Lebak, Aktual.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak, Banten, mengimbau pemerintah menggunakan anggaran secara proporsional untuk kemaslahatan masyarakat.

“Ajakan ini guna mencegah tindakan korupsi,” kata Ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Lebak, KH Baijuri di Lebak, Selasa (1/9).

Selama ini, banyak kasus-kasus korupsi di daerah, akibat penyelewengan anggaran baik melalui APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten.

Akibat tindakan korupsi itu, tentu berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di daerah itu.

Selain itu juga lebih parah menghambat terhadap proses pembangunan nasional.

Ia meminta kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Wali Kota) menggunakan anggaran lebih efisiensi dan proposional, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.

Artinya, kata dia, jangan sampai mengalokasikan anggaran, tetapi manfaatnya tidak ada.

“Perbuatan itu tentu berpeluang terjadi tindakan korupsi,” katanya.

Ia juga prihatin ada beberapa kepala daerah pada setiap kunjungan kepada masyarakat mendapat pengawalan secara berlebihan.

Disamping itu juga didampingi oleh seluruh pejabat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Padahal, kata dia, tindakan seperti itu tentu sia-sia dan membuang-buang anggaran saja, karena relevansinya tidak ada kemaslahatan bagi masyarakat.

Semestinya, kunjungan kepala daerah itu cukup diwakili oleh SKPD terkait.

“Jika kunjungan itu berlebihan juga didampingi semua pejabat SKPD, maka berapa anggaran sia-sia yang dikeluarkan, seperti pembelian bahan bakar kendaraan,” katanya.

Menurut dia, penggunaan anggaran sia-sia itu tentu adanya cela untuk melakukan perbuatan tindakan korupsi.

Sebab mereka mendampingi kunjungan kepala daerah itu, tentu harus membeli bahan bakar kendaraan.

Sedangkan, pos anggaran di SKPD bersangkutan tidak ada, sehingga mereka berbagai cara untuk mengambil anggaran lain.

“Kami minta pemerintah bisa menggunakan anggaran sebaik-baiknya dan jangan sampai terjadi korupsi,” ujarnya.

Ia mendukung rekomendasi yang dikeluarkan MUI Pusat bahwa pelaku koruptor itu dihukum mati, karena masuk kategori kejahatan luar biasa.

Namun, pemberlakuan hukuman mati itu yang nilai korupsinya di atas Rp1 miliar lebih.

“Kami sangat setuju jika pelaku-pelaku koruptor itu disamakan dengan kejahatan narkoba yang menjalani eksekusi mati,” katanya menjelaskan.

Ia menambahkan, selama ini kasus korupsi sulit diberantas meskipun sudah ada Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Untuk mencegah kasus korupsi pemerintah harus proposional dan transparan dalam mengawasi keuangan dan berbagai program serta kegiatan proyek pembangunan.

Selain itu, pengawasan melekat (waskat) dan pembinaan mental juga dioptimalkan, termasuk siraman rohani dan peningkatan kesejahteraan pegawai.

“Kami berharap dengan hukuman mati itu bisa menjadikan efek jera bagi pelakunya,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh: