Tiga Serangkai pendiri pergerakan Partai Kebangsaan Indonesia: Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara), Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo
Tiga Serangkai pendiri pergerakan Partai Kebangsaan Indonesia: Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara), Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo

Jakarta, Aktual.com – Menurut Dokter Tjipto Mangunkusumo, dalam salah satu tulisannya pada 1913 berjudul “Observasi Mengenai Suku Jawa, Sejarah dan Etikanya, mengatakan bahwa akibat kekuasaan kolonial Belanda,kaum Priyayi Jawa telah kehilangan integritas dan otonominya.

Alhasil, kemudian muncul watak baru dari para Priyayi Jawa, yaitu watak seorang pesuruh, bahkan dalam menjalankan kewenangannya untuk mengurus masalah-masalah dalam negerinya sendiri. Inilah yang pada akhirnya menghancurkan Pulau Jawa. Akibat hilangnya watak bebas dan tegas dari para pemimpinnya.

Menyadari kondisi Jawa ketika itu, Dokter Tjipto melontarkan pertanyaan yang cukup provokatif: Tekad Siapa yang sebaiknya kita warisi dengan penuh kebanggaan di tengah kemunduran zaman seperti sekarang ini? Jawaban Tjipto adalah, kita harus mewarisi tekad Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro, tulis Tjipto, menunjukkan bahwa orang Jawa sebetulnya memiliki moral yang amat kuat, tempat mereka dapat membangun suatu sumber moral, dan juga bahwa, kita pun mempunyai kesempatan untuk menghidupkan kembali masa jaya kita.

Dalam pandangan Tjipto, Pangeran Diponegoro merupakan lambang seorang satria yang berjuang melawan kebobrokan moral. Menurut Tjipto, pergerakan menandakan bahwa moral rakyat sudah bangkit dan hidup kembali. Sehingga menghasilkan satria, tokoh zaman yang moralnya baik dan merdeka dari segi politik. Lahirnya sebuah pergerakan itulah yang kemudian yang menandai telah terwujudnya “zaman emas.”

Dalam menghadapi suasana yang penuh kebuntuan dan miskin kreativitas dan prakarsa seperti sekarang ini, termasuk di ranah politik, pandangan Tjipto sangat menginspirasi kita. Seperti ungkapan Tjipto:

“………. Keteguhan watak perlu buat seorang pria, paling tidak bagi seseorang yang pantas diberi gelar agung, ‘jantan’ dalam arti kata yang sebenarnya. Sekali niat sudah tercetus, tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi pelaksanaannya. Tiada kesulitan yang akan terasa terlalu besar baginya untuk bisa diatasi. Tidak, malah setiap kesulitan hendaknya menjadi pemacu untuk berusaha lebih keras lagi. Yang Ilalahi telah menghadapkan kita pada banyak kesulitan agar kita menjadi sadar akan kekuatan kita yang tersembunyi dan menggunakannya.”

Inilah watak sejati para Satria di dunia pergerakan, yang menurut Tjitpo harus dihidupkan kembali. Begitupula halnya sekarang. Suatu tekad teguh untuk menghadapi kesulitan. Dalam pergerakan terkandung harapan masa depan, karena mereka yang melawan penjajahan dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Tulisan Tjipto pada 1913, sepertinya masih tetap relevan saat ini. Bahkan sekarang, justru pikiran Tjipto amat penting untuk dibaca ulang kembali. Sebab ketika Tjipto menulis ini pada 1913, ketika bangsa Indonesia kehilangan daya dan kreasi untuk melawan penjajahan Belanda secara strategis dan menyerang akar dari kolonialisme Belanda itu sendiri, pada 1930 Bung Karno melontarkan solusi jitu melalui pidato bersejarahnya yang berjudul “Indonesia Menggugat.” Dan 15 tahun kemudian, solusi pergerakan bermuara pada terbentuknya Dwi Tunggal Sukarno-Hatta, sebagai lambang persatuan bahwa perjuangan melawan penjajahan Belanda, bukan sekadar monopoli orang orang Jawa, melainkan melibatkan seluruh nusantara yang dijajah Belanda.

Sekarang, solusi sebagai tindak-lanjut dari upaya menghidupkan kembali watak Satria Sejati di Dunia Pergerakan, seraya membangun kembali konfigurasi kekuatan atas dasar tekad nasional baru tersebut, sudah saatnya untuk dipikirkan seluruh komponen strategis bangsa.

Hendrajit

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit