat kedekatan pendiri AMS Solo EF Stutterheim (arkeolog terkenal Belanda dan ahli kebudayaan kuno Indonesia) dengan raja Surakarta Mangkunegara VII, maka pada perkembangannya Yamin pun menjalin hubungan akrab dengan Mangkunegara VII dan para bangsawan Mangkunegaran lainnya.

Banyak kalangan perintis kemerdekaan Indonesia seperti Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir yang pandai berbahasa Belanda, Jerman dan Perancis. Tapi Yamin, punya bakat khusus yang tak ada bandingannya dengan para perintis kemerdekaan lainnya. Yaitu kemampuannya dalam menguasai bahasa Sansekerta, yang beliau pelajari dari Profesor Purbacaraka di luar jam sekolah di AMS Solo.

Minat dan ketertarikannya pada sastra Jawa dan Melayu maupun sastra timur pada umumnya, tidak berhenti hanya untuk dipelarji melalui buku-buku, melainkan beliau ekspresikan dalam beberapa karya tulis. Pada 1929, Yamin menulis sebuah soneta bertajuk Indonesia Tumpah Darahku. Pada 1934, menulis naskah drama, Ken Arok dan ken Dedes. Bahkan pada 1948, lebih spektakuler lagi. Menulis novel sejarah, Gajah Mada. Adapun akibat pendalamannya dalam studi-studi semasa kekuasaan kerajaan Majapahit, pada 1962 Yamin menulis buku: “Tatanegara Majapahit-Sapta Purwa. Kalau tidak salah ada 44 buku yang sudah ditulis Yamin.

Namun keliru jika berpandangan minat dan ketertarikan Yamin dalam mendalami budaya nusantara maupun sastra Timur dipantik di kota Solo. Jauh-jauh hari sebelum itu, ketika masih berusia 17 tahun, dan masih mukim di kampung halamannya, Sumtara Barat, Yamin sudah bisa menciptakan sebuah puisi.

Inilah sepenggal bait puisi karya Muhammad Yamin bertajuk “Tanah Air:
Pada batassan, Bukit Barisan
Memandang Aku, ke bawah memandang
Tampaklah hutan, rimba, dan ngarai
Lagipun Sawah, sungapi yang permai
Serta gerangan, lihatlah pula
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa
Itulah tanah, tanah airku
Sumetara namanya, tumpah darahku.

Menurut beberapa kritikus sastra, Tanah Air merupakan tonggak perjalanan Yamin sebagai sastrawan. Melalui majalah berbahasa Belanda Jong Sumatera, media berkala yang diterbitkan oleh organisasi pemuda Sumetara Jong Sumatranen Bond, Nomor IV Tahun III, 1920, Yamin telah mengguncang jagat sastra di Tanah Air, dengan memperkenalkan pakem baru dalam perpuisian dengan mengesampingkan pakem lama yang berjumlah enam atau delapan baris. Puisi Tanah Air terdiri dari tiga bait. Satu bait bisa sembilan baris atau jumlahnya ganjil, bukan genap. Bentuk puisi baru inilah yang kemudian dikenal dengan Soneta. Nampaknya Yamin diinspirasi oleh sajak yang lahir di Italia pada abad ke-12 dan berkembang di Eropa hingga sekarang. Kita boleh suka atau tidak suka, namun faktanya Yamin di ranah kesusteraan khususnya puisi, termasuk seorang trend setter.

Muhammad Yamin di Ranah Pergerakan Politik
Putra kelahiran Talawi-Sumetara Barat dan lulusan Sekolah Tinggi Hukum Jakarta(RHS) ini memang sosok yang punya aneka bakat(multi-talent). Selain punya otoritas di ranah kebudayaan, Yamin juga berkiprah di dunia politik sejak 1926 hingga akhir hayatnya.
Ketika aktif memprakarsai Kongres Pemuda Indonesia I(1926) dan Kongres Pemuda Indonesia II(1928), Yamin masih berusia 23 dan 25 tahun. Ikatan politik Yamin memang agak membingungkan jika dibandingkan kiprahnya di dunia sastra dan kebudayaan yang cukup jelas akar pemikiran dan sudut pandangnya. Adapun di dunia politik, haluan politik Yamin memang penuh tanda tanya.

Dalam pengelompokkan politik, Yamin seringkali dipandang sebagai pendukung garis politik Tan Malaka dan Partai Murba. Yang tentunya dalam sejarah politik Indonesia dipandang sebagai kelompok politik yang berseberangan dengan kubu Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir. Dan dipandang lebih sehaluan dengan Partai Nasionalis Indonesia(PNI) meskipun tidak jelas apa dasar ideologis yang mempersatukannya.
Kalau menelisik ke belakang, nampaknya yang kemudian mengondisikan Yamin seakan dalam satu haluan politik dengan Tan Malaka dan Murba, karena kedekatannya secara emosional dengan Chairul Saleh, yang kita tahu merupakan salah satu kadernya Tan Malaka dan kemudian motor penggerak Partai Murba di Indonesia seperti Adam Malik, Sukarni, dan Maruto Nitimihardjo.

Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Yamin bersama Chairul Saleh, semakin sejalan dengan garis politik Tan Malaka yang tidak setuju dengan garis politik Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang bersedia berunding dengan Belanda. Sehingga Yamin dan Chairul Saleh yang kemudian bergabung dalam Persatuan Perjuangan (PP) yang dibentuk pada 4 Januari 1946 di Purwokerto, di bawah pimpinan Tan Malaka. Yang salah satu program pokoknya adalah: Menuntut Kemerdekaan Indonesia 100 persen. Alhasil, PP yang didalamnya termasuk Yamin, senantiasa menentang hasil perundingan Linggajati dan Renvile. Dan bahkan Konferensi Meja Bundar pada 1949. Yang meskipun akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, namun dipandang selalu merugikan Indonesia.

Posisi politik yang dianut Yamin ini pada perkembangannya kemudian menjadi sebuah ironi. Secara gagasan, Yamin sebenarnya lebih banyak sejalan dengan Preisden pertama RI Sukarno. Namun oleh karena persekutuan politiknya dengan Tan Malaka dan Murba, hubungan Yamin dan Bung Karno sepertinya ada yang mengganjal. Meskipun antar keduanya sebenarnya tidak pernah ada masalah pribadi yang serius.

Dalam garis politik dan sikapnya terhadap pemerintahaan kolonial Belanda yang bermaksud kembali ke Indonesia pasca Perang Dunia II, Bung Karno dan Tan Malaka sebenarnya punya kesamaan sikap. Namun anehnya menempuh strategis politik yang berbeda. Dalam menyikapi garis politik Sutan Sjahrir dan Amier Syarifuddin dari Partai Sosialis Indonesia yang cenderung bersedia berunding melalui jalur diplomasi dengan Belanda, Bung Karno pada prinsipnya setuju dan mendukung. Sedangkan Tan Malaka, Chairul Saleh, Yamin dan para politisi Murba pada umumnya, secara apriori menentang keras arah kebijakan pemerintahan Sjahrir.

Pada tataran ini, sempat muncul spekulasi bahwa di balik sikap Tan Malaka Cs yang menentang garis kebijakan luar negeri Sjahrir, sejatinya bukan semata perbedaan kebijakan, melainkan sudah diwarnai oleh motivasi politik. Kenyataan bahwa Tan Malaka sempat mendesak Bung Karno membuat semacam “Surat Wasiat” agar ketika terjadi sesuatu pada diri Bung Karno, maka Tan Malaka diserahi kewenangan untuk menggantikan tongkat kepemimpinan, dipandang beberapa sejarawan sebagai indikasi adanya ambisi politik Tan Malaka untuk menggantikan kekuasaan Bung Karno. Benar tidaknya versi cerita ini, biarkan sejarah yang kelak menjawab.

Namun yang jelas, dampak dari perseteruan antara pemerintahan Sjahrir versus PP yang dimotori oleh Tan Malaka, pada perkembangannya bukan sebatas perbedaan strategi politik antara kubu pemerintahan versus kubu oposisi yang tetap dalam kerangka demokrasi parlementer berdasarkan Maklumat X 1947, melainkan telah mengembang menjadi perseteruan antara kubu Tan Malaka versus Bung Karno, presiden kepala negara. Sehingga bukan saja Tan Malaka, melainkan seluruh motor penggeerak PP maupun Murba, termasuk Yamin, ditangkap oleh pemerintahan Sjahrir pada 1946. Yamin sendiri, akhirnya dibebaskan Bung Karno pada 17 Agustus 1948, bersama-sama dengan tahanan-tahanan politik lainnya.

Hal itu nampaknya lebih dipicu oleh kepentingan bersama antara pemerintahan Sukarno-Hatta dan Tan Malaka-PP untuk menghadapi ancaman gerakan dari Muso-Amir Sjarifuddin yang tergabung dalam Fron Demokrasi Rakyat (FDR) yang didalamnya terdapat unsur PKI yang berhaluan Moskow pimpinan Muso, dibandingkan karena sebuah persekutuan yang tulus antara Bung Karno-Bung Hatta dengan Tan Malaka.

Maka, ketika gerakan pemberontakan Madiun September 1948 yang dipimpin Muso-Syarifuddin berhasil ditumpas, memasuki era pasca kemerdekaan, hubungan Yamin dan para motor penggerak Partai Murba yang pro Tan Malaka seperti bara dalam sekam. Dan situasi ini, pastinya telah menempatkan Yamin dalam posisi yang tidak nyaman, atau malah gamang.

Lagi-lagi, kedekatannya kepada Chairul Saleh, mendorong Yamin membuat blunder politik. Ketika menjabat Menteri Kehakiman RI pada 1951 pada pemerintahan Sukiman-Suwiryo, Yamin membuat keputusan membebaskan para tahanan politik eksponen Laskar Bambu Runcing dan Gerakan Rakyat Revolusioner(GRR) yang salah satu eksponennya adalah Chairul Saleh. Dan kedua organ ini dalam sejarah kemerdekaan RI, dipandang menganut garis politik Merdeka 100 persen yang berkiblat pada Tan Malaka. Akibatnya, Yamin mendapat kecaman keras dari berbagai kalangan sipil, partai oposisi, dan bahkan media massa yang tidak sehaluan dengan garis politik Tan Malaka dan Murba.

Akibat menuai gelombang kecaman tersebut, Yamin praktis hanya menjabat Menteri Kehakiman selama 2 bulan, antara 27 April hingga 14 Juni 1951. Bagi Yamin, yang passion utamanya adalah di bidang kebudayaan dan intelektual, hal semacam itu bukan perkara besar. Lebih dari itu, rasa setiakawan Yamin pada Chairul Saleh, nampaknya lebih penting ketimbang soal jabatan kekuasaan. Pada tataran ini, kita patut angkat topi buat sikap politik yang diambil Yamin. Ketika kabinet Sukiman-Suwiryo dilanda krisis gara-gara keputusan Yamin, Yamin lebih baik menyatakan mengundurkan diri daripada mengorbankan setiakawannya kepada Chairula Saleh. Apalagi, kenyataan bahwa garis politik Tan Malaka dan PP tempat Yamin ikut bergabung, memang menganut sikap non kompromi terhadap Belanda.

Karakter Yamin yang sejatinya tak terlalu nyaman duduk di kursi kekuasaan semakin terlihat ketika pada 1952 ketika menolak tawaran Bung Karno jadi duta besar. Yamin lebih memilih memimpin dan mengelola sebuah surat kabar, Mimbar Indonesia. Meski pada 1957, angin politik berpihak kembali kepada Yamin, ketika Chairul Saleh akhirnya dibebaskan oleh Bung Karno. Bahkan pada 1962, menjelang akhir hayatnya, dipercaya Bung Karno menjadi Wakil Menteri Pertama bidang khusus, dan Menteri Penerangan Tertinggi Pembebasan Irian Barat.

Namun lagi-lagi, perlu sebuah catatan khusus. Ketika Yamin kembali masuk dalam jajaran kabinet pemerintahan Juanda maupun periode sesudahnya, Chairul Saleh bukan saja sudah bebas dari tahanan politik, bahkan mulai masuk kabinet dan bahkan pernah menduduki jabatan sebagai Wakil Perdana Menteri III. Agaknya, politik setia kawan-nya kepada Chairul Saleh inilah, yang menjadi akar kebingungan dalam membaca haluan politik Yamin.

Mencermati karakter sejati Yamin, bisa jadi pengaruh kuatnya dalam bidang kebudayaan lebih kuat mempengaruhi dirinya sehingga hal ini bisa menjelaskan keputusan-keputusan politiknya yang diambil di ranah politik terkesan emosional dan bahkan impulsif(mengikuti dorongan perasaannya), sehingga di mata para politisi tulen kala itu, sebagai politisi Yamin dipandang naif.

Sayang, sang pujangga NKRI ini tidak berusia panjang. 17 Oktober 1962, Sang Perintis Kemerdekaan NKRI tersebut wafat dalam usia 59 tahun. Namun, di sinilah jiwa besar Bung Karno dan para tokoh pergeerakan politik nasional kita era itu. Terlepas perbedaan garis politik antar mereka, namun secara obyektif Yamin tetap dipandang sebagai salah seorang perintis kemerdekaan yang besar kontribusinya bagi bangsa dan negara. Maka, pada 6 November 1973 diangkat sebagai pahlawan nasional.

Sudah sepantasnya, kita mengheningkan cipta barang sejenak untuk arwah Pak Yamin, yang telah ikut merintis dan menginspirasi Indonesia Merdeka. Bahkan ketika di usia yang masih sangat muda.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit