Jakarta, Aktual.co — Banyak orang mampu, tapi hanya sekadar untuk menutupi kebutuhan perekonomian keluarga secara pas-pasan.
Mereka itulah yang disebut “sadikin”, atau “sakit dikit miskin” atau akibat sedikit sakit jadi jatuh miskin, kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pelalawan, Riau, dr Endid Pratiknyo.
Dengan demikian, sesungguhnya kemiskinan dan kesehatan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Kemiskinan membuat mereka menjadi sulit mendapatkan layanan kesehatan, sementara kesehatan seketika bisa saja membuat yang kaya raya jatuh miskin.
Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program berkaitan dengan kesehatan bagi masyarakat, salah satunya adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah dimulai sejak awal 2014.
Progam ini dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Secara nasional sejak awal Oktober, jumlah peserta JKN menembus angka 126 juta orang dan terbanyak merupakan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang merupakan masyarakat kalangan kurang mampu.
Program ini terbilang sukses, namun satu yang menjadi kelemahan adalah peserta JKN yang menetap di pelosok desa, terlebih pada pulau-pulau terisolasi belum dapat menikmatinya secara penuh karena di daerah itu tidak memiliki layanan kesehetan memadai, tanpa dokter.
Merekalah “Sadikin”, warga yang sebenarnya miskin, dan akan lebih sengsara ketika jatuh sakit karena sebelum mendapatkan layanan kesehatan saja, mereka harus mengeluarkan uang banyak demi menempuh perjalanan jauh menuju pusat kota.
“Cara yang tepat untuk mengatasi persoalan itu adalah dengan melakukan pemerataan dokter hingga ke sejumlah wilayah pelosok desa,” ucap Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Provinsi Riau Nurzelly Husnedi, Selasa (28/10).
Nurzelly mencontohkan, di Riau saja masih banyak daerah jauh dari perkotaan seperti Pulau Rupat, Bengkalis dan sejumlah daerah lainnya di 12 kabupaten/kota yang belum memiliki fasilitas kesehatan memadai. Ditambah tidak ada dokter yang menetap di daerah-daerah terpencil seperti itu.
Menurut dia, itulah sebenarnya yang menjadi tugas utama Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek. Dia diharapkan mampu untuk membangun regulasi dalam pemerataan penempatan dokter hingga ke pelosok desa di Tanah Air.
“Saya cukup mengenal Menkes Nila F Moeloek yang merupakan orang berpengalaman, kami mengucapkan selamat atas terpilihnya beliau,” jelas Nurzelly Husnedi.
Dia mengungkapkan pihaknya mengharapkan Menkes yang berpengalaman itu mampu mengembangkan kesehatan masa depan agar jauh lebih baik, salah satunya adalah pemerataan dokter di daerah-daerah.
Nila F Moeloek resmi ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk periode 2014-2019 pada 26 Oktober.
Wanita berusia 61 tahun itu disebut Presiden Joko Widodo sebagai sosok kaya pengalaman. Dia adalah istri dr Farid Anfasa Moelok, Menteri Kesehatan era Presiden B.J. Habibie pada 1997 hingga 1999.
Nila juga aktif mengajar di program doktor pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Terakhir dia menjabat sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dalam lima tahun terakhir, Nila juga berkiprah besar untuk Millenium Development Goals (MDGs).
MDGs mengemban berbagai tugas global yang demikian vital seperti kemiskinan absolut, belum terjangkaunya pendidikan, kesenjangan gender, penyebaran HIV/AIDS dan penyakit menular lain, hingga kerusakan lingkungan.
Bebas “Sadikin” Sasaran dari Program MDGs juga sebenarnya berkaitan erat dengan orang-orang “Sadikin” (sakit dikit miskin) yang menetap di kawasan pelosok desa dan daerah-daerah terisolasi. Mereka mengalami kemiskinan berbagai sisi, mulai dari pendidikan yang minim, hingga layanan kesehatan yang sangat terbatas.
Sebelumnya Asisten Utusan Khusus Presiden Indonesia untuk tujuan pembangunan milenium (MDG), Diah Saminarsih mengatakan ada tiga target tujuan pembangunan millennium yang sangat sulit dicapai pada 2015. Seperti menurunkan angka kematian ibu melahirkan, menurunkan penyebaran virus HIV/AIDS serta mengakses air bersih dan sanitasi dasar.
Menurut Diah, hal itu disebabkan berbagai faktor di antaranya pembangunan yang belum merata sehingga infrastruktur maupun layanan kesehatan antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda.
Menurut data pemerintah, sejauh ini bahkan angka kematian ibu melahirkan selalu tinggi setiap tahun. Minimnya tenaga kesehatan di daerah terutama daerah terpencil di Indonesia merupakan salah satu penyebabnya.
Pengetahuan tentang kesehatan yang tidak memadai juga membuat banyak warga memilih jalan pintas saat hendak melahirkan. Salah satunya adalah menggunakan jasa dukun beranak agar tidak bernasib seperti “sadikin”.
Untuk mencapai tujuan MDGs mengenai kesehatan ibu, Indonesia harus menurunkan angka kematian ibu saat melahirkan menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015, dari angka saat ini yaitu 228 per 100.000 kelahiran.
Pencapaian target MDGs terkait HIV AIDS kata Diah juga sulit dicapai oleh Indonesia pada 2015 karena dalam lima tahun terakhir jumlah penderita penyakit mematikan itu di Indonesia terus bertambah. Penyakit ini dilaporkan juga banyak menjangkiti masyarakat yang minim pengetahuan kesehatan sehingga tidak memiliki daya tangkal.
Menurut data Kementerian Kesehatan, saat ini ada sedikitnya 6.300 kasus AIDS dan 20.000 kasus HIV sejak 1987. Namun sejumlah pemerhati kesehatan memastikan angka sebenarnya jauh lebih besar.
Artikel ini ditulis oleh: