26 Desember 2025
Beranda blog Halaman 383

Pengusutan Dugaan Suap Haji Robert ke AGK Dinilai Lambat

Presiden Direktur PT PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) Haji Romo Nitiyudo Wachjo atau Haji Robert saat diperiksa KPK RI terkait pemberian uang miliaran rupiah kepada mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba. FOTO: Ist

Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif KPK Watch, Yusuf Sahide menyampaikan pengusutan kasus dugaan suap Presiden Direktur PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) Haji Romo Nitiyudo Wachjo atau Haji Robert kepada mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba (AGK) berjalan lambat.

“Menurut kami, pengusutan perkara ini terlalu lambat. Kasus ini kan sudah berjalan lama sejak tahun 2024 lalu, tapi hingga sekarang belum ada perkembangan berarti. KPK lambat dalam penanganannya,”papar Yusuf Sahide, kepada Aktual.com, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan lembaganya masih menelusuri dugaan aliran dana miliaran rupiah dari Haji Robert kepada AGK. KPK menduga kuat, pemberian uang itu diduga terkait pengurusan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) di Maluku Utara. AGK dalam kasus tersebut berstatus tersangka. AGK juga menjadi tersangka dalam kasus pencucian uang (TPPU) senilai lebih dari Rp100 miliar.

Baca juga:

SOROTAN: KPK Tak Boleh Terkubur Bersama AGK, Bongkar Korupsi Tambang Malut!

Menurut Yusuf, meski penanganannya berjalan lambat KPK Watch mengapresiasi KPK yang tidak menutup kasus-kasus tersebut seusai meninggalnya AGK pada 14 Maret 2025 lalu. Karena, pemberian apapun terhadap pejabat negara, dikategorikan sebagai suap atau gratifikasi.

“Patut diduga di mana seorang pengusaha memberikan sesuatu, apalagi saat itu AGK posisinya sebagai gubernur. Seorang pejabat negara memang tidak boleh menerima apapun dari pengusaha, karena pemberian apapun yang berkaitan dengan jabatan dianggap sebagai gratifikasi yang dapat menjadi suap dan melanggar undang-undang pemberantasan korupsi,” tegas Yusuf.

Yusuf menyampaikan, pemberian apapun bentuk dan alasannya kepada pejabat negara dapat membuka pintu suap. Hal ini tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Pasal 12B yang menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap jika berhubungan dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Penerima gratifikasi pun diatur wajib melapor ke KPK selambat-lambatnya 30 hari. Sementara, AGK tidak melaporkan pemberian uang dari Haji Robert itu ke KPK,” paparnya.

Baca juga:

KPK Dalami Dugaan Suap Haji Robert Dirut PT NHM terkait Izin Usaha Pertambangan di Malut

Karenanya, KPK Watch mendorong penyelesaian kasus tersebut agar menjadi lebih terang. Apalagi, katanya, KPK tidak mungkin mengusut kasus tanpa ada bukti awal. “KPK menyebut pengusutan kasusnya untuk pemulihan aset, kami mendorong untuk diusut secara tuntas,” pungkasnya.

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tengah mendalami peran sejumlah pihak dalam kasus yang melibatkan AGK.

“Terkait dengan AGK (Abdul Gani Kasuba), khususnya Haji Robert. Ini nanti pihak JPU, karena di sini juga banyak pihak yang terkait,” kata Asep di Jakarta, Rabu (10/9).

Pernyataan dari KPK itu memberi sinyal meskipun AGK sudah meninggal dan status tersangkanya gugur demi hukum, pengusutan aliran uang belum berakhir, termasuk terhadap Haji Robert.

Nama Haji Robert sudah lama masuk dalam daftar saksi perkara korupsi AGK. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Ternate, ia hadir dan mengakui pernah menyerahkan uang kepada keluarga AGK. Kepada majelis hakim, ia menyebut angka Rp2,5 miliar yang disalurkan kepada Thoriq Kasuba, anak AGK. Alasannya, membantu usaha kos-kosan di Weda.

“Itu pinjaman, bukan pemberian. Ada perjanjian, akan dikembalikan dalam lima tahun,” ujar Haji Robert kala bersaksi.

Baca juga:

KPK Usut Tuntas Dugaan Pemberian Rp5,5 Miliar Haji Robert ke AGK terkait Suap Izin Tambang

Namun, dakwaan KPK menyebut jumlah yang lebih besar. Jaksa menuliskan bahwa AGK menerima Rp2,2 miliar secara tunai dari Haji Robert di Pantai Indah Kapuk, Jakarta, serta Rp3,345 miliar lainnya melalui pihak perantara yang terkait dengan PT NHM. Jika ditotal, angka itu menembus Rp5,5 miliar.

Kesaksian Haji Robert juga menyebut nama seorang perantara, Ida. Melalui Ida, sebagian aliran uang disebut mengalir ke AGK. Jaksa menyebut periode transfer berlangsung dari April 2021 hingga Maret 2023, bertepatan dengan sejumlah kebijakan strategis soal wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).

Kematian AGK pada Maret lalu memang menutup jalur hukum terhadap dirinya. Tetapi fakta-fakta yang terbuka di ruang sidang tidak serta-merta lenyap. “Meskipun perkara terhadap AGK sudah berhenti, fakta persidangan tetap menjadi bahan analisis. Itu bisa dikembangkan ke pihak lain bila ada bukti yang cukup,” ujar Budi Prasetyo.

Dengan kata lain, fokus KPK bergeser, dari penerima yang sudah tiada, ke pemberi yang masih hidup. Apalagi, posisi Haji Robert sebagai bos tambang besar di Halmahera membuat dugaan suap ini sarat implikasi politik dan ekonomi.

Baca juga:

SOROTAN: Halmahera yang Diperas, Warga yang Dikorbankan

Selain menelusuri motif suap, KPK juga berkepentingan memulihkan aset. Dana Rp5,5 miliar yang disebut mengalir ke AGK dan keluarganya berpotensi ditarik kembali untuk negara, bila terbukti terkait tindak pidana korupsi.

Di sinilah tantangannya. KPK harus memverifikasi bukti transfer, mengonfirmasi saksi-saksi tambahan, dan memastikan ada keterkaitan langsung antara uang dari Haji Robert dengan kewenangan AGK sebagai gubernur. Tanpa itu, klaim “pinjaman bisnis” bisa tetap bertahan.

“Jika nanti ditemukan bukti yang cukup, tentu akan menjadi dasar KPK untuk mengembangkan perkara ini. Tidak ada satupun pihak yang kebal hukum,” tegas Budi.

Kasus ini mendapat sorotan publik lantaran nama Haji Robert disebut berulang kali dalam dakwaan, sementara AGK keburu meninggal sebelum proses hukum tuntas.

“KPK akan terus menelusuri dan hasil perkembangannya akan disampaikan secara terbuka kepada masyarakat,” tutup Budi.

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

KPU Batalkan Aturan Dokumen Capres-Cawapres Jadi Informasi Tertutup

Jakarta, aktual.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi membatalkan Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 terkait penetapan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan. Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua KPU, Affifuddin.

Afifuddin menjelaskan, pembatalan aturan tersebut dilakukan setelah pihaknya menerima berbagai masukan. Menindaklanjuti hal itu, KPU menggelar rapat khusus untuk menentukan langkah selanjutnya.

“Selanjutnya untuk melakukan langkah-langkah koordinasi dengan pihak-pihak yang kita anggap penting misalnya komisi Informasi publik daerah berkatnya berkaitan dengan data-data informasi dan seterusnya. Akhirnya kami secara kelembagaan memutuskan untuk membatalkan keputusan KPU nomor 731 tahun 2025,” ujar Afifuddin di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (16/9/2025).

Sebelumnya, keputusan tersebut ditandatangani Afifuddin pada 21 Agustus 2025. Dalam aturan itu, informasi publik sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua dikecualikan selama lima tahun, kecuali:

a. pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis, dan/atau;

b. pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan publik.

Terdapat 16 dokumen yang dinyatakan tertutup untuk publik terkait syarat pencalonan capres-cawapres. Salah satunya adalah dokumen ijazah yang hanya bisa dibuka dengan persetujuan pihak terkait.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

KPK Lanjutkan Penyidikan Kasus Korupsi Izin Kerja TKA di Kemenaker sejak Era Cak Imin

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aktual/HO

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil aparatur sipil negara atau pegawai di Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kementerian Ketenagakerjaan sebagai saksi kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing atau RPTKA.

“Pemeriksaan bertempat di Gedung Merah Putih KPK atas nama ACZ, ASN Kemenaker yang pernah menjabat sebagai Subkoordinator di Direktorat PPTKA Kemenaker,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Selasa (16/9/2025)

Selain itu, lembaga antirasuah juga memanggil tiga orang saksi lainnya, yakni SHM selaku pekerja lepas di PT Belitung Makmur Mandiri pada 2023–2024, serta JF dan S selaku agen tenaga kerja asing (TKA).

Berdasarkan informasi yang dihimpun, ACZ merupakan Subkoordinator Uji Kelayakan dan Pengesahan RPTKA Sektor Industri Kemenaker Ali Chaidar Zamani.

Sementara itu, KPK sempat memeriksa dua orang mantan Subkoordinator di Direktorat PPTKA Kemenaker atas nama Mustafa Kamal dan Eka Primasari sebagai saksi kasus tersebut pada Kamis (11/9).

Pada pemeriksaan tersebut, KPK mendalami penerimaan uang tidak resmi dari para agen TKA, serta uang THR tiap tahun yang diterima hampir seluruh pegawai pada Direktorat PPTKA yang uangnya diduga berasal dari para agen TKA.

Sebelumnya, pada 5 Juni 2025, KPK mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.

Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.

KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.

Apabila RPTKA tidak diterbitkan Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan demikian, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.

Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.

KPK lantas menahan delapan tersangka tersebut. Kloter pertama untuk empat tersangka pada 17 Juli 2025, dan kloter kedua pada 24 Juli 2025.

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

Ekonom: Kebijakan Rp 200 T Bisa Jadi Jalan Cerah untuk Lapangan Kerja, UMKM, dan Ekonomi

Sejumlah pekerja usaha kecil menengah industri konveksi pakaian jadi mengerjakan pesanan di kawasan Tamansari, Jakarta Barat, Rabu (7/2/18). Permintaan pasar akan kebutuhan pakaian masih relatif meningkat dan hal ini menyebabkan banyak peluang terbuka untuk usaha konveksi. Walaupun usaha konveksi termasuk usaha dalam skala kecil. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, aktual.com — Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengalirkan Rp200 triliun dana pemerintah di Bank Indonesia (BI) ke bank umum untuk disalurkan sebagai kredit produktif menuai sorotan positif dari kalangan ekonom.

Anton Hendranata, Chief Economist PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. sekaligus CEO BRI Research Institute, menilai kebijakan ini berpotensi menjadi jalan cerah bagi pertumbuhan ekonomi nasional, penciptaan lapangan kerja, serta penguatan UMKM.

Menurut Anton, kebijakan ini ibarat membuka tabungan besar yang sebelumnya tersimpan di BI agar dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan produktif. Dana tersebut diharapkan mampu menggerakkan sektor riil, mempercepat pembangunan, serta menghidupkan kembali aktivitas UMKM dan infrastruktur yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi rakyat.

“Secara makro, kebijakan ini berpotensi menjadi katalis pertumbuhan ekonomi baru. Kredit produktif dapat membantu mendorong investasi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya beli masyarakat,” ujar Anton dalam tulisannya di media, dikutip Selasa (16/9).

Anton menyebut kebijakan ini selaras dengan visi Presiden Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dengan dampak langsung hingga ke lapisan masyarakat terbawah. Namun, keberhasilan kebijakan ini akan ditentukan oleh sinergi antara Kementerian Keuangan, BI, dan bank umum.

 

“Kebijakan Rp200 triliun ini berpotensi besar menjadi momentum baru bagi perekonomian, terutama dalam mendukung UMKM, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif. Namun, keberhasilan bergantung pada tiga pilar: penyaluran dana ke sektor produktif yang tepat sasaran, koordinasi transparan antara Kementerian Keuangan dan BI, dan evaluasi rutin untuk menjaga stabilitas ekonomi,” lanjutnya.

Belajar dari pengalaman internasional, seperti TLTRO di Uni Eropa atau PSL di China, Anton menilai Indonesia punya peluang untuk menjadikan kebijakan Rp200 triliun ini sebagai momentum baru.

“Dengan semangat kolaborasi dan kewaspadaan, kebijakan ini dapat menjadi langkah berani yang membawa hasil nyata bagi bangsa. Mari dukung dengan optimisme, tetapi tetap menjaga mata terbuka untuk memastikan setiap langkah diambil dengan bijak,” tutupnya.

Aturan KPU Rahasiakan Dokumen Capres, Pengamat Politik: Langkah Mundur Transparansi Pemilu

Ilustrasi-Gedung KPU
Ilustrasi-Gedung KPU

Jakarta, aktual.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan aturan baru yang akan berlaku pada Pemilu 2029: sebanyak 16 dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden dinyatakan tertutup untuk publik, kecuali ada izin dari calon atau melalui putusan pengadilan.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif SCL Taktika Konsultan, Iqbal Themi, menilai keputusan ini bukan sekadar urusan teknis administratif, melainkan menyentuh hal paling mendasar dalam demokrasi: keterbukaan informasi.

“Menutup dokumen capres-cawapres berarti mengunci akses rakyat terhadap rekam jejak calon. Ini langkah mundur yang bisa menyeret pemilu ke politik ruang gelap, di mana publik dipaksa memilih dengan mata tertutup. Secara tidak langsung, rakyat dipaksa berjudi menentukan masa depan bangsa,” tegasnya, Selasa (16/9)

Iqbal menilai aturan tersebur berbahaya karena menimbulkan tiga resiko utama.

Pertama, delegitimasi KPU sebagai penyelenggara independen. Jika informasi dasar saja ditutup, kepercayaan publik terhadap netralitas KPU akan runtuh.

“KPU justru terlihat melindungi elite, bukan publik. Dan ketika kepercayaan publik hilang, legitimasi pemilu ikut hancur,” ujarnya

Kedua, tergerusnya partisipasi politik rakyat. Pemilih berhak mengetahui rekam jejak, kepatuhan hukum, dan keaslian dokumen calon. Menutup akses ini sama artinya dengan merampas instrumen kontrol publik. Dampaknya, partisipasi rakyat tereduksi menjadi sekadar formalitas.

Ketiga, aturan ini bisa berdampak langsung pada persaingan elektoral. Menjelang Pemilu dan Pilkada, aturan ini berpotensi dijadikan alat manuver politik. Calon dari partai pendukung pemerintah bisa lebih terlindungi karena dokumen penting mereka tidak terbuka untuk diuji publik.

Sebaliknya, pihak oposisi kehilangan ruang untuk mengkritisi rekam jejak lawan karena akses informasinya tertutup. Di sisi lain, oposisi bisa membalikkan isu ini untuk menyerang kredibilitas KPU dan menuding penyelenggara pemilu tidak transparan.

Iqbal mengingatkan bahwa keputusan KPU ini juga bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang menuntut pemilu terbuka dan bisa diawasi rakyat.

“Reformasi membawa pesan bahwa demokrasi harus terbuka dan diawasi rakyat. Kalau KPU justru menutup pintu informasi, maka yang terjadi adalah kebiri demokrasi dan hilangnya kontrol publik atas calon pemimpin,” jelasnya.

Ia menutup dengan peringatan bahwa pemilu tanpa transparansi hanya akan melahirkan demokrasi semu.

“Kalau dokumen capres ditutup, publik kehilangan hak untuk mengawasi, elite semakin nyaman bersembunyi, dan demokrasi kehilangan substansinya. Itu sama saja membawa kita mundur ke masa sebelum reformasi,” pungkas Iqbal.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Presiden Prabowo Beri Tunjangan Rp30 Juta per Bulan untuk Dokter Spesialis di Daerah Terpencil

Ilustrasi operasi transplantasi tubuh (doktersehat)

Jakarta, aktual.com – Presiden Prabowo Subianto resmi menetapkan kebijakan pemberian tunjangan khusus bagi Dokter Spesialis, Dokter Subspesialis, Dokter Gigi Spesialis, dan Dokter Gigi Subspesialis yang bertugas di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK). Besaran tunjangan ini mencapai Rp30,01 juta per bulan.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2025 yang ditetapkan sejak 17 Juli 2025. Tujuan pemberian tunjangan ini adalah sebagai bentuk apresiasi bagi para tenaga medis yang telah memberikan pelayanan kesehatan berkualitas di wilayah pelosok.

“Sebagai bentuk penghargaan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan,” tertulis dalam Pasal 1 Perpres 81/2025, Selasa (16/9/2025).

Pada Pasal 2 dijelaskan, tunjangan senilai Rp30.012.000 itu akan diberikan secara bulanan, dan nilainya berada di luar gaji pokok serta tunjangan lain yang berlaku sesuai aturan kepegawaian.

Tahap awal kebijakan ini akan menyasar lebih dari 1.100 dokter spesialis yang kini bertugas di fasilitas kesehatan milik pemerintah daerah. Para penerima tunjangan mencakup aparatur sipil negara di instansi pusat maupun daerah, serta pegawai rumah sakit daerah berbasis Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), sesuai regulasi yang berlaku.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan pentingnya keberadaan tenaga medis di wilayah sulit. Menurutnya, tantangan bukan hanya soal fasilitas, tetapi juga kesejahteraan dan motivasi mereka dalam bekerja.

“Kalau kita ingin layanan kesehatan yang kuat, kita harus mulai memastikan kesejahteraan finansial bagi tenaga medis yang bertugas di daerah sulit,” ujar Budi Gunadi dalam keterangan resmi Kemenkes, Senin (4/8/2025).

Adapun wilayah penerima tunjangan akan ditentukan oleh Kementerian Kesehatan berdasarkan pemetaan kebutuhan nasional. Prioritas diberikan untuk daerah dengan keterbatasan akses, minim tenaga medis, serta lokasi yang membutuhkan dukungan afirmatif pemerintah pusat.

Selain itu, pemerintah daerah juga didorong berperan aktif dalam mendukung kebijakan ini, termasuk dalam penyediaan anggaran, logistik, fasilitas hunian, transportasi, hingga jaminan keamanan bagi tenaga medis.

Tidak hanya soal tunjangan, tenaga kesehatan di DTPK juga akan mendapatkan kesempatan pelatihan berjenjang dan pengembangan karier.

“Jangan sampai tenaga kesehatan yang kita tempatkan di pelosok justru terabaikan pengembangannya. Mereka harus tetap mendapat akses pelatihan dan pendidikan agar profesionalisme tetap terjaga,” tegas Budi.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Berita Lain