25 Desember 2025
Beranda blog Halaman 265

Palestina Kecam RUU Aneksasi Tepi Barat Dibuat oleh Parlemen Israel

Anggota pasukan Israel terlihat selama operasi militer di Ramallah, Tepi Barat tengah, 16 September 2025. (Ayman Nobani/Xinhua)
Anggota pasukan Israel terlihat selama operasi militer di Ramallah, Tepi Barat tengah, 16 September 2025. (Ayman Nobani/Xinhua)

Ramallah, aktual.com – Kementerian Luar Negeri Palestina pada Rabu (22/10) mengecam persetujuan awal Israel atas sebuah rancangan undang-undang (RUU) untuk memperluas kedaulatan atas Tepi Barat yang diduduki, seraya mengatakan Israel tidak memiliki otoritas atas bagian mana pun dari wilayah Palestina.

Dalam sebuah pernyataan, kementerian itu mengatakan bahwa Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza membentuk sebuah “unit geografis yang tidak terpisahkan dari Negara Palestina” di bawah kedaulatan rakyat Palestina dan kepemimpinan mereka, yang diwakili oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Kementerian itu memperingatkan “upaya Israel untuk memaksakan realitas baru di lapangan merupakan “hal yang sia-sia dan tidak sah,” serta bersumpah akan menentangnya melalui sarana politik, diplomatik, dan hukum.

Kementerian tersebut juga mendesak negara-negara dan badan internasional untuk menolak “kebijakan sistematis perampasan lahan dan aneksasi” Israel.

Sebelumnya pada Rabu yang sama, parlemen Israel memberikan suara 25 berbanding 24 untuk mendukung sebuah RUU untuk menerapkan hukum dan administrasi Israel ke semua permukiman di Tepi Barat, yang oleh Israel disebut sebagai Yudea dan Samaria. RUU itu, yang diperkenalkan oleh anggota parlemen sayap kanan Avi Maoz dari Partai Noam, kini dilimpahkan kepada Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan Knesset untuk dibahas lebih lanjut.

Channel 12 Israel melaporkan bahwa beberapa anggota koalisi yang berkuasa mendukung RUU yang disponsori oleh oposisi tersebut, meskipun pemimpin Israel Benjamin Netanyahu menyerukan untuk abstain. Hal itu menggarisbawahi perpecahan di dalam pemerintahan terkait kebijakan aneksasi.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Hasto Ungkap: Semangat Keislaman Bung Karno Jadi Fondasi Persatuan Bangsa

Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. Aktual/HO/PDIP

Jakarta, aktual.com – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengungkap kembali keputusan penting Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) tahun 1965 yang mengukuhkan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, sebagai Pendekar Kemerdekaan dan Pahlawan Islam.
Menurutnya, gelar tersebut merupakan bukti pengakuan dunia Islam atas peran Bung Karno dalam membela bangsa-bangsa tertindas dan memperjuangkan kemerdekaan umat.

“Dalam perjuangannya melawan Belanda, Bung Karno banyak mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang membangkitkan semangat. Inilah yang ingin kita luruskan dari sejarah: Bung Karno dan Islam,” ujar Hasto di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (22/10), dalam peringatan Hari Santri 2025 bertema Santri Berjuang: Ajaran Bung Karno, Warisan Kemerdekaan dan Kontribusi Generasi Muda.

Dalam kesempatan itu, Hasto mengisahkan hubungan ideologis Bung Karno dengan KH Hasyim Asy’ari yang melahirkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
“Resolusi itu menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah kewajiban agama bagi setiap muslim, dan menjadikan penjajah sebagai musuh agama dan bangsa,” jelasnya.

Menariknya, semangat jihad ini juga menginspirasi gerakan Islam di luar negeri. Pendiri Pakistan, Muhammad Ali Jinnah, disebut mengeluarkan resolusi serupa setelah mendengar kabar dari Indonesia.
“Akibatnya, sekitar 600 tentara muslim membelot dari tentara Inggris untuk membela Indonesia yang baru merdeka. Banyak dari mereka gugur sebagai syuhada,” kata Hasto.

Sebagai penghormatan, Bung Karno kemudian membangun Masjid Syuhada di Yogyakarta—sebuah simbol penghargaan bagi mereka yang berkorban demi kemerdekaan bangsa.
“Bahkan sopir Bung Karno saat ditangkap Belanda pun bernama Syuhada. Semua ini melambangkan pertemuan agung antara Islam dan nasionalisme,” imbuhnya.

Hasto menekankan, keislaman Bung Karno bersifat universal dan progresif. Sang proklamator banyak berguru dari pemikiran tokoh-tokoh Islam dunia seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Arabi Pasha, Mustafa Kamil, hingga Muhammad Abduh.
“Dari sanalah lahir keberpihakan Bung Karno terhadap bangsa-bangsa tertindas,” ujar Hasto.

Pasca Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, Bung Karno aktif membantu perjuangan kemerdekaan negara-negara Islam seperti Aljazair, Maroko, dan Sudan.
“Bung Karno bahkan menyewakan rumah di Jalan Serang, Menteng, untuk para pejuang Aljazair, dan menyelundupkan senjata yang semula untuk Irian Barat demi membantu mereka,” tutur Hasto.

Atas kontribusi itu, Konferensi Islam Asia Afrika 1965 menobatkan Bung Karno sebagai Pendekar dan Pembebas Bangsa Islam — sebuah pengakuan internasional yang kini jarang disinggung dalam buku sejarah Indonesia.

Hasto menegaskan bahwa komitmen Bung Karno terhadap keadilan dan pembelaan umat tertindas menjadi fondasi ideologis PDI Perjuangan hingga kini.
“Kalau Bung Karno masih hidup, peristiwa seperti Gaza tidak akan pernah terjadi,” tegasnya.

Ia juga menyoroti kesinambungan nilai antara Bung Karno dan putrinya, Megawati Soekarnoputri.
“Ketika menyusun kabinet tahun 2014, Ibu Mega mengingatkan presiden terpilih agar memahami kesadaran historis itu—mengembalikan kekuatan ekonomi rakyat dari Muhammadiyah, NU, dan seluruh umat,” jelas Hasto.

Menurutnya, semangat Islam kebangsaan ala Bung Karno harus dihidupkan kembali, terutama dalam menghadapi tantangan global yang menguji kedaulatan dan kepribadian bangsa.

Pernyataan Hasto membuka kembali diskursus penting yang lama tenggelam dalam sejarah: hubungan antara nasionalisme dan Islam dalam visi politik Bung Karno.
Bung Karno bukan hanya tokoh sekuler dalam arti politik, tetapi juga seorang mujahid pemikiran yang menjadikan nilai-nilai Islam sebagai sumber moral perjuangan kebangsaan.

Bagi analis politik dan sejarah, langkah PDIP menampilkan Bung Karno dalam bingkai Islam bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan juga strategi ideologis. Di tengah menguatnya politik identitas dan pergeseran geopolitik dunia Islam, narasi “Bung Karno sebagai Pendekar Islam” menjadi upaya reaktualisasi nasionalisme religius Indonesia—suatu sintesis antara iman, ilmu, dan kebangsaan.

Pengamat Politik Nilai Keputusan Presiden Soal Ditjen Pesantren Komitmen Bangun SDM Unggul

Ilustrasi - Sejumlah santri beraktivitas di area pondok pesantren yang ada di wilayah Kabupaten Tangerang, Banten. ANTARA/Azmi Samsul Maarif/am.
Ilustrasi - Sejumlah santri beraktivitas di area pondok pesantren yang ada di wilayah Kabupaten Tangerang, Banten. ANTARA/Azmi Samsul Maarif/am.

Jakarta, aktual.com – Pengamat Politik Ali Rif’an menilai keputusan Presiden Prabowo menyetujui pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren di Kementerian Agama (Kemenag) jadi wujud komitmen untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) unggul Indonesia.

“Ini kado istimewa di Hari Santri Nasional 2025. Ini bentuk komitmen Presiden Prabowo dalam membangun SDM unggul Indonesia, termasuk lulusan pesantren di dalamnya,” kata Ali Rif’an yang juga Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia di Jakarta, Kamis (23/10).

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menyetujui pembentukan Ditjen Pesantren di lingkungan Kemenag. Kabar baik itu datang pada Hari Santri Nasional 2025, Rabu (22/10).

Menurut Ali, pembentukan Ditjen Pesantren tersebut penting karena dua hal. Pertama, pesantren sejak dulu telah menjadi salah satu basis lahirnya para tokoh-tokoh besar bangsa.

Pesantren, kata dia, merupakan salah satu pilar utama pendidikan di Indonesia. Dari pesantren lahir generasi yang berilmu, berakhlak, dan berjiwa nasionalis.

“Sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga hari ini, pesantren telah menjadi penjaga nilai-nilai kebangsaan, keislaman, dan kemanusiaan,” ujar Ali.

Kedua, data Kemenag per 4 Oktober 2025 menunjukkan jumlah pondok pesantren sebanyak 43.391 unit di seluruh Indonesia. Angka tersebut menunjukkan besarnya peran pesantren dalam sistem pendidikan nasional.

Menurut Ali, angka tersebut bukan sekadar data statistik, tetapi cerminan dari kokohnya akar pendidikan berbasis nilai, moral, dan spiritual di tengah masyarakat.

“Data pesantren sebanyak 43 ribuan di Indonesia. Banyaknya pesantren di Indonesia adalah potensi besar bagi bangsa. Dari pesantren lahir para pemimpin, pendidik, ulama, dan tokoh bangsa yang menjadi penjaga moral masyarakat,” kata dia.

Karena itu, menurut Ali, komitmen Presiden Prabowo memperkuat pesantren melalui pembentukan Ditjen Pesantren berarti memperkuat masa depan pendidikan Indonesia yang berakar pada nilai-nilai luhur, keilmuan, dan kemanusiaan. Juga bagian dari implementasi AstaCita.

“Adanya Ditjen Pesantren berarti ada upaya serius pemerintahan Prabowo untuk memperkuat masa depan pendidikan Indonesia, sekaligus ini juga bagian dari implementasi Asta Cita poin ke-4,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Lengkap Setahun, Menteri di Kabinet Prabowo Gibran Dapat Nilai Rendah dari Publik

Sidang Kabinet Paripurna (SKP) di Istana Negara, Jakarta, Senin, 20 Oktober 2025, Aktual/BPMI.SETNEG

Jakarta, aktual.com – Satu tahun sudah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berjalan. Namun bukannya menuai pujian, hasil survei terbaru dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) justru menunjukkan penilaian publik yang mengecewakan dan penuh kritik.

Dalam survei nasional terhadap 1.338 responden dan 120 jurnalis dari 60 media nasional, CELIOS mencatat mayoritas publik menilai kinerja pemerintahan jauh dari harapan. Rata-rata nilai kinerja nasional hanya 3 dari 10 untuk Presiden Prabowo dan 2 dari 10 untuk Wapres Gibran — mencerminkan penurunan tajam dari ekspektasi tinggi pasca-pelantikan pada 20 Oktober 2024.

“Publik melihat banyak kebijakan yang tidak berpihak pada kebutuhan nyata rakyat, sementara komunikasi dan transparansi pemerintah semakin tertutup,” ujar peneliti CELIOS, Media Wahyu Askar, dalam keterangannya di Jakarta.

Temuan CELIOS menggambarkan krisis kepercayaan publik di hampir semua sektor tersebut seperti kinerja pemerintah buruk sekitar 72%. Ada juga dalam kebijakan tidak sesuai kebutuhan rakyat sekitar 80%, transparansi anggaran 81% serta komunikasi pemerintah yang dinilai sangat buruk sekitar 91%.

Dalam aspek hukum, 75% responden menyebut penegakan hukum makin tumpul, dan 43% menilai pemberantasan korupsi tidak efektif.
Sementara itu, reformasi sektor keamanan dinilai mandek, dengan Polri dan TNI masing-masing hanya meraih nilai 2 dan 3 dari 10. Publik juga menganggap aparat masih represif dalam penanganan persoalan sosial.

Sektor ekonomi menjadi salah satu bidang paling disorot.
Sebanyak 84% responden merasa pajak dan pungutan makin memberatkan, sementara bantuan ekonomi dianggap tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
CELIOS juga menyoroti ketimpangan antara kebijakan fiskal dan realitas ekonomi rakyat yang semakin melebar, memperlihatkan ketidakseimbangan antara ambisi pembangunan dan kesejahteraan sosial.

“Ada kesan bahwa pemerintah sibuk dengan proyek besar, sementara dapur rakyat kecil semakin panas,” tulis laporan CELIOS.

Survei ini juga menemukan tingginya keinginan publik untuk perombakan kabinet.
Sebanyak 96% responden mendukung reshuffle kabinet, dan 98% setuju agar jumlah kementerian dipangkas demi efisiensi.
Publik menilai banyak menteri tidak menunjukkan kinerja nyata, bahkan cenderung menjadi beban politik bagi pemerintahan.

CELIOS menilai hasil ini sebagai “peringatan keras” bagi Presiden Prabowo untuk segera melakukan koreksi besar-besaran terhadap arah kebijakan dan tata kelola pemerintahan, terutama di bidang ekonomi dan hukum yang paling banyak menuai kritik.

Jika setahun pertama menjadi tolok ukur konsolidasi kekuasaan, maka hasil survei CELIOS adalah sinyal krisis kepercayaan paling serius dalam sejarah pemerintahan pasca-reformasi.
Rapor merah di semua lini menandakan defisit legitimasi publik, sesuatu yang berpotensi mengguncang stabilitas politik jangka menengah.

Kegagalan komunikasi publik, lemahnya koordinasi antarkementerian, dan kebijakan ekonomi yang dinilai “tidak membumi” bisa menjadi bumerang politik bagi Prabowo–Gibran jika tidak segera dibenahi.

Apalagi, dukungan reshuffle hampir menyentuh angka mutlak — menunjukkan rakyat tidak hanya menuntut evaluasi, tetapi juga tindakan nyata dan perubahan arah kebijakan.

Berikut daftar 10 menteri dengan kinerja terburuk versi publik selama satu tahun kepemimpinan Prabowo Gibran:

  1. Bahlil Lahadalia – Menteri ESDM (-151 poin )
  2. Dadan Hindayana – Kepala Badan Gizi Nasional (-81 poin )
  3. Natalius Pigai – Menteri HAM (-79 poin)
  4. Raja Juli Antoni – Menteri Kehutanan (-56 poin)
  5. Fadli Zon – Menteri Kebudayaan (-36 poin)
  6. Widiyanti Putri Wardhana – Menteri Pariwisata (-34 poin)
  7. Zulkifli Hasan (Zulhas) – Menko Bidang Pangan (-22 poin)
  8. Budiman Sudjatmiko – Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (-14 poin)
  9. Yandri Susanto – Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (-10 poin)
  10. Nusron Wahid – Menteri Agraria dan Tata Ruang (-7 poin)

Setahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran menjadi ujian kepemimpinan yang keras.
CELIOS telah memberi cermin: rakyat masih menunggu bukti, bukan janji.
Kini, bola ada di tangan Presiden. Apakah ia akan menjawab kritik dengan tindakan korektif, atau membiarkan “rapor merah” ini menjadi catatan sejarah awal kepemimpinannya?

 

KPU Terbang dengan Jet Mewah, Etika Pemilu Jatuh di Landasan

Logo Komisi Pemberantasan Korupsi. HO

Jakarta, aktual.com –  Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akhirnya menjatuhkan sanksi teguran keras kepada Ketua, empat anggota, serta Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, setelah terbukti menyalahgunakan penggunaan private jet senilai Rp90 miliar dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.

Keputusan DKPP ini sontak memantik tanda tanya publik: bagaimana mungkin lembaga yang seharusnya menjunjung asas integritas, efisiensi, dan akuntabilitas, justru terperangkap dalam praktik yang mencoreng etika penyelenggara pemilu?

Dalam sidang etik, anggota majelis DKPP, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, membeberkan fakta mencengangkan. KPU diketahui menyewa pesawat jet pribadi jenis Embraer Legacy 650 dalam dua tahap: tahap pertama senilai Rp65,4 miliar, dan tahap kedua Rp46,1 miliar, dengan selisih anggaran yang tidak kecil—mencapai Rp19,2 miliar.

Ironisnya, pesawat mewah tersebut seharusnya digunakan untuk memantau distribusi logistik ke wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Namun hasil pemeriksaan menunjukkan, dari 59 kali penerbangan, tak satu pun diarahkan ke wilayah 3T. Sebaliknya, penerbangan justru digunakan untuk kegiatan internal seperti bimbingan teknis, penyerahan santunan, hingga perjalanan ke Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Selatan.

“Dari total 59 kali perjalanan, tidak satu pun digunakan untuk kegiatan distribusi logistik. Private jet justru dipakai untuk keperluan lain,” ungkap Anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo, yang menegaskan bahwa tindakan tersebut melanggar asas efisiensi sebagaimana diatur dalam kode etik penyelenggara pemilu.

DKPP menilai tindakan para komisioner tidak dapat dibenarkan secara etika, apalagi mengingat pilihan pesawat yang “eksklusif dan mewah”. Teguran keras pun dijatuhkan kepada Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin, empat anggota KPU (Idham Holik, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, August Mellaz) serta Sekjen Bernard Dermawan Sutrisno.

Sanksi “teguran keras” yang dijatuhkan DKPP memang terdengar tegas secara redaksional, namun lemah secara substantif. Dengan anggaran publik sebesar Rp90 miliar, pelanggaran ini tidak sekadar persoalan administrasi—melainkan indikasi krisis moralitas dan akuntabilitas di tubuh lembaga penyelenggara pemilu.

Bagi publik, kasus ini menimbulkan ironi mendalam: di saat banyak petugas KPPS gugur dalam tugas karena kelelahan dan keterbatasan fasilitas, para elit penyelenggara justru “terbang nyaman” dengan jet pribadi atas biaya negara.

Dalam konteks etika penyelenggaraan pemilu, pelanggaran ini bukan sekadar “kesalahan teknis”, melainkan bentuk penyimpangan nilai dasar: efisiensi, kesederhanaan, dan integritas. Teguran keras tanpa konsekuensi struktural dapat menimbulkan preseden buruk—bahwa pelanggaran bernilai miliaran rupiah bisa diselesaikan dengan “peringatan moral”.

Publik tentu menanti langkah lanjutan dari lembaga pengawasan keuangan dan penegak hukum. Sebab, jika sanksi etik berhenti di teguran, maka kepercayaan rakyat terhadap independensi dan kredibilitas penyelenggara pemilu bisa benar-benar jatuh.

SOROTAN: Rp234 Triliun yang Tidur di Bank

Uang memang tidak pernah tidur, kecuali kalau ia disandera oleh kebijakan yang lamban dan birokrasi yang takut mengambil risiko. Di atas kertas, pembangunan daerah telah dibiayai. Namun di rekening bank, uangnya justru diam. Data Bank Indonesia menunjukkan, hingga akhir September 2025, dana pemerintah daerah yang mengendap di perbankan mencapai Rp234 triliun.

Bank Indonesia akhirnya buka suara. Mereka menyebut angka itu bukan tuduhan, tapi hasil laporan rutin bulanan dari perbankan yang telah diverifikasi dan disampaikan ke publik secara agregat.

Namun, suara dari daerah justru beragam. Ada kepala daerah yang membantah angkanya sebesar itu. Misalnya, dari Jawa Barat disebutkan ada Rp4,1 triliun yang mengendap, padahal menurut Gubernur Jabar Dedi Mulyadi, dana yang ada hanya sekitar Rp3,8 triliun dan berada dalam bentuk kas giro daerah, bukan deposito. Perselisihan data ini menunjukkan bahwa yang mengendap bukan hanya uang, tapi juga komunikasi fiskal antara pusat dan daerah.

Kementerian Keuangan menilai penumpukan dana ini bukan karena kelebihan uang, melainkan karena belanja daerah yang berjalan lambat. Proyek belum siap, perencanaan belum matang, lelang belum tuntas, sementara transfer dana dari pusat sudah lebih dulu turun. “Dananya sudah ada, segera digunakan,” ujar Wakil Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan pesan sederhana tapi tajam.

Faktanya, uang yang terlalu lama parkir di bank akan kehilangan fungsi sosialnya. Ia tidak membangun jalan, tidak memperbaiki sekolah, tidak menambah dokter di puskesmas. Padahal, setiap rupiah yang tersimpan pasif berarti peluang kerja yang tertunda, pertumbuhan ekonomi yang terhambat, dan pelayanan publik yang tertahan.

Tentu tidak semua dana yang tersimpan di bank bisa disebut ‘uang tidur.’ Sebagian adalah kas rutin untuk gaji pegawai atau kebutuhan darurat. Uang sebesar itu mencerminkan ketimpangan antara niat anggaran dan kemampuan mengeksekusi. Pemerintah daerah tampak lebih pandai merencanakan daripada merealisasikan.

Yang lebih ironis, sebagian dana itu ditempatkan bukan di bank daerah, melainkan di perbankan nasional besar di Jakarta. Akibatnya, uang daerah tidak benar-benar berputar di daerah.

Likuiditasnya mengalir ke pusat, sementara ekonomi lokal tetap lesu. Ini adalah paradoks pembangunan desentralistik yang kehilangan arah, dana desentralisasi, tapi manfaatnya tersentralisasi.

Fenomena ‘uang tidur’ ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cerminan lemahnya disiplin fiskal daerah. Kepala daerah perlu ditantang untuk membelanjakan anggaran secara produktif, bukan sekadar menunggu akhir tahun demi mengejar serapan anggaran kosmetik.

Di sisi lain, pemerintah pusat lewat Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, harus berani menegakkan akuntabilitas, mana daerah yang efisien, mana yang abai. Transparansi data per daerah dan kategori dana (kas, deposito, BLUD, investasi) wajib dibuka untuk publik.

Karena uang publik seharusnya bekerja, bukan tidur di rekening. Bila dana sebesar Rp234 triliun hanya jadi angka di dashboard, maka pembangunan akan terus tersandera oleh ketakutan birokrasi dan budaya menunda. Dan ketika uang berhenti bergerak, bukan hanya pembangunan yang berhenti, tapi kepercayaan publik ikut membeku.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto

Berita Lain