Sistem Pemilu
Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin memberikan sambutan secara daring, pada acara Peluncuran Buku "Melangkah Maju: Inisiatif Lokal Dalam Menurunkan Stunting di Indonesia", di Jakarta, Selasa (31/5/2022). ANTARA/HO-BPMI Setwapres

Jakarta, Aktual.com – Wakil Presiden Ma’ruf Amin bersyukur Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait sistem pemilu.

“Kalau saya bersyukur tentu, sebab kita kan ingin tidak ada gejolak dalam menghadapi pemilu,” ujar Wapres di sela kunjungan kerja di Samarkand, Uzbekistan, Kamis (15/6) malam.

Bila MK mengabulkan sistem pemilu tertutup, Ma’ruf memperkirakan akan menimbulkan protes dan gejolak di masyarakat. Pasalnya, masyarakat dan partai politik banyak yang menghendaki sistem pemilu tetap terbuka.

“Saya kira itu artinya (Putusan MK) tidak mengubah ya. Dan itu kan yang banyak saya baca di koran dikehendaki masyarakat dan juga partai-partai peserta pemilu juga ingin (sistem) terbuka. Dengan diputuskan begitu maka diperkirakan tidak ada reaksi, tidak ada gejolak. Kalau diputuskan yang lain mungkin akan ada protes, ada gejolak,” ujar Wapres.

Menurut Wapres, putusan MK tersebut menambah keadaan yang lebih kondusif bagi bangsa dalam menghadapi Pemilu 2024 mendatang.

Pada Kamis (15/6), Majelis hakim MK menyatakan menolak permohonan Para Pemohon pada sidang perkara gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat.

Dalam persidangan perkara nomor 114/PUU-XX/2022, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa para Pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik.

Menurut Mahkamah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, dalil para Pemohon adalah sesuatu yang berlebihan.

“Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon,” ujar Saldi Isra.

Sedangkan terkait dengan kekhawatiran calon anggota DPR/DPRD yang tidak sesuai dengan ideologi partai, Saldi Isra menjelaskan bahwa partai politik memiliki peran sentral dalam memilih calon yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik yang bersangkutan.