Misteri Uang dan Keadilan: Saat Kasus CPO Menyeret Hakim, Pengacara, dan Buzzer ke Kursi Terdakwa

aktual.com- Di bawah langit mendung Jakarta, lima orang tersangka digiring ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Di antara mereka ada nama-nama yang tak asing: pengacara korporat, mantan jurnalis, dan seorang buzzer ternama. Hari itu, negara resmi menyerahkan mereka kepada proses hukum—bukan karena tindak pidana ringan, melainkan karena mereka diduga menjadi bagian dari skema besar: menyuap majelis hakim untuk membebaskan tiga raksasa sawit dari jeratan hukum.

Di ruang pertemuan Kejari, para jaksa menerima berkas pelimpahan tahap kedua dari Kejaksaan Agung. Di dalamnya terdapat dokumen perkara yang membelit nama-nama seperti Marcella Santoso, Ariyanto Bakrie, Tian Bahtiar, Junaedi Saibih, dan M. Adhiya Muzakki. Tuduhannya berat: mengatur suap dan menghalangi penyidikan dalam kasus ekspor crude palm oil (CPO) yang disebut merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Di Balik Vonis Lepas
Awalnya, ini hanyalah perkara hukum seperti biasa—setidaknya di permukaan. Tiga perusahaan besar: Wilmar Group, Musim Mas, dan Permata Hijau Group dituduh menyalahgunakan fasilitas ekspor CPO pada tahun 2022. Negara mengklaim kerugian hingga Rp17,7 triliun, terutama karena kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng kala itu.

Namun, publik tercengang ketika pada Maret 2025, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus para korporasi tersebut “lepas dari tuntutan hukum”. Vonis itu artinya: perbuatan mereka diakui terjadi, tetapi tidak bisa dihukum. “Ontslag van rechtsvervolging,” kata putusan itu.

Tapi kecurigaan segera merebak. Mengapa fakta-fakta di persidangan, termasuk bukti audit dan pengakuan saksi, tak cukup untuk menjatuhkan hukuman? Dalam diam, Kejaksaan mulai menyelidiki lebih dalam. Tak butuh waktu lama sampai jejak uang mulai terendus.

Uang, Diam, dan Tangan di Balik Layar
Jaksa menemukan aliran dana mencurigakan ke rekening pribadi beberapa hakim. Diduga, Rp60 miliar mengalir kepada Wakil Ketua PN Jakpus, Muhammad Arif Nuryanta. Tiga hakim anggota dikabarkan berbagi Rp22,5 miliar lainnya. Uang itu, kata jaksa, berasal dari korporasi yang dibela oleh Marcella dan Ariyanto, dua pengacara yang kini duduk sebagai tersangka.

Namun jaringan itu tak berhenti di ruang sidang. Ketika penyidikan mulai menyentuh tokoh-tokoh di balik layar, muncul strategi “pengamanan opini publik.” Di sinilah Tian Bahtiar, mantan Direktur Pemberitaan JakTV, dan M. Adhiya Muzakki, pimpinan tim buzzer, masuk panggung. Mereka dituduh membantu menutupi jejak dan membangun narasi untuk melemahkan penyidikan—termasuk melalui tekanan di media sosial dan serangan terhadap jaksa penuntut.

Jaksa menyebutnya sebagai “perintangan keadilan.” Undang-Undang Tipikor menyebut perbuatan ini sebagai pelanggaran serius, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah perkara korupsi, para pelaku diseret ke pengadilan bukan hanya karena menerima atau memberi suap, tetapi juga karena menghalangi jalannya keadilan.

Bukti Tak Lagi Titipan
Satu hal menarik dalam perkara ini adalah status uang yang semula hanya “titipan” dari tiga korporasi. Totalnya mencapai hampir Rp13,8 triliun, diserahkan secara sukarela ke Kejagung saat proses hukum bergulir. Awalnya, ini dipandang sebagai bentuk itikad baik untuk mengembalikan kerugian negara.

Namun kini, uang tersebut tak lagi bersifat titipan. Setelah putusan vonis lepas, Kejaksaan mengubah statusnya menjadi barang sitaan, dengan izin pengadilan. Artinya, negara menahan dana itu secara sah untuk dimasukkan ke dalam memori kasasi—sebagai bukti bahwa perkara belum selesai dan putusan lepas harus dibatalkan.

Di ruang kas negara, uang itu kini tercatat rapi. Tapi di mata publik, yang lebih penting adalah kejelasan: apakah keadilan benar-benar ditegakkan?

Antara Nama, Reputasi, dan Pembuktian
Marcella Santoso, salah satu tokoh utama kasus ini, dulunya dikenal sebagai pengacara elite. Ia mewakili banyak korporasi multinasional. Kini, ia duduk di ruang tahanan Kejari, mengenakan rompi oranye. Ariyanto Bakrie, koleganya, juga menghadapi nasib serupa. Sementara Tian dan Adhiya kini menghadapi ujian hidup yang tak akan mudah: menjawab tuduhan bahwa mereka memanipulasi opini demi menutupi kejahatan.

Masyarakat pun menunggu, bukan hanya bagaimana dakwaan dibacakan, tetapi apa yang terungkap di ruang sidang nanti. Akan kah nama hakim-hakim lain muncul? Apakah uang miliaran itu benar-benar mengubah hasil sidang?

Yang jelas, sidang ini akan lebih dari sekadar soal CPO. Ia menjadi panggung tempat kita menguji: seberapa dalam korupsi bisa bersembunyi di balik sistem hukum?

Suara Publik: Jangan Hanya Yang Menyuap yang Dipenjara
Beberapa aktivis hukum sudah angkat bicara. Mereka mendesak agar proses hukum tidak berhenti di para pemberi suap. Hakim, panitera, bahkan pejabat yudisial yang terlibat harus ikut diseret ke muka hukum.

“Kalau hanya yang menyuap yang dipenjara, sementara hakimnya bebas, kepercayaan publik akan benar-benar hancur,” kata seorang pegiat antikorupsi kepada media.

Kejagung sendiri belum menutup kemungkinan menindaklanjuti keterlibatan aparat hukum. Beberapa nama telah diperiksa Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Namun belum ada yang resmi ditetapkan sebagai tersangka.

Lebih dari Sekadar Vonis
Kasus suap vonis lepas CPO bukan hanya soal uang atau hukum. Ini tentang bagaimana hukum bisa diperjualbelikan, tentang bagaimana sistem bisa direkayasa oleh kekuatan modal dan koneksi. Tapi juga, ini tentang perlawanan—dari jaksa, dari penyidik, dari publik—yang tidak membiarkan keadilan berhenti di meja transaksi.

Saat sidang digelar nanti, bukan hanya lima tersangka yang diadili. Yang sedang diadili adalah kemampuan sistem kita melawan pengkhianatan terhadap hukum itu sendiri.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto