Kalau kita kilas balik sejarah terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955, ada peristiwa sampingan yang yang sering luput dari perhatian banyak kalangan, karena memang kejadian terpisah dari KAA itu sendiri. Yaitu Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Indonesia-Cina yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Cina Chou Enlai dan Menteri Luar Negeri RI Mr Sunario pada 22 April 1955.
Setelah dilakukan ratifikasi oleh kedua negara, perjanjian ini dinyatakan mulai berlaku pada 20 Januari 1960. Peristiwa bersejarah ini, karena begitu lekat dengan semangat solidritas Asia-Afrika yang sedang digalang oleh Bung Karno dan para pemimpin pencetus KAA seperti Nehru dari India, U Nu dari Myanmar, John Kotelawala dari Sri Lanka, dan Muhammad Ali dari Pakistan, sehingga momentum perjanjian Dwi Kewarganegaraan Cina yang ditandatangani Indonesia-Cina dipandang sebagai bagian dari semangat solidaritas Asia-Afrika.
Alhasil, para pucuk pimpinan nasional kita tidak mengantisipasi jika pada perkembangannya ke depan, perjanjian Dwi Kewarganegaran tersebut bisa membahayakan kedaulatan dan keamanan nasional.
Padahal kalau kita telisik kesejarahannya sejak Indonesia masih dijajah Belanda yang kala itu bernama Hindia Belanda, masalah kewarganegaraan ganda Cina ini merupakan isu yang cukup krusial. Betapa tidak. Kalau kita buka lagi data hasil sensus tahun 1930, etnis Cina di wilayah koloni Hindia Belanda tercatat 1.233.000. Dari populasi ini, hampir dua pertiga lahir di Hindia Belanda. Sisanya, sepertiga, merupakan imigran dari Cina.
Berdasarkan payung hukum pemerintahan kolonial Belanda pada waktu itu, Undang-Undng Kewarganegaraan Belanda tahun 1910, etnis Cina yang lahir dari orang tua yang berdomisili di dalam negeri tergolong sebagai penduduk Belanda meski bukan warga negara Belanda, sesuai dengan hukum yang mengikuti prinsip ‘jus soli’, atau hak tanah.
Dari fakta sejarah hukum kolonial Belanda ini saja, sebenarnya berbenturan dengan peraturan perundang-undangan di negeri Cina pada waktu itu. Sebab pemerintah Manchu pada era Dinasti Qing pada tanggal 28 Maret 1909 telah memberlakukan Undang-Umdamg Kewarganegaraan berdasarkan prinsip ‘jus sanguinis’.
Prinsip ini mengakui bahwa setiap anak berbapak atau beribu Cina secara legal atau taklegal, di mana pun tempat lahirnya, merupakan warga negara Cina. Prinsip ini sebelumnya sudah diterapkan oleh bangsa Cina sehingga warga belakangan di negeri kita lebih senang disebut Tionghoa itu, yang lahir di Hindia Belanda merupakan penduduk Belanda sekaligus Cina.
Menurut penelitian wartawan senior M Djoko Yuwono yang belakangan sangat tekun mengkaji masalah Cina, Cina yang menyadari adanya ketentuan hukum yang berlaku di negeri leluhurnya, warga Cina yang ada di Hindia Belanda dengan tak ayal memprotes “pemaksaan naturalisasi” berdasarkan UU Kewarganegaraan Belanda itu.
Mereka menuntut perlindungan kepada Konsul Cina. Namun demikian, sebagai imbalan adanya perwakilan konsuler di Hindia Belanda, Belanda dan Cina kemudian menandatangani Konvensi Konsuler 1911 yang menetapkan yurisdiksi konsul Cina atas orang-orang yang bukan penduduk Belanda saja.
Namun sebagaimana penelisikan sejarah M Djoko Yuwono, konvensi inipun sama sekali tidak menyelesaikan masalah karenan sifatnya yang situasonal. Kenapa? Sebab catatan yang terlampir di dokumen tersebut menunjukkan bahwa konvensi ini tidak bertujuan menentukan kewarganegaraan. Republik Cina pimpinan Chiang Kai-shek menerapkan ‘jus sanguinis’ melalui undang-undang kewarganegaraan baru pada tahun 1929. Chiang Kai-shek juga menolak menandatangani Konvensi Kewarganegaraan Den Haag 1930, khususnya yang menyatakan bahwa ‘sebuah negara tidak berhak memberikan perlindungan diplomatik kepada salah satu warga negaranya apabila ia juga memiliki kewarganegaraan di negara asalnya’.
Sampai di sini sudah kebayang kan betapa runyamnya urusan Dwi Kewarganegaraan Cina ini. Bukan saja di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Maka itu menarik untuk melihat tindak-lanjut perjanjian kewarganegaraan Ganda Cina antara RI-RRC pada April 1955 lalu.
Setelah penandatanganan Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Indonesia-Cina itu dintandatangani antara Cho Enlai dan Mr Sunario pada 22 April 1955, Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo bertemu dengan mitranya, Zhou Enlai, di Beijing, 3 Juni 1955. Keduanya saling menyerahkan dokumen ratifikasi untuk melengkapi perjanjian. Dokumen ini dibuat terkait dengan rencana pembentukan komite bersama untuk penegakan perjanjian dan diuraikan pada lampiran perjanjian.
Namun, konstalasi politik dalam negeri kita begitu dinamis menjelang dan sesudah Pemilu pertama RI pada 1955. Sehingga perjanjian dan ratifikasi oleh DPR tidak semudah bayangan semula.
Pada saat saat pengunduran diri 24 Juli 1955, kabinet Ali Sastroamidjojo telah membuat kemajuan terkait dengan perjanjian itu. Kabinet selanjutnya dibentuk oleh koalisi partai-partai yang menentang perjanjian.
Pembahasan masalah ini ditunda hingga selesainya pemilu legislatif September 1955. Pada Maret 1956 Ali Sastroamidjojo kembali sebagai Perdana Menteri. Perjanjian dengan RRC disahkan pada tanggal 3 Juli 1956, kemudian dibuatkan RUU dan diteruskan ke DPR awal Agustus 1956. Menteri Kehakiman Muljatno mendesak DPR agar segera meratifikasi perjanjian bulan Desember 1956, tetapi pembahasan tidak juga dimulai sampai Maret 1957.
Pengesahan semakin tertunda sampai Kabinet Ali Sastroamidjojo dipaksa mengundurkan diri menyusul pemberontakan di Sumatera. DPR masuk masa reses selama enam minggu, baru April 1957 pembahasan dibuka kembali setelah kabinet baru di bawah Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja.
Berdasarkan penelisikan tim riset Aktual dan panduan M Djoko Yuwono terhadap beberapa dokumen sejarah persidangan DPR kala itu, Kabinet Djuanda menyetujui perjanjian untuk kedua kalinya pada bulan Agustus 1957. Menteri Luar Negeri Subandrio mendesak DPR segera mengagendakan penetapan ratifikasi. DPR melakukan debat akhir mengenai perjanjian itu, 17 Desember 1957. Para anggota DPR dari Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) memberi isyarat untuk menunda pembahasan, tetapi dikalahkan oleh 39-110 suara. Perwakilan dari Masyumi dan PSI meninggalkan ruang sidang, perjanjian itu pun diratifikasi dengan suara bulat dari para delegasi yang tersisa.
Kalau kita memandang kisah ini menurut sudut pandang kekinian, rasa-rasanya bukan generasi sekarang saja yang buta sejarah. Para bapak pendiri bangsa, terutama yang berkiprah di penyelenggaraan KAA juga mungkin juga mengabaikan satu fakta sejarah yang amat penting.
Bahwa dispora Cina di Asia Tenggara telah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu. Dimulai dari wilayah Hainan yang diduduki oleh bangsa melayu Hui-hui , terus ke Vietnam Utara di Saigon, dari timur dimulai dari Formosa yang dulunya merupakan wilayah Melayu dan didiami suku attala terus ke arah Luzon Philippina , terus ke arah Thailand Singapura dan terkini ,Penang menuju serawak dan akan terus ke arah selatan yaitu.. Indonesia.
Selain daripada itu, apakah perjanjian tersebut sebanding dengan nilai strategis persekutuan Cina kepada Indonesia? Kalau kita cermati hubungan bilateral RI-RRC hingga jatuhnya pemerintahan Presiden Sukarno, banyak kalangan yang memandang konsesi pihak Indonesia itu tidak sebanding dengan kesetiaan dan komitmen Cina dalam mendukung perjuangan Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Dukungan Cina pada Indonesia, dan Asia Afrika pada umumnya, hanya sejauh negara-negara berkembang tersebut bersedia menjadi orbit komunisme Cina. Ketika Indonesia bermaksud menggalang dukungan negara-negara yang baru bangkit untuk memperluas eskalasi perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme melalui terselenggaranya Conference of the New Emerging Forces (CONEFO) pada Agustus 1966, Cina menentang keras skema tersebut.
Sikap Cina yang menentang gagasan Bung Karno menyelenggarakan CONEFO untuk mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa tandingan, menunjukkan bahwa Cina hanya bermaksud meradikalisasikan komunisme di Asia Afrika, namun tidak antusias untuk memberdayakan sosialisme di negara-negara Dunia Ketiga tersebut.
Kesepakatan Shanghai antara Mao Zhe Dong dan Presiden AS Richard M Nixon pada 1972 yang bermuara pada persekutuan taktis antar kedua negara adikuasa tersebut, pada hakekatnya bukan saja untuk mengepung Uni Soviet sebagai pesaing AS. Lebih dari itu, membuktikan bahwa CIna dan Blok Kapitalisme AS-Eropa Barat sejatinya memang sama saja. Sama sama punya hasrat imperialistik dan kolonialistik.
Hendrajit