Saat ini banyak orang yang tidak tahu bahwa pada abad ke16-18, Maluku merupakan pusat perdagangan di kawasan Asia karena menjadi rute atau jalur-jalur rempah-rempah sehingga beberapa negara Eropa kala itu seperti Belanda, Inggris, Portugis dan Spanyol,  berebut menanam pengaruh di kepulauan itu. Bahkan Pulau Morotai yang juga berada di Maluku, merupakan zona  penentu operasi tempur pasukan gabungan AS dan Inggris untuk menyerang langsung ke Jepang melalui Filipina pada Perang Dunia II.

 

Melalui gambaran sekilas tadi, menelisik kesejarahannya Maluku punya nilai strategis baik secara geoekonomi (sumberdaya alam) maupun geostrategi mengingat lokasi geografisnya yang amat strategis sebagai basis operasi militer.

 

Bukan itu saja. Fakta bahwa Indonesia diapit oleh dua lautan (hindia dan pasifik) maupun dua benua (asia dan Australia),maka Maluku merupakan zona yang berada di lalu-lintas barang, jasa dan manusia. Maka tak heran jika menelisik kesejarahannya sejak abad ke-16 dulu, Maluku merupakan titik zona penentu sekaligus medan perang proxy negara-negara adikuasa saat itu seperti Portugal, Spanyol,Belanda, dan Inggris.

 

Keempat negara adikuasa tersebut berupaya untuk mengakhiri monopoli dan kontrol saudagar-saudagar asal Persia, Mesir dan India, terkait perdagangan rempah-rempah yang sudah berlangsung sejak abad ke-4 hingga abad ke-16 (Baca Komarudin Watubunm Maluku, Staging Point RI Abad 21).

 

Secara geoekonomi, rempah-rempah merupakan sumberdaya alam Maluku yang cukup vital kala itu dan punya nilai strategis. Sebab rempah-rempah dijadikan bahan dasar obat-obatan Abad Pertengahan di Eropa, bahan ritual keagamaan, kosmetik, parfum, menu, bumbu pengawet, dan lain-lain.

 

Selain dari Maluku, rempah-rempah ini diimpor oleh Eropa dari Asia dan Afrika melalui para pedagang Anatolia dan Mesir. Keduanya yang kerap disebut para pedagang Levant situ, menguasai rute-rute dagang maritime Lautan Hindia sepanjang pesisir Asia Selatan-Afrika. Dari sini jelas rute-rute maritim agaknya memegang peran penting.

 

Sayangnya kontrol saudagar-saudagar Levants atas jalur-jalur dan rute perdagangan rempah-rempah dunia  berakhir sejak abad ke-15. Sebab pada 14 Juni 1494, Perjanjian Tordesillas (Spanyol) menetapkan garis arbiter antara kerajaan Spanyol dan Portugal. Melalui perjanjian ini, kedua negara Eropa itu berbagi kekuasaan geopolitik.

 

Zona sisi Timur garis batas dikuasai oleh Portugal dan zona sisi Barat dari garis batas dikuasai oleh Spanyol. Singkat cerita, perjanjian Tordesillas 1494 menandai fase awal dominasi negara-negara Eropa di Asia dan dunia pada umumnya. Melalui perjanjian Tordesillas maupun perjanjian Saragosa pada 1529, merupakan jejak awal sekaligus simbol dari supremasi geopolitik dan perdagangan dunia abad ke-15 dan 16.

 

Konstelasi global seperti itulah yang membawa kedua negara adidaya Eropa itu berjumpa di Maluku. Pada 1511 Portugal merebut Malaka, mata-rantai perdagangan Asia. Dari sini ekspedisi Portugal lanjut Kepulauan Maluku. Targetnya ialah merebut dan menguasai rempah-rempah kualitas terbaik dunia di Maluku masa itu.

 

Maka pada 1512, Portugal membangun benteng pertama di Ternate, Maluku. Namun Spanyol pun kemudian juga melancarkan ekspedisi ke Maluku dan tiba pada 1521. Maka timbullah konflik Portugal dan Spanyol. Di sinilah pada 1518 Spanyol mengusulkan perjanjian Saragossa untuk membagia kedua wilayah secara seimbang.

 

Berdasarkan perjanjian Saragossa itu, Spanyol melepaskan klaimnya atas Kepulauan Maluku dengan kompensasi 350.000 dukat atau sekitar 100 kg emas dari Portugal untuk Spanyol. Inilah fase awal persaingan internasional merebut daerah pengaruh di Kepulauan Maluku.

 

Pada awal abad ke 17, para pemain internasional yang bermain semakin bertambah. Armada dagang Inggris, Perancis, Belanda dan Jerman juga berupaya merebut Maluku. Pada 1604 armada dagang Inggris, British East India Company, merapat ke Ternate, Tidore, Ambon, dan Banda (Maluku). DI Banda, armada Inggris bentrok dengan armada dagang Belanda untuk merebut Maluku yang kaya rempah-rempah.

 

Sebagai dampak dari perseteruan Inggris dan Belanda atas Maluku itu, Belanda kemudian memindahkan markas pusat perdagangan rempah-rempah asal Maluku dari Ambon ke Batavia. Sedangkan Inggris membangun Singapura sebagai commercial-hub imperialis.

 

Cukup sekian gambaran sekilas betapa strategisnya nilai geopolitik Maluku bagi beberapa negara adikuasa pada abad ke-15 dan 16. Bagaimana Maluku dalam pandangan geopolitik Amerika Serikat?

 

Nilai strategis dan histories Maluku bagi AS di Asia bermula pada Perang Pasifik 1941-1945. Ketika AS harus berhadapan dengan Jepang di Asia Pasifik. Tak pelak lagi, Maluku dalam pandangan AS bernilai strategis secara geostrategi. Ketika Jendral McArthur memimpin operasi tempur di barat daya Pasifik dan Bismarck Island dengan basis Australia melalalui Papua Nugini dalam mempersiapkan serangan ke arah Filipina dan Okinawa, melalui rute Morotai di Maluku.

Pada September 1944, Jendral McArthur mendarat di Pulau Peleliu dan Morotai, Maluku, Targetnya adalah netralisasi basis-basis untuk operasi serangan udara ke Pulau Mindanao di Filipina.

 

Dalam pandangan geopolitik AS, dengan merebut Maluku berarti membangun basis dan fasilitas angkatan laut, angkatan udara, dan air warning dalam rangka operasi serangan ke basis kekuatan pasukan Jepang di Mindanao, Filipina. Seraya mengisolasi Jepang di Halmahera, Maluku.

 

Jepang pun sejak merencanakan serbuan militernya ke Indonesia, memandang zona Maluku cukup strategis. Khususnya Pulau Seram.

Melalui konstruksi cerita tadi, Maluku merupakan kawasan Timur Indonesia yang punya nilai strategis secara geopolitik sebagai basis kekuatan baik militer maupun ekonomi di abad 21 saat ini.

 

Dengan menelisik kembali rute-rute yang dulu ditempuhy negara-negara imperialis Belanda, Inggris, Portugal dan Spanyol, tersingkap jelas nilai strategis geopolitik Maluku.

 

Maka itu, bukan suatu kebetulan ketika pada akhir 2016 lalu, Kemenko Maritim sempat mengajukan proposal kerjasama Indonesia-Jepang yang mana salah satunya adalah Pengelolaan Bersama Indonesia-Jepang  terhadap Pulau Morotai, yang berlokasi di ujung Timur Indonesia, di bidang pariwisata.

 

Bagi Jepang yang sangat memahami betul nilai geopolitik Indonesia,Sumatra dipandang sebagai daerah jantung Indonesia. Dan Pulau Morotai merupakan daerah lambung. Menguasai Sumatra, berarti harus lebih dahulu merebut Morotai. Itu cara pandang militer Jepang ketika menyusun serangan ke Indonesia pada 1941. Sehingga bukan tidak mungkin sudut pandang itu masih digunakan Jepang meski kali ini melalui sarana kerjasama ekonomi dengan Indonesia.

 

Lepas dari itu, agaknya nilai strategis geopolitik Maluku di tengah persaingan global antara AS dan Cina yang semakin menajam di Indonesia, nampaknya perlu dicermati dan diantisipasi oleh para pemangku kebijakan luar negeri Indonesia ke depan. Supaya negeri kita tidak menjadi obyek hegemoni negara-negara adikuasa seperti yang terjadi pada abad ke 15 hingga abad ke 16.

 

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.