Jakarta, Aktual.com – Menikah memang sebuah hal yang diidamkan oleh setiap manusia. Dan hal itu merupakan sunnatullah, untuk meneruskan keturunan.
Namun, menikah bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, kedua calon (suami-istri) harus benar-benar siap secara lahir dan batin.
Bukan hanya itu, yang lebih penting adalah, nafkah dari seorang suami, yang bukan hanya secara batin, tapi juga secara lahir seperti sandang dan pangan, dengan memberikan sebagian hartanya untuk istri dan anaknya kelak.
Tapi, hal kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istri, berbanding lurus dengan kewajiban dan ketaan istri kepada suami.
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah 228).
Potongan surah Al-Qur’an itu dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir, “Para istri mempunyai hak diberi nafkah oleh suaminya yang seimbang dengan hak suami yang diberikan oleh istrinya, maka hendaklah masing- masing menunaikan kewajibannya dengan cara yang makruf, dan hal itu mencakup kewajiban suami memberi nafkah istrinya, sebagaimana hak- hak lainnya.” (Tafsir al-Qur’anil Adhim 1/272)
Para pakar Fiqih sepakat bahwa, jika suami tidak memberikan nafkah secara lahir kepada istrinya, maka sang istri berhak untuk menuntut sang suami ke pengadilan agama dan mengambilnya dengan paksa, sesuai dengan kebutuhan nafkah yang biasa diberikan oleh suami.
Kadar nafkah untuk kecukupan keluarga dalam kehidupan sehari- hari dengan cara yang wajar telah ditegaskan oleh Rasulullah, ketika Hindun binti Itbah melaporkan suaminya yang sangat kikir, beliau bersabda:
Bahwasanya Hindun binti Itbah berkata, Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, dia tidak memberi nafkah yang cukup buat aku dan anak- anakku, kecuali aku harus mengambilnya sedangkan dia tidak tahu,” maka (Rasulullah) mengatakan, “ambillah apa yang cukup buatmu dan anak- anakmu dengan cara yang patut.” (HR Bukhori 4945).
Namun apabila ada seorang laki-laki sudah mengetahui bahwa dirinya tidak mampu memberikan nafkah seperti sandang dan pangan kepada calon istrinya, maka tidak halal baginya untuk menikahi wanita pujaan hatinya itu, kecuali laki-laki itu menjelaskan atau berterus terang dengan ketidakmampuannya tersebut kepada calon istrinya, dan si calon istri menerima dengan penuh kerelaan atas keadaannya.
Artikel ini ditulis oleh: