24 Desember 2025
Beranda blog Halaman 22

Telkom Pisahkan Bisnis Fiber, Siapkan Mesin Baru Efisiensi Infrastruktur Digital

Jakarta, Aktual.com — PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk menandatangani akta pengalihan sebagian aset jaringan fiber optik kepada anak usahanya, PT Telkom Infrastructure Indonesia (TIF). Aksi korporasi ini merupakan bagian dari strategi jangka menengah perseroan untuk memperkuat struktur bisnis dan meningkatkan efisiensi pengelolaan infrastruktur digital.

Direktur Strategy, Business Development, and Portfolio Telkom, Seno Soemadji, mengatakan pemisahan aset fiber merupakan kelanjutan dari strategi transformasi yang telah dirancang sejak sekitar lima tahun lalu. Dalam skema tersebut, Telkom diposisikan sebagai strategic holding, sementara kegiatan operasional dijalankan oleh anak usaha.

“Penandatanganan hari ini merupakan milestone penting bagi Telkom Group dan menjadi kelanjutan dari proses yang telah berjalan sejak tahun lalu,” ujar Seno dalam konferensi pers di The Telkom Hub, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Ia menjelaskan, proses pengalihan aset telah dimulai sejak akhir 2023 dan menandai kesiapan TIF untuk beroperasi penuh mulai 1 Januari mendatang. Menurut Seno, Telkom Group kini membagi portofolio bisnis ke dalam empat pilar utama.

Pilar pertama adalah segmen business to consumer (B2C) yang dijalankan Telkomsel. Pilar kedua adalah B2B Infrastructure yang mencakup pengelolaan fiber optik, kelistrikan, pusat data, dan satelit. Pilar ketiga adalah B2B ICT Company yang ditargetkan mulai dibentuk pada tahun depan. Sementara pilar keempat difokuskan pada penguatan bisnis internasional.

Seno menambahkan, pemisahan aset fiber tersebut telah memperoleh persetujuan pemegang saham dengan tingkat persetujuan lebih dari 99 persen.

“Persetujuan ini mencerminkan kepercayaan pemegang saham terhadap arah transformasi Telkom Group serta prospek jangka panjang dari aksi korporasi ini,” katanya.

Sementara itu, Direktur Utama Telkom Dian Siswarini menegaskan bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari strategi transformasi jangka menengah perusahaan yang dikenal sebagai Telkom 3D (Digital, Data, dan 2030).

“Pengelolaan infrastruktur jaringan, khususnya fiber optik, membutuhkan fokus dan tata kelola yang lebih spesifik agar menghasilkan nilai maksimal,” ujar Dian.

Menurutnya, konsolidasi bisnis wholesale fiber connectivity ke TIF akan mendorong model bisnis yang lebih transparan dan efisien, sekaligus membuka peluang kemitraan strategis untuk mempercepat digitalisasi nasional. Dian menegaskan, seluruh transformasi tetap berorientasi pada peningkatan kualitas layanan dan kepuasan pelanggan.

(Rachma Putri)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

OTT KPK Amankan 9 Orang di Banten dan Jakarta, Sita Uang Tunai Rp900 Juta

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Prasetyo memberikan keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (26/11/2025). ANTARA/Rio Feisal/pri.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Prasetyo memberikan keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (26/11/2025). ANTARA/Rio Feisal/pri.

Jakarta, aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi membenarkan telah melakukan kegiatan tangkap tangan pada Rabu lalu di wilayah Banten dan Jakarta. Dalam operasi tersebut, tim KPK mengamankan sembilan orang dari berbagai latar belakang, mulai dari aparat penegak hukum, penasihat hukum, hingga pihak swasta.

Proses penindakan dilakukan sejak sore hingga malam hari. Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyampaikan bahwa dari sembilan orang yang diamankan, satu di antaranya merupakan aparat penegak hukum, dua orang berprofesi sebagai penasihat hukum, dan enam lainnya berasal dari kalangan swasta.

“Sejak sore sampai dengan malam, tim mengamankan sejumlah sembilan orang,” ujarnya, di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Selain para pihak tersebut, KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai dengan nilai sekitar Rp900 juta. Uang tersebut saat ini telah diamankan sebagai bagian dari proses penyidikan awal.

“Tim juga mengamankan barang bukti sejumlah uang dalam bentuk tunai sekitar Rp900 juta,” kata Budi.

Saat ini, seluruh pihak yang diamankan masih menjalani pemeriksaan secara intensif di gedung KPK. Budi menegaskan bahwa KPK belum dapat menyampaikan detail mengenai kronologi, konstruksi perkara, maupun status hukum para pihak yang terlibat karena seluruhnya masih dalam tahap pendalaman.

“Masih dilakukan pemeriksaan secara intensif,” ucapnya.

Budi juga menanggapi pertanyaan terkait kedatangan dua warga negara Korea Selatan ke KPK pada Kamis pagi. Menurutnya, keduanya merupakan kerabat dari salah satu pihak yang diamankan. Namun, KPK belum bisa memastikan keterkaitan lebih jauh, termasuk apakah kasus ini hanya melibatkan satu jaksa atau lebih dari satu aparat penegak hukum.

“Berkait dengan detail konstruksi perkara, kami belum bisa sampaikan saat ini,” ujarnya.

Ia menjelaskan, perkara tersebut masih akan diekspos dan dianalisis lebih lanjut oleh tim penyelidik. KPK juga akan menyampaikan secara terbuka status kewarganegaraan para pihak yang diamankan, apakah warga negara Indonesia atau warga negara asing, setelah proses pemeriksaan awal selesai.

“Nanti kami akan sampaikan secara lengkap,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Budi menegaskan komitmen KPK untuk terus berkoordinasi dan bersinergi dengan aparat penegak hukum lainnya. Ia menyebut KPK akan terus menjalin kerja sama dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian dalam upaya pemberantasan korupsi.

“Kami secara intens terus melakukan koordinasi dan sinergi,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

UMP 2026 Diprotes Buruh, Menaker Pastikan Tak Ada Upah Turun

Jakarta, Aktual.com — Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menanggapi penolakan sejumlah serikat pekerja terhadap formula baru Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025. Ia menegaskan, kebijakan tersebut tidak akan merugikan buruh dan telah disusun melalui proses panjang dengan melibatkan berbagai pihak.

“Prosesnya sudah panjang, kajian sudah kami lakukan, dan Presiden Prabowo mendengar aspirasi dari buruh maupun pengusaha,” ujar Yassierli usai Konferensi Pers Launching Program Pelatihan Gig Economy dan AI Open Innovation Challenge di Jakarta Creative Hub, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Yassierli menjelaskan, kebijakan pengupahan terbaru dirancang untuk mengatasi disparitas upah antar daerah yang selama ini cukup lebar. Melalui penerapan rentang alfa 0,5–0,9, pemerintah memberi ruang bagi daerah dengan kemampuan ekonomi lebih rendah untuk menyesuaikan kenaikan upah tanpa membebani dunia usaha secara berlebihan.

Menurutnya, pemerintah tetap berpihak pada kesejahteraan buruh. Hal tersebut tercermin dari berbagai kebijakan yang telah dijalankan, seperti kenaikan upah sebesar 6,5 persen pada tahun sebelumnya serta program subsidi perumahan bagi pekerja.

“Ini adalah bukti bahwa negara hadir dan berpihak pada pekerja, bukan sebaliknya,” katanya.

Meski demikian, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai formula UMP 2026 belum mencerminkan kebutuhan hidup layak (KHL). Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan, buruh menolak aturan tersebut karena dinilai berpotensi mengembalikan rezim upah murah.

“Definisi KHL harus mengacu pada Permenaker Nomor 18 Tahun 2020, dengan komponen yang jelas seperti kebutuhan pangan, perumahan, transportasi, dan lainnya,” ujar Said Iqbal, Rabu (17/12).

Menanggapi hal itu, Yassierli menegaskan bahwa pemerintah menjamin tidak akan ada penurunan upah di daerah mana pun, termasuk wilayah dengan pertumbuhan ekonomi negatif.

“Tidak ada upah yang turun. Kenaikan tetap mengacu pada inflasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan,” tegasnya.

Ia juga menekankan pentingnya peran Dewan Pengupahan Daerah dalam merumuskan besaran upah minimum yang adil bagi buruh, sekaligus berkelanjutan bagi industri dan pengusaha. Pemerintah optimistis kebijakan ini mampu menjaga keseimbangan antara perlindungan pekerja, keberlangsungan usaha, dan kebutuhan publik secara luas.

(Nur Aida Nasution)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Jimly dan Doktrin “Aturan Dulu, Uji Belakangan”: Siapa Menanggung Risikonya?

Rinto Setiyawan, Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)

Jakarta, aktual.com – Bayangkan begini: seorang pejalan kaki ditabrak sampai kakinya patah. Lalu si penabrak, dengan tenang, berkata, “Tenang… kalau tidak terima, gugat saja.” Secara teori, itu terdengar “fair”. Secara praktik, itu terdengar seperti lelucon yang mahal—karena yang menanggung rasa sakit, biaya rumah sakit, kehilangan penghasilan, dan waktu berbulan-bulan di ruang sidang bukan si penabrak, melainkan korban.

Di ruang tata negara dan administrasi publik, kalimat “kalau ada yang tidak setuju, uji saja ke MA/MK” sering berfungsi mirip: bukan sebagai jalan keadilan, tetapi sebagai cara memindahkan risiko dari pembuat aturan ke warga.

Pernyataan Prof. Jimly Asshiddiqie terkait polemik Perpol 10/2025 memberi contoh segar dari pola ini. Ia menyebut masyarakat yang tidak setuju bisa membawa uji materiil ke Mahkamah Agung, bahkan mengatakan “bawa ke MA aja,” sekaligus menunjuk celah formil—misalnya absennya rujukan putusan MK dalam bagian “mengingat/menimbang”—sebagai titik serang. Ia juga menyebut jalur lain: Perpol bisa dicabut Kapolri atau dibatalkan atasan (Presiden) melalui instrumen regulasi lain.

Kedengarannya solutif. Tapi pertanyaan intinya: seandainya “JR saja” dijadikan budaya, siapa yang membayar ongkosnya?

“Uji belakangan” itu bukan tombol reset, tapi maraton

Dalam teori negara hukum, judicial review adalah rem konstitusional. Masalahnya, rem ini tidak bekerja seperti tombol darurat yang otomatis melindungi warga. Ia lebih mirip maraton administratif yang syaratnya banyak, waktunya panjang, dan bebannya berat.

Pertama: untuk uji materiil ke MA, Anda harus jadi pihak yang “dirugikan”, bukan sekadar warga yang “tidak setuju”.
Kepaniteraan MA sendiri menjelaskan kriteria pemohon HUM (Hak Uji Materiil): subjeknya bisa perorangan/badan hukum, tetapi harus pihak yang menganggap haknya dirugikan, ada hubungan sebab-akibat (causal verband), dan jika dikabulkan kerugian itu hilang/tidak terjadi.

Artinya, doktrin “aturan dulu, uji belakangan” diam-diam menyelipkan syarat tak tertulis yang kejam:
“Silakan protes, tapi lebih ‘bernilai’ kalau Anda sudah jadi korban.”

Kedua: untuk uji formil di MK, ada “jam pasir” yang pendek.
MK menegaskan uji formil hanya dapat diajukan paling lama 45 hari sejak UU diundangkan. Ini membuat problem baru: kalau akses publik pada naskah final, risalah, atau jejak proses pembentukan terlambat/terbatas, maka jendela 45 hari itu bisa habis sebelum warga benar-benar paham apa yang harus diuji.

Dengan kata lain: di satu sisi, negara bilang “kalau bermasalah, uji saja.” Di sisi lain, prosedur bilang “silakan, tapi waktunya mepet dan syaratnya ketat.”

Ketika pembuat aturan “boleh salah”, warga dipaksa “tidak boleh terlambat”

Pernyataan Jimly soal Perpol 10/2025 justru menggarisbawahi masalah yang lebih besar: kualitas pembentukan aturan. Jika sebuah peraturan yang sensitif—apalagi yang bersinggungan dengan tafsir putusan MK—bahkan tidak menempatkan rujukan putusan itu secara eksplisit di “mengingat/menimbang”, maka “jalan keluar” yang ditawarkan adalah: warga disuruh menggugat.

Di sini kita melihat logika yang berbahaya:

  • Kesalahan desain regulasi diperlakukan seperti hal wajar (“nanti juga bisa diuji”),
  • sementara kesalahan warga (tidak sempat menguji, tidak cukup bukti kerugian, salah strategi hukum) dihukum dengan satu hal: aturan telanjur berlaku dan dampaknya telanjur berjalan.

Perpol 10/2025 dan pelajaran yang lebih luas

Kontroversi Perpol 10/2025 tidak berdiri sendiri; ia berada di bayang-bayang Putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 yang memperdebatkan makna Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, termasuk frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”, serta menegaskan kerangka berpikir bahwa anggota Polri tetap harus terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun untuk jabatan di luar kepolisian.

Yang perlu dicatat: perdebatan ini bukan cuma soal “siapa benar”. Ini soal arsitektur risiko:

  • kalau regulasi “didorong dulu”, dampaknya bisa segera dirasakan (jabatan, kebijakan, anggaran, struktur kewenangan),
  • sementara koreksinya lewat JR selalu belakangan, berlapis, dan bergantung pada siapa yang sanggup jadi pemohon.

Maka pertanyaannya bukan “bisa diuji atau tidak”, melainkan: berapa banyak kerusakan yang harus terjadi dulu sebelum rem itu ditarik?

Siapa yang menanggung risikonya?

Dalam praktik, yang paling rentan bukan mereka yang punya akses ke tim hukum dan kanal politik. Yang paling rentan adalah:

  • warga biasa dan komunitas sipil yang baru “dianggap relevan” setelah bisa menunjukkan kerugian,
  • pelaku usaha kecil/menengah yang terdampak cepat oleh perubahan aturan,
  • wajib pajak/pencari keadilan yang sudah habis tenaga di satu forum, lalu masih harus membuktikan “luka”-nya untuk masuk forum berikutnya (seperti analogi: kakinya patah dulu, baru bisa mendaftar sebagai pasien—dan itu pun belum tentu diterima).

Kalau ini dijadikan budaya, maka negara hukum berubah pelan-pelan menjadi negara prosedur: benar-salah bukan lagi soal substansi, tetapi soal siapa sanggup bertahan di labirin.

Jalan keluarnya bukan melarang JR, tapi mengubah tanggung jawab

Judicial review tetap penting. Yang perlu diubah adalah mentalitas “JR sebagai tempat sampah” untuk aturan yang disusun tergesa atau tidak rapi.

Beberapa prinsip yang lebih adil:

  1. Transparansi naskah final sejak hari pertama berlaku (bukan setelah viral). Kalau uji formil dibatasi waktu, akses publik harus sebanding.
  2. Standar “quality gate” regulasi: setiap aturan yang menyentuh area yang sudah diputus MK harus punya jejak rujukan yang jelas (mengingat/menimbang), sehingga warga tidak dipaksa “berburu kesalahan” untuk sekadar membuka pintu gugatan.
  3. Mekanisme koreksi cepat oleh pembentuk aturan (executive self-correction). Bahkan Jimly sendiri menyebut pencabutan oleh Kapolri/atasan sebagai opsi yang lebih praktis. Ini semestinya jadi budaya: kalau keliru, cabut cepat—jangan tunggu warga berdarah-darah di pengadilan.

Doktrin yang terdengar bijak, tapi bisa jadi licin

Doktrin “aturan dulu, uji belakangan” terdengar seperti keberanian: negara bergerak cepat, koreksi menyusul. Namun tanpa disiplin kualitas, transparansi, dan mekanisme koreksi internal, doktrin ini berubah menjadi justifikasi untuk satu hal: warga dijadikan airbag.

Negara hukum bukan sekadar menyediakan jalur gugatan. Negara hukum adalah negara yang mencegah warganya menjadi korban untuk bisa didengar.

Kalau “uji belakangan” terus dijadikan jawaban utama, maka pertanyaan moralnya sederhana: siapa yang rela jadi korban pertama—agar sistem terlihat bekerja?

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Defisit APBN Rp560,3 Triliun, Menkeu Purbaya Santai Hadapi Prediksi Bank Dunia

Jakarta, Aktual.com — Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia hingga November 2025 tercatat sebesar Rp560,3 triliun atau setara 2,35 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, angka tersebut masih berada dalam batas aman dan sesuai dengan desain kebijakan fiskal pemerintah.

“Defisit APBN tercatat sebesar Rp560,3 triliun atau 2,35 persen terhadap PDB. Ini masih dalam batas yang terkelola dan sesuai dengan desain APBN kita,” ujar Purbaya dalam konferensi pers APBN Kita di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pendapatan negara hingga November 2025 mencapai Rp2.351,5 triliun atau 82,1 persen dari target penerimaan sebesar Rp2.865,5 triliun. Pendapatan tersebut bersumber dari penerimaan pajak sebesar Rp1.634,4 triliun, kepabeanan dan cukai Rp269,4 triliun, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp444,9 triliun.

Sementara itu, realisasi belanja negara mencapai Rp2.911,8 triliun atau 82,5 persen dari pagu anggaran Rp3.527,5 triliun. Purbaya menegaskan, belanja negara tetap diarahkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan mendukung program prioritas nasional.

“Belanja pemerintah terus difokuskan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan program-program strategis,” jelasnya.

Secara rinci, belanja pemerintah pusat tercatat sebesar Rp2.116,2 triliun, sedangkan transfer ke daerah mencapai Rp795,6 triliun. Menurut Purbaya, alokasi tersebut penting untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional dan kinerja daerah.

Menanggapi proyeksi Bank Dunia yang memperkirakan defisit Indonesia berpotensi melebar pada 2027, Purbaya menyatakan optimistis pengelolaan fiskal tetap solid.

“Kami yakin defisit tetap terkendali dengan kebijakan fiskal yang kami jalankan. Prediksi Bank Dunia sering kali meleset, dan kami terus melakukan perbaikan di berbagai sektor,” tegasnya.

Ia juga menambahkan, pemanfaatan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berpotensi meningkatkan penerimaan negara hingga Rp1 triliun. Meski harga komoditas global melemah, Purbaya menilai sektor manufaktur dan indikator ekonomi domestik masih menunjukkan kinerja yang positif.

(Nur Aida Nasution)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

UNDP dan UNICEF Terima Surat Aceh, Siap Kawal Penanganan Pascabencana Hidrometeorologi

Jakarta, aktual.com – Dua badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), United Nations Development Programme (UNDP) dan UNICEF, telah menerima surat resmi dari Pemerintah Provinsi Aceh terkait permohonan dukungan penanganan pascabencana hidrometeorologi yang melanda sejumlah wilayah di Aceh pada akhir November lalu.

Langkah tersebut diambil Pemerintah Aceh dengan mempertimbangkan rekam jejak UNDP dan UNICEF yang dinilai berpengalaman dalam membantu pemulihan Aceh pasca-tsunami 2004.

Kantor Perwakilan PBB di Indonesia menyatakan terus memantau perkembangan situasi dan tetap terlibat aktif dalam mengawal respons darurat di wilayah terdampak.

“UNDP telah menerima surat resmi dari Pemerintah Provinsi Aceh pada hari Minggu, 14 Desember 2025. Saat ini, UNDP sedang melakukan peninjauan untuk memberikan dukungan terbaik kepada para national responders atau tim penanggulangan bencana serta masyarakat yang terdampak, sejalan dengan mandat UNDP dalam pemulihan dini (early recovery),” kata Kantor Perwakilan PBB di Indonesia dalam keterangannya, Senin (15/12).

Sementara itu, UNICEF juga tengah melakukan kajian terhadap permintaan yang diajukan Pemerintah Aceh, khususnya pada sektor-sektor prioritas yang menjadi fokus lembaga tersebut.

“UNICEF telah menerima surat dari Pemerintah Provinsi Aceh dan saat ini sedang menelaah bidang-bidang dukungan yang diminta, melalui koordinasi dengan otoritas terkait, untuk mengidentifikasi kebutuhan prioritas di mana UNICEF dapat berkontribusi dalam upaya penanganan yang dipimpin oleh pemerintah,” sambungnya.

Sejak awal terjadinya bencana banjir dan longsor sporadis di tiga provinsi Sumatra—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—UNICEF bersama badan-badan PBB lainnya telah bekerja sama dengan pemerintah pusat, daerah, serta mitra terkait dalam mendukung respons darurat.

“Tim UNICEF di Kantor Lapangan Aceh telah berada di lapangan dan diperkuat dengan tambahan keahlian teknis, khususnya di bidang yang berkaitan dengan kesejahteraan anak,” sebagaimana keterangan dari Kantor Perwakilan PBB di Indonesia.

Sebelumnya, Pemerintah Aceh secara resmi menyurati UNDP dan UNICEF agar turut terlibat dalam penanganan pascabencana banjir dan longsor di Tanah Rencong, dengan alasan pengalaman kedua lembaga tersebut dalam penanganan bencana besar.

“Secara khusus Pemerintah Aceh secara resmi juga telah menyampaikan permintaan keterlibatan beberapa lembaga internasional atas pertimbangan pengalaman bencana tsunami 2004, seperti UNDP dan UNICEF,” kata Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA, Minggu (14/12).

Di sisi lain, pemerintah pusat hingga kini belum membuka sepenuhnya akses bantuan internasional untuk penanganan bencana di Sumatra. Meski demikian, bantuan relawan dan logistik dari luar negeri, seperti Malaysia dan China, sudah mulai berdatangan.

Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem menegaskan tetap terbuka menerima bantuan kemanusiaan dari luar negeri tanpa mempersulit proses masuknya.

“Pada prinsipnya kita ini kemanusiaan. Siapa saja yang menolong kita, tetap ikhlas kita terima. Siapa saja, di mana saja,” kata Mualem usai menerima bantuan dari perusahaan multinasional Upland Resources di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, Senin (15/12).

Pada kesempatan terpisah, Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan bahwa sejumlah pemimpin negara telah menawarkan bantuan kepada Indonesia. Namun, pemerintah menilai kapasitas nasional masih memadai untuk menangani bencana tersebut.

“Saya ditelepon banyak pimpinan kepala negara ingin kirim bantuan. Saya bilang terima kasih concern anda, kami mampu, Indonesia mampu mengatasi ini,” kata Prabowo dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta.

Prabowo menegaskan APBN siap menopang penanganan bencana, termasuk penyaluran dana tambahan ke daerah terdampak, yakni Rp20 miliar untuk tiap provinsi dan Rp4 miliar untuk tiap kabupaten atau kota.

Sementara itu, Pemerintah Aceh telah memperpanjang Status Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi selama 14 hari, terhitung sejak 12 hingga 25 Desember 2025, karena proses evakuasi, distribusi logistik, serta rehabilitasi infrastruktur masih membutuhkan penanganan intensif.

“Kita sudah survei ke lapangan kita butuh perpanjangan selama 2 minggu lagi untuk kita rehabilitasi dan infrastruktur jadi ya perlu kita perpanjang,” kata Mualem.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Berita Lain