Jakarta, Aktual.co — Parfum atau minyak wangi dari segi jenis bahan campurannya ada dua macam yakni, non-alkohol dan parfum ber-alkohol. Konon salah satu tujuannya adalah untuk melarutkan sebagian bahan parfum dengan bahan yang lain.

Ibarat bensin yang tidak bisa larut saat bertemu dengan air, begitu juga minyak wangi. Dan alkohol berfungsi untuk pelarutan itu.

Terlepas dari itu, bagi seorang muslim yang taat, adanya bahan alkohol dalam parfum menjadi masalah tersendiri. Karena seorang Muslim berkewajiban melakukan shalat setidaknya lima kali sehari.

Dan, salah satu dari persyaratan shalat adalah tidak boleh ada sesuatu yang najis di tubuh dan baju orang yang salat.

Alkohol yaitu, zat yang memabukkan dan karena itu haram dan (sebagian besar) Ulama menyatakan bahwa barang yang haram dikonsumsi hukumnya najis seperti halnya anjing dan babi. Bila demikian, maka salatnya orang yang memakai parfum ber-alkohol hukumnya tidak sah.

Sedangkan, Khamr adalah istilah bahasa Arab yang maksudnya adalah buah anggur yang sudah difermentasi, misalnya wine dari buah anggur.

Secara umum, alkohol (atau alkanol) adalah istilah yang umum untuk senyawa organik apa pun yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon, yang ia sendiri terikat pada atom hidrogen dan atau atom karbon lain.

Secara khusus, alkohol atau minuman beralkohol adalah minuman yang biasanya mengandung etanol 5 persen sampai dengan 40 persen volume, telah diproduksi dan dikonsumsi sejak zaman pra-sejarah.

Apabila kita membandingkan khamr dengan alkohol, maka yang dimaksud adalah makna khusus yakni minuman beralkohol. Dari definisi di atas, maka jelas khamr dan miniman beralkohol adalah berbeda.

Namun demikian, keduanya sama-sama haram karena memabukkan. Seperti hadits yang tesebut di atas, segala sesuatu yang memabukkan, maka hukumnya haram dikonsumsi atau diminum.

Bagi Ulama yang tidak menyamakan minumal alkohol dengan khamr, maka ia dianggap sebagai zat beracun yang dikonsumsi. Adapun bagi mereka yang beranggapan bahwa alkohol tidak masuk dalam kategori khamr, akan tetapi masuk dalam kategori zat beracun dan berbahaya.

Dengan begitu, alkohol teknis yang digunakan untuk keperluan non-pangan, seperti bahan sanitasi (dalam dunia laboratorium dan kedokteran) masih diperbolehkan.

Sementara itu, minuman keras atau khamar adalah suatu istilah untuk jenis minuman yang memabukkan.

Komisi Fatwa MUI masih membolehkan pemakaian alkohol sebagai pelarut dalam dunia pangan, selama tidak terdeteksi di dalam produk akhir bahan makanan tersebut.

Contohnya adalah penggunaan alkohol sebagai pelarut dalam mengekstrak minyak atsiri atau oleoresin atau juga alkohol untuk melarutkan bahan-bahan perasa (flavor).

“Syaratnya, alkohol tersebut bukan berasal dari fermentasi khamar (alkohol teknis) dan alkohol tersebut diuapkan kembali hingga tidak terdeteksi dalam produk akhir,” demikian pemaparan Komisi Fatwa MUI.

Kesimpulannya yakni, Pertama, bahwa khamar itu najis hisiyah ainiyah seperti halnya kencing menurut mayoritas ulama madzhab empat. Dan karena itu orang shalat harus bersih dari cairan khamr.

Menurut kalangan Ulama non-madzhab dan ulama kontemporer, khamar itu suci dan hanya najis maknawi, bukan hissiyah.

Kedua, bahwa alkohol itu termasuk khamr. Bagi pendapat ini, maka khamar termasuk najis menurut jumhur. Menurut pendapat yang lain, alkohol itu berbeda dengan khamar.

Alkohol adalah zat beracun dan berbahaya. Bagi pendapat kedua ini maka alkohol tidak najis secara mutlak seperti halnya ganja, kokain dan zat lain hanya haram dikonsumsi.

Ketiga, karena adanya perbedaan pendapat Ulama, maka sebagai langkah hati-hati adalah menghindari memakai parfum beralkohol untuk menjamin kesucian diri saat salat.

Namun, biarkan orang awam memakainya karena ada pendapat yang menganggapnya suci.

Pada saat yang sama, kita dapat memakai apapun yang mengandung alkohol apabila memang dibutuhkan seperti untuk pengobatan dan lain-lain. Perbedaan Ulama adalah rahmat.

Artikel ini ditulis oleh: