Kiri-kanan ; Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, Dosen UGM dan mantan anggota Tim Anti Mafia Migas Fahmy Radhi, Pengamat Energi Yusri Usman, PB Pemuda Muslimin Indonesia Mukhlis Zamzami, Direktur IRESS Marwan Batubara, dalam diskusi di Jakarta, Minggu (13/12/2015). Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Pemuda Muslimin Indonesia (PB PMI) dengan tema " Keniscayaan Nasionalisasi Dibalik Sengkarut Freeport".

Jakarta, Aktual.com – Pada Rabu (14/12) lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan yang penting yaitu menolak gugatan pembatalan UU Nomor 11 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).

Menurut pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy, sejak Januari 2016 lalu dirinya sudah kerap dimintai pendapat oleh berbagai kalangan terkait kebijakan tax amnesty ini.

“Dan sikap saya sama, baik di media massa maupun di acara di banyak kampus, dalam melihat UU yang cukup kontroversial ini, selain adanya bau tak sedap di dalamnya, juga UU ini telah menyinggung rasa keadilan masyarakat,” tandas Ichsan dalam keterangan resminya, di Jakarta, Kamis (15/12).

Namun kebijakan ini, menurutnya, pemerintah telah sekali mendayung beberapa pulau terlampui. Pasalnya, pemerintah sendiri memang membutuhkan dana besar dalam membangun infrastruktur karena cekaknya penerimaan perpajakan.

“Maka lahirlah UU TA yang saat dirancang dan diajukan ke DPR sebenarnya berkaitan dengan transaksi politik tentang Revisi UU KPK,” jelas Ichsan.

Menurutnya, kendati sebagian prinsip dari UU ini dirinya bisa mengerti, namun dari sisi substansi justru menyinggung rasa keadilan. “Saya mengerti karena ada kejahatan, ada pengampunan setelah vonis. Suatu kejahatan bisa diampuni sepanjang memenuhi syarat pengampunan yang ditetapkan otoritas yang menjaga dan memelihara rasa keadilan,” jelasnya.

Dari segi UU TA, kata dia, pengampunan atas suatu kejahatan adalah wewenang Presiden setelah melalui proses peradilan yang mempunyai putusan dengan kekuatan hukum tetap. Sehingga, UU ini memberi otoritas kepada Presiden untuk mengampuni “kejahatan” perpajakan dengan tarif tertentu tanpa melalui proses peradilan.

Namun yang lucu, kata dia, justru terkait keikutsertaan Wajib Pajak (WP) yang disebut sebagai hak dari setiap warga negara. Anehnya, mesti hak justru disertai sanksi.

“Karena dalam perspektif sistem hukum, hanya kewajiban yang disertai sanksi. Hak bersifat fakultatif sementara kewajiban bersifat imperatif. Saat imperatif atau paksaan itu bermuara pada subyek hukum domestik yang relatif patuh pajak, maka paksaan itu bersanding dengan pengampunan atau keringanan pajak pada mereka yang relatif tidak patuh pajak,” paparnya.

Makanya, tegas dia, muncul masalah, kejahatan perpajakan apa yang dilakukan wajib pajak (tax obligor – kenapa bukan pembayar pajak, tax payer) yang kekayaannya ada di domestik dan yang kekayaannya disimpan di negara bebas pajak ?

“Pertanyaan ini mewajibkan kuts mengonstruksi jenis-jenis kejahatan perpajakan yang dilakukan di Indonesia, bahkan wajib mengonstruksi kejahatan keuangan yang terjadi di Indonesia. Karena setiap kebijakan fiskal selalu berdampingan dengan kebijakan moneter,” terang dia.

Dari rumusan bahwa warga negara atau badan usaha yang beroperasi di Indonesia adalah wajib pajak, menurut Ichsan, maka mereka pun adalah pemilik hak pajak, yakni tingkat pengembalian pajak yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan pembangunan atau layanan publik (barang atau jasa).

“Sehingga, kondisi ini yang melahirkan tesa bahwa para wajib pajak enggan membayar pajak karena rendahnya kepercayaan mereka terhadap pemerintah,” tandasnya.

Penyebabnya adalah, kata dis, selain tingginya korupsi, uang hasil pajak juga dipakai untuk membayar kemewahan pejabat, membiayai orang kaya melalui obligasi berbunga tinggi, dan pembiayaan pembangunan yang boros serta alokasi-alokasi belanja lain yang hasilnya justru ketimpangan pendapatan yang makin menganga.

“Situasi itulah yang membuat saya menolak pengampunan dengan tarif 2-5 persen untuk deklarasi harta di domestik dan 4-10 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi. Padahal kejahatan keuangan di Indonesia sejak Orde Baru luar biasa,” tandasnya.

Dia memaparkan, jika diambil posisi sejak krisis 1997/1998, maka didapat angka likuidasi 16 bank pada 1 Nov 1997 senilai Rp11,88 triliun yang sejumlah asetnya dibengkakkan dan dilarikan. Contohnya kasus bmBank BHS. Biaya krisis 1997/1998 mencapai Rp670 triliun dengan tingkat pemulihan sekitar 14 persen, dengan BLBI sekitar 89 persen dari Rp144,536T dilarikan ke luar negeri, juga rekapitalisasi perbankan sebesar Rp430,422 triliun.

Kemudian, pengalihan pendapatan menjadi biaya (strategic transfer pricing), manipulasi pemberitahuan ekspor barang dan pemberitahuan impor barang, 168 pengemplang pajak senilai Rp3,2 triliun sebagaimana disampaikan Wamenkeu, dan 2.000 penunggak pajak seperti yang disampaikan Menkeu pada 28 Maret 2016 lalu.

Alhasil, kata dia, jika program pengampunan pajak hingga 14 Desember 2016 sekitar Rp4.006 triliun (deklarasi dalam negeri Rp2.874 T, deklarasi luar negri Rp988T, repatriasi Rp144 triliun dengan jumlah uang tebusan Rp95,8 triliun), maka kekecewaan Menkeu Sri Mulyani, termasuk kepada delapan taipan bisa dipahami.

“Makanya, kebahagiaannya atas ditolaknya gugatan UU TA pun pada tempatnya. Soalnya adalah, apakah pengampunan atas “kejahatan” perpajakan dan keuangan yang pernah dilakukan itu setara dengan tarif yang diberikan?” tegas Ichsan.

Di sini letak masalahnya, seberapa luas dan mendalam Pemerintah mampu menjaring rasa keadilan rakyat tersebut. Karena, jika dalam kasus penistaan Al Maidah ayat 51 rasa keadilan masyarakat sudah terkoyak, dirinya khawatir pengampunan pajak dengan tarif yang berlaku merupakan tambahan investasi kekecewaan pada masyarakat.

“Karena itu, keputusan MK tentang hal ini seharusnya menyangkut tarif pengampunan itu sesuai dengan mandat konsitusi, bahwa APBN ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat,” ingat Ichanuddin.(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid