25 Desember 2025
Beranda blog Halaman 33

Dugaan Korupsi Kouta Haji, Fuad Hasan ‘Maktour’ Segera Diperiksa Lagi

Pemilik agensi perjalanan haji Maktour, Fuad Hasan Masyhur (kiri) menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (28/8/2025). KPK memanggil Fuad Hasan Masyhur sebagai saksi kasus dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024. ANTARA FOTO/Reno Esnir/sgd/bar

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan akan memanggil Ishfah Abidal Aziz alias Gus Alex selaku mantan staf khusus Menteri Agama, dan Fuad Hasan Masyhur selaku pemilik biro penyelenggara haji Maktour setelah memeriksa mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas pada 16 Desember 2025.

“Jika masih ada kebutuhan untuk mendalami informasi maupun keterangan dari pihak-pihak lain, termasuk pihak-pihak yang sudah dilakukan pencegahan ke luar negeri tersebut, maka tentu nanti akan dilakukan pemanggilan, ya, untuk melengkapi informasi dan keterangan yang sudah diperoleh pada pemeriksaan hari ini,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (16/12.2025) malam.

Budi menjelaskan KPK masih akan memanggil dua orang yang dicegah ke luar negeri dalam penyidikan kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama tahun 2023–2024, karena perlu menganalisis terlebih dahulu keterangan dari Yaqut.

“Jadi, dari pemeriksaan malam ini, akan dilakukan analisis baik oleh KPK maupun oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), khususnya dalam kebutuhan penghitungan kerugian keuangan negara,” katanya.

Budi juga menjelaskan KPK membutuhkan keterangan dari Gus Alex dan Fuad karena dinilai penting dalam proses penyidikan kasus tersebut.

“Nah pihak-pihak yang dicekal ini diduga banyak tahu ya tentang konstruksi perkara ini,” ujarnya.

KPK sebelumnya pernah memeriksa pemilik agensi perjalanan haji Maktour, Fuad Hasan Masyhur pada Kamis (28/8/2025). KPK memeriksa Fuad Hasan sebagai saksi kasus dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024.

Penyelidikan terhadap kasus tersebut dimulai pada 9 Agustus 2025. Pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan penghitungan awal kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp1 triliun lebih, dan mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri.

Mereka yang dicegah adalah mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas, Ishfah Abidal Aziz alias Gus Alex selaku mantan staf khusus pada era Menag Yaqut Cholil, serta Fuad Hasan Masyhur selaku pemilik biro penyelenggara haji Maktour.

Pada 18 September 2025, KPK menduga sebanyak 13 asosiasi dan 400 biro perjalanan haji terlibat kasus tersebut.

Selain ditangani KPK, Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya juga menyatakan telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji 2024.

Poin utama yang disorot pansus adalah perihal pembagian kuota 50 berbanding 50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.

Saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.

Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar delapan persen, sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler.

Namun, sejak dimulai penyelidikan pada 9 Agustus 2025 lalu, hingga sekarang KPK belum menetapkan tersangka satupun.

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

Skandal Kredit Rp 700 Miliar Bank Muamalat, Ekonom Soroti Dugaan Kongkalikong

Bank Muamalat (Foto: Istimewa)
Bank Muamalat (Foto: Istimewa)

Jakarta, aktual.com – Isu dugaan fraud di PT Bank Muamalat Indonesia Tbk (Bank Muamalat) kembali menjadi perhatian publik setelah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) membatalkan rencana akuisisi. Kasus ini berpusat pada kredit macet korporasi senilai Rp 700 miliar kepada PT Harrisma Data Cita (HDC) yang langsung macet pada cicilan bulan pertama (first payment default atau FPD) pada November 2023.

Dugaan keterlibatan Indra Falatehan dalam skandal ini semakin menguat, mengingat posisinya saat itu sebagai Direktur Utama yang memiliki otoritas tertinggi. Berdasarkan informasi yang beredar, pengajuan kredit PT HDC senilai Rp700 miliar tersebut merupakan referal langsung dari dirinya dan dikawal secara khusus agar proses pencairan berlangsung cepat meskipun menyalahi regulasi internal.

Kekhawatiran publik pun semakin besar karena Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) adalah Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank Muamalat, yang menyangkut keamanan dana haji. Menanggapi aspek penegakan hukum dalam kasus perbankan, dosen hukum ekonomi syariah UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan, Tarmidzi, menjelaskan mengenai tahapan yang harus dilalui dalam pemeriksaan.

“Bank Muamalat itu langsung di OJK itu, Bank Muamalat itu langsung di OJK. Jadi, langkah awal yang dilakukan (pemeriksaan) adalah wilayahnya dulu adalah OJK,” kata Tarmidzi.

Ia menjelaskan bahwa setelah pemeriksaan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selesai, kasus tersebut dapat ditindaklanjuti lebih jauh oleh aparat penegak hukum. “Iya, bisa ditidaklanjuti ke situ nanti. Ya, salah satu. Mungkin kalau baiknya yang awal ya Polisi dulu aja,” tambahnya.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengindikasikan adanya dugaan kongkalikong yang terjadi sejak awal. Pandangan ini didasarkan pada kejadian FPD pada pembiayaan besar yang seharusnya melalui prosedur ketat.

“Sebuah perbankan yang baik pasti memiliki standar pengecekan calon debitur dari awal. Mulai dari colleteral, capacity, hingga capital. Bagaiaman arus kas dan sebagainya,” kata Nailul Huda.

Ia menilai, jika angsuran awal saja gagal bayar artinya ada unsur pelanggaran hukum yang merugikan perbankan. “Dalam sistem pengecekan calon debitur ada yang dilanggar,” kata dia.

Nailul Huda juga menyoroti peran BPKH sebagai pengendali Bank Muamalat. Ia menekankan bahwa penegak hukum perlu menelusuri proses dari sejak awal pengajuan, penilaian, hingga persetujuan di meja direksi, karena masalah ini berdampak pada kesulitan BPKH menjual saham Bank Muamalat.

“Akibat hal ini, BPKH kesulitan untuk menjual saham bank muamalat,” kata dia.

Sorotan terhadap kasus ini juga datang dari Komisi VI DPR RI. Pimpinan Komisi VI DPR Mohamad Hekal, seusai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak Dirut PT BNI dan PT BTN di Senayan, Jakarta, pada Senin (8/7/2024), mengungkapkan bahwa BTN tidak jadi meneruskan akuisisi Bank Muamalat karena adanya isu fraud.

“Dalam perjalanannya, kelihatannya prosesnya tertunda-tunda, bahkan ada isu bahwa di dalam Bank Muamalat ini ada terjadi fraud sehingga kita khawatir kalau BTN diberikan beban untuk menyelamatkan ini,” ujar Hekal.

Fakta bahwa kredit PT HDC yang langsung macet pada cicilan pertama menunjukkan adanya kejanggalan serius. Proses pengajuan pembiayaan yang kabarnya merupakan referal langsung dari Direktur Utama Bank Muamalat saat itu, Indra Falatehan, dan prosesnya cepat, mengindikasikan pelanggaran terhadap regulasi dan SOP internal yang seharusnya ketat, terutama yang melibatkan Komite Pembiayaan dan unit manajemen risiko.

Pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada 27 Juni 2024, Bank Muamalat meresmikan pergantian direktur utama dari Indra Falatehan kepada Hery Syafril. Hery Syafril, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Risiko Bisnis Pembiayaan (2023-2024), adalah bagian dari lini terdepan dalam mitigasi risiko dan secara teori turut menyetujui pembiayaan HDC.

Pemberhentian Indra Falatehan diduga kuat memiliki korelasi dengan kasus kredit macet terbesar ini. Hal ini memunculkan pertanyaan publik mengenai pertimbangan BPKH mengangkat Hery Syafril sebagai Direktur Utama yang diduga mengetahui kasus tersebut, mengingat kemungkinan kendala dalam fit and proper test oleh OJK.

Tim Aktual.com sudah berupaya menghubungi Corporate Communication Bank Muamalat. Namun, hingga berita ini ditulis, pihak Bank Muamalat belum memberikan tanggapan.

Artikel ini ditulis oleh:

Achmat
Rizky Zulkarnain

BSWD Catat Laba Bersih Rp32,95 Miliar, Lonjakan Provisi dan Biaya Operasional Tekan Kinerja

Jakarta, Aktual.com — PT Bank of India Indonesia Tbk (BSWD) mencatatkan penurunan laba bersih sepanjang tahun 2025. Berdasarkan laporan kinerja keuangan, laba bersih perseroan tercatat sebesar Rp32,95 miliar, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, seiring meningkatnya beban provisi dan biaya operasional.

Finance Director Bank of India Indonesia, Rahmat Hendratama, menjelaskan bahwa peningkatan beban provisi merupakan langkah antisipatif perseroan dalam menjaga kualitas kredit. “Pendapatan bunga bersih kami masih tumbuh sebesar 1,28 persen. Namun, peningkatan beban provisi yang cukup signifikan memberikan tekanan terhadap laba bersih,” ujarnya dalam Public Expose di Jakarta, Rabu (17/12/2025).

Selain provisi, beban operasional bank juga mengalami kenaikan tajam. Rahmat menyebutkan biaya operasional tercatat sebesar Rp143,89 miliar, meningkat cukup signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan biaya tersebut sejalan dengan upaya penguatan sistem, sumber daya manusia, serta transformasi layanan digital.

Di tengah tekanan laba, kinerja pendapatan nonbunga justru menunjukkan pertumbuhan yang positif. Pendapatan nonbunga meningkat 20,61 persen menjadi Rp46,15 miliar, didorong oleh optimalisasi produk dan layanan berbasis digital serta peningkatan fee-based income.

Dari sisi neraca, Bank of India Indonesia tetap mencatatkan pertumbuhan aset. Total aset perseroan tercatat sebesar Rp6,94 triliun, tumbuh 1,79 persen secara tahunan. Pertumbuhan ini mencerminkan stabilitas kinerja bank di tengah dinamika industri perbankan nasional.

Meski laba bersih tertekan, perseroan menegaskan posisi permodalan tetap sangat kuat. Rahmat menyampaikan bahwa rasio kecukupan modal (CAR) BSWD mencapai 88,68 persen. “Dengan permodalan yang solid, kami memiliki ruang yang memadai untuk ekspansi bisnis sekaligus menghadapi berbagai tantangan,” katanya.

Ke depan, Bank of India Indonesia akan terus mendorong transformasi digital sebagai bagian dari strategi jangka panjang. Perseroan berencana meluncurkan sejumlah layanan baru, seperti kartu debit, QRIS, serta layanan cash in–cash out melalui mobile banking di jaringan Indomaret, guna memperkuat daya saing dan kualitas layanan kepada nasabah.
(Nur Aida Nasution)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Pasal Sakti di Pengadilan Pajak: Saat Bukti Kalah oleh “Keyakinan”

Rinto Setiyawan, Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)

Jakarta, aktual.com – Ada satu ironi yang sering dirasakan warga ketika berhadapan dengan hukum: semakin kita “tertib” menyiapkan bukti, semakin kita dibuat sadar bahwa bukti belum tentu jadi raja. Di sengketa pajak, ironi itu punya nama yang nyaris melegenda di kalangan praktisi: Pasal 78 UU Pengadilan Pajak—pasal yang memberi ruang putusan diambil bukan hanya dari penilaian pembuktian dan aturan pajak, tapi juga “berdasarkan keyakinan Hakim”.

Di atas kertas, frasa itu terdengar wajar. Hakim memang harus memutus. Namun dalam praktik, frasa “keyakinan” bisa terasa seperti pintu darurat: saat pintu utama bernama “bukti” tak dibuka lebar, putusan tetap bisa keluar—dan pihak yang kalah sering merasa, “Saya kalah bukan karena bukti saya lemah, tapi karena bukti saya tidak dianggap ada.”

Analogi sederhana: kaki patah, tapi harus buktikan dulu sebelum dilayani

Bayangkan kamu pejalan kaki, ditabrak kendaraan, kaki patah. Kamu datang ke “rumah sakit keadilan” untuk minta pertolongan. Lalu petugas berkata:

“Sebelum kami layani, buktikan dulu bahwa kaki kamu patah.
Kalau terbukti pun, belum tentu kamu langsung ditangani.
Kamu harus masuk antrean, melewati tahapan, dan bisa saja kami tolak sebagai pasien.”

Itu terasa tidak masuk akal. Tapi kira-kira begitulah yang sering dirasakan pemohon uji materi (JR) ketika hendak ke Mahkamah Konstitusi: kamu harus membuktikan dulu kerugian konstitusionalmu agar dinilai punya kedudukan hukum (legal standing). MK memang punya kriteria yang sudah jadi rujukan (lima syarat kerugian konstitusional: ada hak UUD, dirugikan, spesifik-aktual/potensial, ada causal verband, dan ada kemungkinan pulih bila dikabulkan).

Masalahnya: dalam sengketa pajak, “kaki patah” itu sering kali justru terjadi karena bukti-bukti tidak dipertimbangkan secara utuh dalam putusan, atau setidaknya tidak tercermin jelas.

Padahal, UU Pengadilan Pajak sendiri memerintahkan putusan harus memuat “pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan”.

Jadi, kalau putusan tidak mengurai bukti, warga berada pada posisi absurd:

Di tingkat sengketa, ia merasa bukti tidak dibaca atau tidak diurai.
Di tingkat konstitusional (JR), ia diminta menunjukkan secara konkret kerugiannya—yang salah satu sumbernya justru “tak terlihatnya bukti” itu.

Lingkaran setan administratif yang bikin orang merasa harus “berdarah-darah” hanya untuk bisa mengetuk pintu pemeriksaan konstitusional.

Pasal 78 vs Pasal 84: konflik di ruang praktik

Pasal 78 berbunyi: putusan diambil berdasarkan penilaian pembuktian, aturan pajak, serta keyakinan hakim.
Sementara Pasal 84 ayat (1) huruf f mewajibkan putusan memuat penilaian setiap bukti.

Secara teori, ini harmonis:

Bukti dinilai satu per satu,
lalu keyakinan hakim menjadi simpulan akhir yang bisa diuji publik melalui pertimbangan putusan.

Namun kritik yang sering muncul adalah: ketika keyakinan tampil tanpa jejak penilaian bukti yang lengkap, keyakinan berubah dari “simpulan” menjadi “alat pemutus”—dan itu yang terasa problematik. Bahkan dalam mekanisme PK ke Mahkamah Agung, pihak berperkara kerap merasakan keterbatasan transparansi berkas (apa yang benar-benar terbaca/terbawa), meskipun PK memang dimungkinkan oleh UU.

Contoh aktual: JR PT Arion Indonesia (Perkara 244/PUU-XXIII/2025)

Kegelisahan ini meledak ke ruang publik lewat permohonan uji materi yang diajukan PT Arion Indonesia ke MK atas Pasal 78 UU Pengadilan Pajak. Dalam berita resmi MK (sidang pendahuluan 16 Desember 2025), kuasa hukum Pemohon (Kahfi Permana, S.H., M.H.) menyatakan pokok keberatannya: norma Pasal 78 dianggap tidak menyediakan mekanisme wajib untuk memastikan hakim menuangkan dan menilai seluruh alat bukti dalam putusan, sehingga “keyakinan hakim” berpotensi menjadi subjektif dan sulit diuji.

Pemohon pada intinya meminta MK memberi penafsiran konstitusional agar frasa “hasil penilaian pembuktian” dan “keyakinan Hakim” tidak dibiarkan menggantung, melainkan dikunci pada kewajiban:

menuangkan seluruh alat bukti,
menilai satu per satu,
dan memberi batas penggunaan “keyakinan”.

Ini penting bukan karena semua pihak harus setuju dengan Pemohon, tapi karena perkara ini memotret keluhan yang lebih luas: ketika putusan tidak transparan atas bukti, kalah-menang jadi terasa seperti “selera” bukan “metode”.

Kenapa isu “independensi” selalu ikut terbawa?

Dalam sengketa pajak, persepsi independensi bukan sekadar isu psikologis—ia punya akar kelembagaan. MK sendiri, dalam Putusan 26/PUU-XXI/2023, memerintahkan penyatuan pembinaan Pengadilan Pajak “satu atap” di bawah Mahkamah Agung, bertahap paling lambat 31 Desember 2026.

Artinya, negara (melalui MK) mengakui ada problem tata kelola yang perlu dibereskan demi kepastian dan keadilan. Jadi ketika publik mengaitkan “kalah bukti oleh keyakinan” dengan problem sistemik, itu bukan paranoia belaka—ada konteks reform yang sedang berjalan.

Jalan tengah yang “aman-redaksi”: kunci pada transparansi, bukan menyerang personal

Kalau tulisan ini harus rapi dan aman untuk redaksi, pesan utamanya sebaiknya begini:

1. “Keyakinan hakim” bukan musuh—yang bermasalah adalah keyakinan tanpa jejak penilaian bukti. Norma Pasal 84 sudah memerintahkan penguraian bukti; problemnya ada pada konsistensi praktik.
2. Uji materi seperti Arion adalah alarm prosedural. Ia mendorong MK menegaskan standar minimum putusan yang bisa diuji publik: bukti apa yang dipakai, bukti apa yang ditolak, dan mengapa.
3. Reform kelembagaan sudah diarahkan MK (deadline 31 Desember 2026). Momentum ini seharusnya dipakai untuk membangun kultur putusan yang lebih transparan dan akuntabel.
4. Legal standing di MK memang menuntut bukti kerugian konstitusional, tapi standar itu jangan sampai berubah menjadi “pintu berlapis” yang membuat korban ketidakadilan prosedural mustahil masuk.

Penutup

Negara hukum bukan hanya tentang “ada pengadilan”. Negara hukum adalah tentang cara pengadilan bekerja: apakah warga bisa menelusuri alasan kalah-menangnya secara rasional melalui putusan.

Ketika bukti tidak dipertimbangkan secara terang, lalu “keyakinan” datang sebagai palu terakhir, yang terluka bukan hanya wajib pajak. Yang retak adalah kontrak sosial: keyakinan publik bahwa hukum bisa diprediksi, diuji, dan dipertanggungjawabkan.

Dan kalau kita biarkan “Pasal Sakti” tetap sakti—tanpa pagar transparansi—kita sedang menyuburkan budaya yang paling berbahaya dalam negara hukum: putusan yang tidak bisa diaudit oleh akal sehat warga.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Perkuat Kolaborasi Industri-Akademik untuk Dunia Pendidikan, JAPFA dan UNHAS Resmikan Teaching Farm di Makassar

DOK JAPFA

Makassar, aktual.com – PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA) bersama Universitas Hasanuddin (UNHAS) hari ini meresmikan Kandang Closed House Teaching Farm di Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Fasilitas pendidikan dan riset ini merupakan hasil kolaborasi strategis antara JAPFA dan UNHAS dengan total investasi mencapai Rp 3 miliar.

Berdiri di atas lahan seluas 1.500m2 dengan kapasitas lebih dari 20.000 ekor ayam, fasilitas ini dirancang sebagai pusat pembelajaran praktis peternakan modern.

Kolaborasi ini berawal dari penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara JAPFA dan UNHAS pada pertengahan 2024, sebagai bagian dari sinergi antara dunia industri dan akademik dalam menciptakan ekosistem budidaya peternakan yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Rachmat Indrajaya, Direktur JAPFA menyatakan “Teaching farm ini menjadi bagian dari upaya kami dalam mengembangkan teknologi peternakan modern berbasis riset dan pendidikan. Kami berharap fasilitas ini dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, khususnya para mahasiswa UNHAS, sehingga menjadi generasi penerus bangsa yang berdaya saing global.”

Fasilitas teaching farm ini dirancang untuk mendukung pembelajaran praktis mahasiswa yang meliputi pemeliharaan ternak, penerapan biosekuriti, kesehatan hewan, hingga manajemen bisnis peternakan.

Penerapan sistem closed house, memungkinkan pengendalian lingkungan secara optimal melalui ventilasi otomatis dan pengaturan suhu, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pakan, menekan tingkat kematian ternak, serta mengurangi limbah produksi.

Rektor UNHAS, Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc., menyampaikan bahwa kolaborasi ini menjadi tonggak penting dalam penguatan peran perguruan tinggi dan sektor swasta dalam menyiapkan sumber daya manusia unggul. “Tidak hanya mendukung Tridharma Perguruan Tinggi, tetapi juga wujud komitmen bersama dalam mencetak lulusan yang siap menghadapi tantangan industri peternakan masa depan, sekaligus memberi manfaat nyata bagi masyarakat,” ujarnya.

Senada dengan hal tersebut, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Syahdar Baba, S.Pt., M.Si melanjutkan, “Fasilitas ini akan menjadi sarana penelitian dan pembelajaran langsung, memperkaya kurikulum berbasis praktik dan riset terapan.

Mahasiswa akan mendapatkan pengalaman langsung dalam mengoperasikan teknologi closed house terkini, sehingga mampu memahami konsep peternakan berkelanjutan secara komprehensif dan aplikatif.

Melalui kolaborasi ini, JAPFA dan UNHAS berharap dapat mendorong lahirnya generasi peternak dan profesional peternakan yang kompeten, adaptif terhadap teknologi, serta berdaya saing tinggi, guna mendukung ketahanan pangan dan pembangunan sektor peternakan nasional.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano

Update Bencana Sumatra: Ribuan Nyawa Meninggal, Ratusan Ribu Jiwa Mengungsi, dan Ratusan Orang Hilang

Tim penyelamat sedang berupaya mencari para korban yang diduga masih tertimbun di dalam lumpur akibat banjir bandang disertai tanah longsor di wilayah Kashmir, India - foto X

Jakarta, aktual.com – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kembali merilis data terkini terkait dampak bencana banjir dan longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatra. Hingga Selasa, 16 Desember 2025, jumlah korban meninggal dunia tercatat mencapai 1.053 jiwa, sementara lebih dari 600 ribu warga masih mengungsi.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyampaikan bahwa data tersebut merupakan hasil rekapitulasi terbaru dari proses pencarian dan pertolongan yang dilakukan hingga hari ini.

“Kondisi sebelumnya meninggal dunia tercatat 1.030 jiwa pada hari Senin, 15 Desember 2025,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Menurut Abdul, terdapat penambahan 23 korban jiwa dalam 24 jam terakhir. “Hari ini ada penambahan 18 jiwa di Aceh, dengan rincian 17 jiwa di Aceh Tamiang dan 1 jiwa di Aceh Utara. Kemudian di Sumatera Utara ada penambahan 5 jiwa di Tapanuli Tengah,” jelasnya.

Dengan penambahan tersebut, total korban meninggal dunia akibat bencana di tiga provinsi kini mencapai 1.053 jiwa. Rinciannya, Provinsi Aceh mencatat jumlah korban tertinggi dengan 449 jiwa, disusul Sumatera Utara 360 jiwa, dan Sumatera Barat 244 jiwa.

Selain korban meninggal, BNPB juga mencatat jumlah korban hilang yang masih dalam proses pencarian sebanyak 200 orang. “Hari ini berkurang 6 nama dari sebelumnya 206 orang,” kata Abdul. Ia merinci, korban hilang terdiri dari 31 orang di Aceh, 79 orang di Sumatera Utara, dan 90 orang di Sumatera Barat.

Sementara itu, jumlah pengungsi akibat bencana ini masih sangat tinggi. Abdul menyebutkan bahwa total pengungsi mencapai 606.040 jiwa. “Yang paling banyak saudara-saudara kita masih mengungsi itu di Provinsi Aceh, sebanyak 571.201 jiwa,” ungkapnya.

Di Sumatera Utara, jumlah pengungsi tercatat sebanyak 21.579 jiwa, sedangkan di Sumatera Barat mencapai 13.260 jiwa. Abdul menegaskan bahwa penanganan terhadap para pengungsi terus dilakukan oleh pemerintah daerah bersama BNPB dan berbagai pihak terkait.

“Upaya penanganan darurat masih terus berjalan, termasuk distribusi logistik dan pelayanan kesehatan di lokasi pengungsian,” tambahnya. Ia juga menyampaikan bahwa proses evakuasi dan pencarian korban hilang masih menjadi prioritas utama.

BNPB mengimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap potensi bencana susulan, mengingat curah hujan di beberapa wilayah masih tinggi. Abdul menutup keterangannya dengan menyatakan bahwa pihaknya akan terus memperbarui data seiring perkembangan di lapangan.

Laporan: Yassir Fuady

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

Berita Lain