Kasus pembunuhan yang menimpa Kim Jong Nam, saudara tiri Presiden Korea Utara (Korut) Kim-Jung-un, memang menarik karena melibatkan seorang warga negara Indonesia, Siti Aisyah yang dijadikan tersangka pembunuhan oleh pihak kepolisian Malaysia. Namun, Korea Utara sebagai negara-bangsa barang tentu jadi sorotan kembali, setelah sekian lama berada di bawah bayang-bayang Korea Selatan yang lebih “makmur” dalam bidang ekonomi.
Selain itu, konflik Korea Selatan versus Korea Utarai ada indikasi bakal semakin memanas sehingga mencemaskan negara-negara yang berada di sekitaran Semenanjung Korea menyusul uji coba rudal balistik antar-benua oleh pemerintah Korut minggu lalu (12/02).
Lepas dari kenyataan bahwa Korut merupakan negara komunis karena kedekatannya dengan Cina maupun Rusia sejak berakhirnya Perang Dunia II, namun Korut sejak awal berdirinya bertekad menjadi negara yang merdeka dan bebas dari ketergantungan terhadap negara-negara lain. Itulah sebabnya Korut secara sepihak di awal berdirinya sebagai negara Jusche (percaya dan bergantung pada kekuatan sendiri).
Kepala negara de facto saat ini adalah Kim Jong-un yang selain jadi presiden sekaligus juga sebagai Ketua Komisi Pertahanan Nasional Korea Utara. Sekadar gambaran mengenai sistem politiknya, Badan Legislatif Korut adalah Majelis Tertinggi Rakyat. Jadi rada-rada mirip seperti Majelis Persmusyawaratan Rakyat (MPR) Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 asli, sebelum mengalami empat kali amandemen pada 1999 lalu.
Korea Utara sistem politiknya menganut sistem satu partai. Sedangkan partai yang memerintah adalah Front Demokratik untuk Reunifikasi Tanah Air, yang sejatinya merupakan sebuah koalisi Partai Buruh Korea dan dua partai kecil lainnya. Yaitu Partai Demokratik Sosial Korea dan Partai Chongu Chondois.
Bagi Rusia dan Cina, Korut merupakan sahabat dan sekutu sejati, karena sejak berakhirnya Perang Dunia II dan masa-masa memanasnya Perang Dingin, Korut berhasil merajut dan merawat hubungan baik terhadap negara tirai besi dan tirai bamboo tersebut. Bahkan ketika Perang Dingin berakhir pada 1991, kedekatan Korut baik terhadap Rusia dan Cina tetap dipertahankan. Bahkan juga terhadap beberapa negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Kamboja dan Laos.
Berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan Jerman Timur, Korut ternyata bukan saja mampu bertahan sebagai negara sosialis, bahkan semakin diperhitungkan oleh negara-negara di berbagai forum internasional.
Misalnya ketika Korut mencanangkan pembangunan dan pengembangan senjata nuklir, Amerika Serikat dan Korea Selatan terpaksa mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar Korut menutup lima fasilitas nuklirnya. Bukan itu saja. Bahkan AS dan Korsel mendesak Cina dan Rusia agar menggiring Korut ikut serta dalam forum pembicaraan enam pihak untuk nebcaru penyelesaian damai terkait ketegangan di antara dua pemerintah Korea, Korut dan Korsel.
Terlepas dari ancaman persenjataan nuklir Korut, AS dan Korsel memang cukup beralasan untuk khawatir dengan pertumbuhan dan peningkatan postur pertahanan dan angkatan bersenjata Korut.
Betapa tidak. Saat ini angkatan bersenjata Korut merupakan yang terbesar kelima di dunia. Diperrkirakan sebesar 1,21 juta personel dengan kira-kira 20% pria berusia antara 17-54 tahun bergabung di dalam angkatan darat. Adapun kekuatan angkatan darat, pasukan aktifnya berjumlah 1,2 juta.
Cadangan paramiliternya berjumlah 4,700.000 (Empat Juta Tujuh Ratus Ribu) orang. Jumlah tank-nya 4.100. Kendraan pengangkut 2.500. Kendaraan artileri 8.500. Roket 5.100. Mortar 7.500. Senjata pertahanan udara 11.000.
Bagaimana dengan angkatan lautnya? Kekuatan angkatan laut terdiri dari kapal tempur 3, kapal patroli 383, kapal selam 70. Hovercraft 135. Kapal pendaratan 261. Adapun angkatan udara pesawat tempurnya berjumlah 735 dari berbagai jenis (pembom 80 buah, jet tempur 441, pesawat transportasi 215), dan helokopter sebanyak 302 buah serta memiliki senjata nuklir dan reactor nuklir yang cukup besar.
Yang menarik untuk kita cermati, strategi militer Korut dirancang untuk menyusupkan agen dan menyabotase di belakang barisan musuh pada saat perang.
Bahkan Korut tidak sekadar memperkuat peralatan militernya untuk pertahanan nasional negaranya sendiri. Bahkan Korut juga menjual misil atau rudal balistik dan peralatan militernya ke berbagai negara. Pada April 2009 lalu misalnya, PBB pernah menyebut Perusahaan Perdagangan Pembangunan dan Pertambangan Korea Utara (KOMID) sebagai agen penjual utama Korea Utara dan pengekspor terbesar rudal balistik maupun senjata konvensional.
Berdasarkan data-data kekuatan dan peralatan militer yang tersaji di atas, masuk akal jika Korut merasa punya kekuatan militer yang cukup bisa diandalkan. Inilah yang kemudian mendorong Korut merasa punya kemampuan dan prakarsa untuk memilih berbagai strategi untuk menghadapi konflik bersenjata dengan Korea Selatan yang didukung AS dan blok NATO, yang diperkirakan bakal terjadi di Semenanjung Korea.
Jika kita cermati kekuatan militer Korsel, memang masih di bawah kemampuan dan kedigdayaan Korut. Hanya saja, Korsel selain didukung AS, juga mendapat dukungan negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO, juga tentunya dengan dukungan dari Jepang.
Kekuatan militer Korut ini memang tidak main-main. Pada April 2013 pernah mendeklarasikan keadaan perang terhadap Korsel. Bahkan pernah mengancam untuk melancarkan serangan ke pangkalan militer AS di Korsel dan Pasifik. Dengan tak ayal Presiden Korsel, yang waktu itu adalah Park Geunhye, bertekead untuk melancarkan serangan balasan atas setiap provokasi yang dilancarkan Pyongyang.
Pernyataan keadaan perang Korut terhadap Korsel itu kemudian disusul dengan penegasan Komite Sentral Partai Buruh Korea Utara untuk memperkuat persenjataan nuklirnya, seraya mengumunkan niat untuk mengaktifkan kembali reaktor nuklirn di Yongbyon Nuclear Scientific Research Center.
Maka itu tidak heran jika Korsel dan AS sempat khawatir ketika minggu lalu (12/02) pemerintah Korut melakukan uji coba rudal jarang menengah yang merupakan bagian dari rudal balistik antarbenua, pada saat Presiden Donald Trump dan Perdana Menteri Shinzo Abe sedang mengadakan pertemuan di Florida, AS.
Hendrajit, Pemimpin Redaksi Aktual.