Jakarta, Aktual.com — Kata “hutang” dalam kamus bahasa Indonesia terdiri atas dua suku kata yaitu “hutang” yang mempunyai arti uang yang dipinjamkan dari orang lain. Sedangkan kata “piutang” mempunyai arti uang yang dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain, red).
Definisi dan pengertian hutang Piutang yaitu memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama.
Jika peminjam diberi pinjaman hutang Rp. 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta. Contoh hutang piutang modern yakni, perum pegadaian, kpr BTN, Kredit investasi kecil (KIK), kredit modal kerja permanen (KMKP), dan lain-lain.
Dalam kajian Islam, orang yang meminjamkan hutang harus berusaha keras menagih hak mereka. Orang yang berhutang merupakan bentuk tindakan kezaliman dan merugikan orang lain. Ancamannya pun berupa azab yang pedih di akhirat nanti. Dan, pastinya membuat Anda berpikir ulang untuk menunda bayar hutang.
Patut diketahui, bahwa hutang akan selalu melekat pada diri seseorang walaupun orang tersebut sudah meninggal dunia. Ketika seorang Muslim menunda membayar hutangnya, mereka juga harus mengingat bahwa kematian bisa datang kapan saja. Jika Malaikat Maut datang, sementara Muslim itu masih berhutang maka akan sangat sulit untuk membayarnya.
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari Kiamat nanti) karena di sana (di Akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Hadis ini Sahih).
Selanjutnya, Hadis yang lain menyebutkan, bahwa orang yang masih berhutang dalam kondisi sudah meninggal, maka jiwanya akan terkatung-katung sampai ada keluarga yang melunasinya.
“Jiwa seorang Mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078 dan Ibnu Majah no. 2413. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Hadis ini sahih).
Meninjau Hadis di atas menurut Al ‘Iroqiy yaitu tidak bisa dikatakan selamat atau sengsara sampai dilihat hutangnya tersebut lunas atau tidak. Hal ini menjadi dorongan bagi ahli waris untuk segera melunasinya.
Ancaman tersebut yakni, bagi orang yang memiliki harta namun tidak melunasinya. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki harta, namun memiliki itikad baik untuk melunasi, maka Allah SWT akan memberikan pertolongan untuk memutihkan hutangnya tersebut. Hal itu dijelaskan dalam beberapa Hadis.
“Allah SWT akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Hadis ini sahih).
Dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa orang-orang yang berhutang namun berniat tidak melunasinya akan digolongkan dalam kategori golongan pencuri di Akhirat kelak. Muslim itu akan mendapatkan hukuman layaknya hukuman yang akan didapatkan para pencuri.
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah SWT (pada hari Kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Hadis ini hasan sahih).
Al Munawi menjelaskan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.” (Faidul Qodir, 3/181)
Belajar dari kasus di atas, seharusnya Muslim tidak menunda membayar hutang dan menjadi orang yang selalu berniat untuk segera melunasi hutang-hutang yang pernah dipinjamnya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)
Artikel ini ditulis oleh: