Agus Widjajanto Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Politik dan Budaya Bangsanya, tinggal di Jakarta. DOK PRIBADI

Bertepatan dengan peringatan berdirinya sekolah Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara pada 3 Juli, sudah saatnya kita merenung dan merefleksikan sistem pendidikan kita. Baru-baru ini, Pemerintah Swedia menganggarkan 1,7 triliun rupiah untuk mengembalikan sistem pendidikan dari dominasi perangkat digital ke buku cetak. Kebijakan ini diambil setelah dievaluasi bahwa selama 15 tahun penggunaan komputer dan tablet dalam pembelajaran, terjadi penurunan drastis dalam kemampuan membaca, menulis, serta pendalaman materi siswa.

Swedia awalnya optimis terhadap penggunaan digital dalam pendidikan. Namun, kenyataannya siswa kehilangan kemampuan dan minat membaca serta menulis dengan baik. Perangkat digital ternyata justru mengurangi fokus siswa. Meskipun Swedia masih berada di peringkat atas dalam standar pendidikan global, keterampilan siswa terus menurun. Data PIRLS 2021 menunjukkan skor siswa kelas 4 turun dari 555 poin pada 2016 menjadi 544 poin. Bandingkan dengan Singapura yang naik dari 576 ke 587 poin.

Meski tidak sepenuhnya disebabkan oleh teknologi, pandemi Covid-19 dan penggunaan perangkat digital berkepanjangan jelas berdampak. Studi dari Dewan Riset Swedia (Forte) mengungkap bahwa menatap layar terlalu lama menghambat kemampuan memahami informasi kompleks. Menurut Anna Lindström, pakar pendidikan Swedia, siswa justru menggunakan perangkat di sekolah untuk bermain gim dan menjelajah internet.

Kekhawatiran orang tua meningkat. Banyak yang menyatakan bahwa prestasi akademis anak mereka terganggu karena distraksi digital. Sejak 2022, Swedia mulai mewacanakan kembali ke buku cetak. Menteri Sekolah Swedia, Lotta Edholm, menyatakan bahwa buku fisik penting dalam proses pembelajaran. Pemerintah bahkan membatalkan kewajiban penggunaan perangkat digital di prasekolah dan berencana melarangnya untuk anak di bawah 6 tahun.

Riset Institut Karolinska mendukung hal ini. Buku cetak terbukti lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan dasar. Pemerintah Swedia mengalokasikan 104 juta Euro (sekitar Rp 1,7 triliun) untuk buku cetak dan mendukung transisi ini dengan kampanye kesadaran. Menteri Pendidikan Lena Johansson menekankan bahwa teknologi digital hanya sebagai pelengkap, bukan pengganti metode tradisional.

Kontras dengan Swedia, Indonesia justru sedang giat menerapkan digitalisasi di semua jenjang pendidikan. Ironis, mengingat Swedia adalah negara produsen teknologi tinggi seperti Volvo. Kini, dengan kemunculan kecerdasan buatan (AI), minat baca dan kreativitas anak Indonesia makin tergerus. Anak menjadi pasif, manja, dan kehilangan empati serta karakter budaya timur yang dulu dibanggakan.

Salah satu tiang utama pendidikan adalah guru. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, dan dalam sejarah Nusantara, posisi guru sangat mulia, setara kasta Brahmana. Dalam refleksi ini, penting bagi kita untuk menata ulang sistem belajar-mengajar—dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bertujuan menumbuhkan jiwa dan raga anak secara merdeka. Guru bertindak sebagai pamong, mendidik dengan kasih sayang dan kesadaran, serta mendorong siswa berpikir kritis namun berbudi luhur. Seorang guru harus memahami karakter murid layaknya petani memahami jenis tanah. Guru tidak bisa mengubah karakter siswa, tapi bisa membimbing harmoni dalam dirinya.

Semboyan Ki Hajar Dewantara “Ing Ngarso Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” harus menjadi panduan utama. Sayangnya, semboyan itu kini hanya menjadi logo Kementerian Pendidikan tanpa substansi dalam sistem pendidikan. Mata pelajaran dasar seperti Bahasa Daerah, Sejarah, dan Pancasila kian tersisih, yang berakibat pada lunturnya nasionalisme dan sopan santun.

Indonesia sebenarnya tidak sedang baik-baik saja. Diperlukan langkah berani untuk mengoreksi arah pendidikan pasca-Reformasi yang kebablasan. Pemerintahan Presiden Prabowo harus lebih peka, dan mampu membuat terobosan radikal untuk membangun sistem pendidikan yang berakar pada karakter ke-Indonesiaan namun tidak tertinggal zaman.

Degradasi moral adalah tantangan nyata yang harus kita hadapi bersama. Penanaman nilai etika, cinta tanah air, dan toleransi harus dimulai sejak dini. Ini tugas seluruh elemen bangsa: orang tua, guru, dosen, agamawan, budayawan, dan pengambil kebijakan. Jangan hanya meniru Eropa, yang pada usia dini sudah membebani anak dengan pelajaran berat namun melupakan karakter.

Lihat Jepang: negara maju ini justru mengajarkan budi pekerti, kebersihan, dan sopan santun di tahun-tahun awal sekolah dasar, tanpa ujian akademis ketat. Apakah Jepang jadi negara terbelakang? Tidak. Ia tetap kampiun industri dunia.

Pendidikan harus memberi ruang kebebasan berpikir kepada siswa dan mahasiswa. Guru dan dosen seharusnya menjadi fasilitator, bukan pembatas. Sistem dogmatis harus dirombak agar kreativitas tumbuh. Peran guru seharusnya mengikuti filosofi Ki Hajar: memberi contoh di depan, semangat di tengah, dan dorongan dari belakang.

Pada era 1970-an, kita diajarkan huruf latin halus, aksara Jawa, sopan santun, dan unggah-ungguh. Guru dihormati. Kini, ketika guru menegakkan disiplin, justru dilaporkan ke polisi. Nilai-nilai luhur makin terkikis. Pendidikan menjadi industri bisnis. Tak heran biaya pendidikan makin mahal.

Bahkan kabarnya, di beberapa universitas, mata kuliah Pancasila hendak dihapus. Ini sangat berbanding terbalik dengan masa Orde Baru, di mana Pancasila diajarkan lewat program Eka Prasetya Panca Karsa. Kini, generasi muda seakan diarahkan mengikuti arus globalisasi tanpa pegangan nilai bangsa.

Teknologi memang memudahkan, namun kita terlalu bergantung padanya. Pernahkah kita bayangkan jika suatu hari terjadi “shutdown” sistem digital? Estonia pernah mengalaminya, dan seluruh aktivitas perbankan serta komunikasi lumpuh total.

Kita harus belajar dari sejarah. Jangan sampai kehilangan jati diri dan ruh ke-Indonesiaan. Masa depan ditentukan oleh langkah kita hari ini.

Agus Widjajanto Penulis adalah praktisi hukum, pemerhati sosial budaya, politik, hukum, dan sejarah bangsanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano