Jakarta, Aktual.com – Saat ini 12.659 desa belum sepenuhnya terang, bahkan 2.519 desa di antaranya masih gelap gulita. Salah satu upaya adalah dengan memanfaatkan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk meningkatkan angka elektrifikasi desa-desa yang masih rendah. Optimalisasi EBT juga mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang ujung-ujungnya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan, sebetulnya pemerintah sudah menerbitkan serangkaian peraturan dan perundangan terkait pemanfaatan energi terbarukan. Bahkan sudah ada juga peraturan setingkat Permen.

“Namun di lapangan tetap tidak bisa dieksekusi dengan baik. Jika saja semua kendala di lapangan itu bisa diatasi, tentu semua pihak akan diuntungkan. Pemerintah tidak
perlu lagi mengalokasikan APBN dan APBD untuk membangun pembangkit bertenaga fosil,” ujar Surya Darma di Jakarta, ditulis Rabu (30/11).

Di sisi lain, lanjutnya, dunia usaha juga memperoleh peluang usaha yang berprospek bagus. Sementara masyarakat dan kalangan industi juga diuntungkan, karena kebutuhan listrik mereka terpenuhi dengan harga lebih murah.

“Tantangan yang ada kini adalah, bagaimana kita memanfaatkan energi terbarukan ramah lingkungan untuk menghasilkan listrik. Sumber energi terbarukan kita sangat berlimpah dengan potensi sangat besar. Kita punya matahari yang bersinar sepanjang tahun, angin, panas bumi atau geothermal, ombak, air, dan angin. Sayang kalau semua itu tidak bisa kita manfaatkan secara maksimal,” ungkap Surya.

Sementara itu, Chairman PT Ffaireness Indonesia Daya  Sumarsono mengingatkan karakteristik Indonesia yang kepulauan. Dengan jumlah 17.000 lebih pulau dan membentang di sepanjang ribuan kilometer di garis katulistiwa, penyaluran listrik menjadi persoalan yang tidak mudah.

“Kita tidak mungkin membangun pembangkit di Jawa dan menyalurkannya ke Lombok-NTT apalagi Papua. Tentu dibutuhkan investasi sangat besar untuk membangun jaringan transmisi. Belum lagi bicara loses arus yang pasti sangat besar, sehingga tidak efisien,” ujar Sumarsono yang pernah menjadi Direktur dan Komisaris Pertamina.

Menurut CEO FID, Harry Santoso, solusinya harus membangun pusat-pusat pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan ramah lingkungan secara terdesentralisasi. Memang tidak besar, mungkin hanya beberapa MW saja.

“Namun, dengan cara seperti itu, kita bisa memanfaatkan sumber energi sesuai dengan potensi yang ada di daerah tersebut. Hasilnya, pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana, pengusaha ada peluang bisnis, dan kebutuhan masyarakat serta kalangan industri terpenuhi. Semua senang, semua diuntungkan,” papar Harry yang juga mantan Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kemenhut.

Seminar Indonesia Terang 2019 dengan Energi Terbarukan Ramah Lingkungan hasil kerja sama antara Forpesi, METI, dan PT Fairness Indonesia Daya (FID). Bertindak sebagai keynote speaker adalah Menteri BUMN Rini M Soemarno, dan Menteri ESDM Ignasius Jonan. Seminar juga menghadirkan Dirjen Ketengalstrikan Jarman dan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Selain itu, sejumlah praktisi juga memberi paparan, antara lain Dirut PLN (Persero) dan Dirut BPDP Sawit.

“Sejumlah praktisi lain di bidang biomasa, biogas, panas bumi, angin, air, ganggang atau algae dan matahari juga menyampaikan paparannya hari ini,” tambah Koesmawan Subandi, pengurus FID.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka