Aktivitas pembuangan sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Senin (26/10). DPRD Kota Bekasi berencana memanggil Gubernur DKI Jakarta terkait klarifikasi adanya pelanggaran perjanjian kerjasama nomor 4 tahun 2009 tentang pemanfaatan lahan TPST Bantar Gebang, diantaranya persoalan standarisasi kendaraan dan jam operasional serta kewajiban Pemprov DKI tentang pembayaran tipping fee. ANTARA FOTO/Risky Andrianto/ama/15

Jakarta, Aktual.com – Dalam rapat kabinet pertengahan Oktober lalu, Presiden Prabowo Subianto menatap layar besar menampilkan citra Bantargebang. “Itu bukan hanya sampah. Itu bahan bakar masa depan kita,” kata Prabowo.

Ucapan itu menjadi simbol perubahan arah kebijakan, dari pengelolaan sampah menuju transformasi energi terbarukan. Pemerintah kini menargetkan 10 kota prioritas untuk pembangunan fasilitas Waste to Energy (WtF) dengan kapasitas total 250 megawatt hingga 2029.

Namun, di balik visi besar itu, banyak pakar mengingatkan soal kesiapan teknis dan ekonomi. Dr. Enri Damanhuri ahli dari ITB, menegaskan bahwa karakter sampah Indonesia “tidak cocok untuk dibakar langsung, karena kadar air dan organiknya tinggi,” katanya kepada aktual.com.

“Tanpa sistem pemilahan dan rantai pasokan yang stabil, WtE hanya akan jadi proyek mahal,” tambahnya.

Baca juga:

Walhi Sebut Perpres 109 2025 “Jurus Mabuk” Pemerintah Atasi Darurat Sampah

Disi lain Tiara De Silvanita, seorang pegiat lingkungan yang lama memantau isu pengelolaan sampah di Indonesia menegaskan, teknologi tak akan menyelamatkan kita tanpa tata kelola. Ia pun menambahkan, keberhasilan program ini bukan soal canggih atau tidaknya teknologi, tapi seberapa jauh pemerintah konsisten memperkuat sistem dan edukasi publik.

“Waste to Energy bisa jadi solusi tambahan, tapi bukan solusi utama. Selama perilaku konsumsi dan kebijakan pengelolaan sampah belum berubah, kita akan terus menambal masalah, bukan menyelesaikannya,” katanya.

Ia pun mengingatkan, sampah itu bukanlah musuh, tapi cermin. “Dari cara kita memperlakukan sampah, terlihat bagaimana kita memperlakukan bumi — dan sesama manusia.”

Masalah Dibalik Proyek Waste to Energy yang Revolusioner

Gunungan sampah di berbagai daerah Indonesia kini bukan sekadar tumpukan limbah, namun simbol dari dua hal sekaligus: krisis yang membusuk dan janji besar yang sedang dirancang Presiden Prabowo.

Dalam suasana penuh optimisme pasca peluncuran Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Menjadi Energi Terbarukan, pemerintah menegaskan komitmen baru, mengubah beban ekologis menjadi sumber energi masa depan.

Namun, bagi Tiara, kebijakan itu tidak bisa hanya dilihat dari sisi teknologi dan target energi semata. Ia menilai, di balik semangat sampah jadi listrik, ada risiko besar yang belum cukup disadari publik — dari polusi udara, beban biaya, hingga ancaman terhadap mata pencaharian rakyat kecil.

“Proyek Waste to Energy memang terdengar revolusioner, tapi kalau dilakukan tanpa kehati-hatian, bisa menimbulkan masalah baru. Jangan hanya menghilangkan sampah, tapi ubah pola pikirnya,” tegasnya saat ditemui, Sabtu, (8/11/2025).

Menurutnya, penggunaan insinerator dalam proyek Waste to Energy (WtE) berpotensi menimbulkan polusi udara berbahaya seperti dioksin dan abu beracun, terutama bila pengawasan emisinya tidak ketat.

“Pengendalian emisi itu tidak murah. Kalau tidak dikelola dengan disiplin tinggi, kita hanya mengganti masalah lama dengan polusi baru,” ujarnya.

Baca juga:

PLN EPI Pamerkan Keunggulan Hidrogen di Ajang GHES

Selain itu mengacu pada data dari KLHK, 60 persen sampah nasional adalah organik dan basah — jenis yang tidak cocok untuk dibakar dalam teknologi WtE tanpa proses pra-pengeringan dan pemilahan.

“Kalau sistemnya tidak diubah, proyek ini bisa boros energi, mahal, dan justru tidak efisien,” tambah Tiara.

Peringatan Tiara bukan tanpa alasan. Di banyak daerah, pengelolaan sampah masih jauh dari kata ideal. Semisal di TPA Kaliwlingi, Brebes, gunungan sampah setinggi lebih dari sepuluh meter longsor dan menutup jalan utama sejak September lalu. Para petugas bekerja dengan hanya satu unit alat berat, padahal idealnya empat. TPA itu pun masih menerapkan sistem open dumping dan telah mendapat sanksi administrasi dari KLHK awal tahun ini.

Pat Gulipat Pengelolaan Sampah dari Bisnis Sampai Sosial

Selain isu lingkungan, Tiara menyoroti pergeseran tanggung jawab yang sering terjadi saat proyek besar seperti ini diluncurkan. “Industri dan pemerintah daerah bisa saja bersembunyi di balik jargon ‘sampah jadi energi’, padahal kewajiban utama mereka adalah mengurangi dan memilah sampah sejak dari sumber,” jelasnya.

Tiara menegaskan, pengelolaan sampah yang benar dimulai dari pemilahan di rumah tangga, pendidikan publik, dan pengurangan volume, bukan hanya pembakaran massal. “Kalau pendekatannya hanya membakar, masyarakat kehilangan insentif untuk memilah. Padahal pemilahan itu fondasi dari pengelolaan berkelanjutan,” paparnya.

Bagi Tiara, program WtF bukan sekadar teknis, tapi juga soal keadilan sosial. Ribuan pemulung dan pelaku daur ulang informal selama ini menjadi tulang punggung pengurangan sampah di Indonesia, meski tanpa dukungan berarti dari negara harus diperhatikan.

“Kalau semua sampah masuk ke insinerator, mereka akan kehilangan mata pencaharian. Padahal peran mereka sangat besar dalam menyelamatkan lingkungan,” ungkapnya.

Baca juga:

Indonesia dan Jepang: Jejak Berbeda dalam Transisi Energi Terbarukan

Di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat ribuan pemulung masih mengais plastik dari gunung limbah. Sementara di Jakarta, pemerintah merancang masa depan dengan istilah baru ‘Waste to Energy’ yang digadang-gadang pemerintah di lokasi itu masih dalam tahap perencanaan.

Kasus-kasus seperti Brebes, Bantar Gebang, Suwung (Bali), dan Sarimukti (Bandung Barat) menunjukkan keterbatasan fasilitas dan tata kelola, sekaligus menjadi latar nyata di balik wacana besar ‘sampah jadi listrik.’

Suara seperti milik Tiara menjadi pengingat, bahwa solusi sejati tidak hanya lahir dari pabrik insinerator, tapi dari kesadaran kolektif untuk mengubah pola pikir dan sistem pengelolaan yang selama ini setengah hati. Karena di negeri yang menghasilkan 56 juta ton sampah per tahun, persoalan utamanya bukan pada teknologi yang belum ada — tapi pada komitmen yang belum ditepati.

Laporan: Taufik Akbar Harefa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi