Jakarta, Aktual.com — Seringkali di dalam kehidupan seorang Muslim, kita kurang bersyukur terhadap kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT. Padahal, Allah SWT, Tuhan Semesta Alam sangat sayang kepada para hamba-Nya. Allah SWT memberikan cobaan kepada umat Islam dengan tujuan, Muslim harus bersyukur!.
Terkadang, Muslim kurang bersabar dalam memaknai kehidupan kesehariannya. Misalnya, keluh kesah seorang Muslim tersebut sebagai berikut,“Duh hari ini hujan lagi”, “Panas banget ya hari ini. Kulitku jadi rusak”, “Orang tuaku cerewet banget deh”, “Bosku galak banget. Padahal gajiku kecil di kantor ini”, “Sial!. Macet banget hari ini,”, “Isteriku wajahnya jelek banget, kalah sama teman kantorku yang cantik.”, dan sebagainya.
Bagaimana Islam memandang keluh kesah seorang Muslim tersebut?.
“Hukum mengeluh jelas dilarang dalam Islam, kerena seharusnya kita sebagai Muslim harus bersabar. Dan tabah akan semua yang datang pada kita. Dan mengeluh sendiri ada empat macamnya,” kata Ustad Hasanudin, LC, kepada Aktual.com, di Jakarta, Senin (01/02).
1. Menggerutu (mendongkol)
Menggerutu direfleksikan dengan hati. Seperti seseorang yang menggerutu terhadap Rabb-Nya dan geram terhadap takdir yang dialaminya. Perbuatan ini hukumnya haram dan bisa menyebabkan kekufuran.
Direfleksikan secara lisan. Di antaranya, berdoa dengan umpatan ‘celaka’, ‘hancurlah’ dan sebagainya. Perbuatan ini haram hukumnya.
Hal ini dicerminkan dengan anggota badan. Contohnya, menampar pipi, menyobek kantong baju, mencabut bulu dan sebagainya. Semua ini adalah haram hukumnya karena menafikkan kewajiban bersabar.
Allah SWT berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
Artinya, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah SWT dengan berada di tepi. Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu. Dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Al-Hajj: 11).
2. Bersabar atasnya
Hal ini senada dengan ungkapan seorang penyair, sabar itu seperti namanya, pahit rasanya, akan tetapi hasilnya lebih manis daripada madu.
Menurut Ustad Hasanudin, Muslim yang dalam kondisi ini beranggapan bahwa musibah tersebut sebenarnya berat baginya akan tetapi dia kuat menanggungnya.
“Dia tidak suka hal itu terjadi akan tetapi iman yang bersemayam di hatinya menjaganya dari menggerutu (mendongkol). Terjadi dan tidak terjadinya hal itu tidak sama baginya. Perbuatan seperti ini wajib hukumnya karena Allah SWT memerintahkan untuk bersabar sebagaimana dalam firmanNya,
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah SWT beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46).
3. Ridha terhadapnya
Seperti keridhaan seseorang terhadap musibah yang dialaminya di mana baginya sama saja. Ada dan tidak adanya musibah tersebut. Adanya musibah tidak membuat-nya sesak dan menanggungnya dengan perasaan berat. Sikap seperti ini dianjurkan tetapi bukan suatu kewajiban menurut pendapat yang kuat.
“Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya amat jelas sekali. Sebab dalam tingkatan ini ada dan tidak adanya musibah sama saja bagi orang yang mengalaminya sementara pada tingkatan sebelumnya, adanya musibah dirasakan sulit baginya tetapi dia bersabar atasnya,” terang ia menambahkan.
4. Bersyukur atasnya.
Ini merupakan tingkatan paling tinggi. Hal ini direfleksikan oleh orang yang mengalaminya dengan bersyukur kepada Allah SWT atas musibah apa saja yang dialami. Dalam hal ini, dia mengetahui bahwa musibah ini merupakan sebab (sarana) untuk menghapus semua kejelekan-kejelekannya (dosa-dosa kecilnya, red) dan barangkali bisa menambah kebaikannya.
Rasulullah SAW bersabda, “Tiada suatu musibah pun yang menimpa seorang Muslim, melainkan dengannya Allah hapuskan (dosa-dosa kecil) darinya sampai-sampai sebatang duri pun yang menusuknya.”(Shahih al-Bukhari, kitab al-Mardla, no. 5640; Shahih Muslim, kitab al-Birr wa ash-Shilah, no. 2572). Bersambung…………
Artikel ini ditulis oleh: