26 Desember 2025
Beranda blog Halaman 39284

JK Bantah Ada ‘Pembersihan’ Pejabat Pemerintah

Jakarta, Aktual.co — Wakil Presiden Jusuf Kalla membantah telah terjadi “bersih-bersih” atau penggantian secara besar-besaran terhadap sejumlah pejabat di pemerintahan, khususnya kepada personil yang dianggap dekat dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Enggak lah, dulu semua aparat itu kan di bawah SBY. Sekarang semua aparat di bawah jokowi, enggak ada itu. Pejabat kan taat kepada atasan tidak kepada orang,” kata Jusuf Kalla, di Istana Wapres Jakarta, Rabu (21/1).
Hal tersebut disampaikan usai menghadiri penandatanganan naskah kerja sama antara Kemenristek dan Dikti dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), serta Apindo dengan Forum Rektor Indonesia.
Jusuf Kalla menambahkan, pada saatnya pejabat di pemerintahan memang harus diganti namun itu semata-mata bukan karena orangnya petinggi sebelumnya, tapi karena memang kebutuhan.
Wapres menegaskan pemberhentian Jenderal Pol Sutarman dari Kapolri juga bukan karena dia dianggap orangnya SBY.
“Kan pada waktunya pejabat harus mengganti orang. Pak SBY dulu juga mengganti orang,” kata dia.
Jusuf Kalla juga membantah ada pihak yang berupaya memecah-belah Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputi dengan SBY.
“Saya kira tidak. Masak mau dipecah belah. Dan juga tidak ada upaya bersih-bersih,” tegas Jusuf Kalla.
Presiden ke-6 Susilo Bamang Yudhoyono dalam akun facebooknya menulis dirinya mendengar isu pemerintahan saai ini sedang” bersih-bersih” orang yang duduk dipemerintahannya.
“Di tengah-tengah situasi politik yang menghangat saat ini, saya juga mendengar sejumlah isu, mungkin juga ‘provokasi’ yang bisa memecah belah kita semua. Termasuk antara Presiden Jokowi dengan saya,” tulis SBY di akun facebooknya.

Artikel ini ditulis oleh:

Pelarangan Motor di Jalan Protokol, Komunitas Motor: Kebijakan Ahok Itu Konyol

Jakarta, Aktual.co — Sistem pelarangan motor di jalan protokol Ibukota yang sudah diberlakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tajahaja Purnama (Ahok) masih menuai protes (pro dan kontra) dari berbagai kalangan. Mulai dari masyarakat biasa hingga artis tidak setuju dengan peraturan tersebut.

Disamping itu, komunitas ‘Ngawi Motor Club’ juga sangat menentang kebijakan Ahok yang sangat diskriminatif. Ketua umum sekaligus pendiri pecinta Riders, Agus Fono mengatakan, kebijakan Ahok mampu menyebabkan disintegrasi bangsa (perpecahan).  

“Saya sangat tidak setuju. menurut saya itu sistem terlalu konyol,” kesal Agus Fono selaku pendiri dan ketua umum ‘Ngawi Motor Club’, kepada Aktual.co, Rabu (21/1).

Menurutnya, solusi yang diberikan dengan menyediakan bis gratis di jalur pelarangan motor tersebut tetap tidak membuat jalan keluar yang baik.

Warga perkotaan yang memilih motor adalah orang yang paham bagaimana memanage waktu secara efisien. Kata ia, dengan naik bis menurutnya akan membutuhkan waktu yang lebih lama sampai ke tempat tujuan.

“Dan, jika motor disebut sebagai penyebab kemacetan, saya makin tidak setuju. Coba saja Gubernur untuk memberhentikan produksi motor, apa kemacetan akan berkurang?. Coba saja, setiap hari produksi mobil saja satu hari bisa menghasilkan kemacetan luar biasa,” kesalnya lagi.

Agus berharap, Ahok harus bisa memberikan solusi yang bijaksana. Tidak hanya merugikan kepentingan masyarakat menengah ke bawah.

Sekedar informasi, ‘Ngawi Motor Club’ sudah berdiri selama lima tahun. Klub motor asal Tangerang ini memiliki 24 anggota yang aktif. Mayoritas anggota adalah anak muda pecinta Riders.

‘Ngawi Motor Club’ sering melakukan hal-hal positif seperti, konvoi menuju salah satu pantai di wilayah Pacitan. Selain berkunjung, komunitas ini juga belajar budaya pada setiap kota yang mereka datangi. Kegiatan positif lainnya misalnya, membawa karung di setiap motor untuk memungut sampah-sampah liar agar tidak berserakan di jalan.

Selain itu, mereka juga belajar tentang bisnis yang dibuat oleh klub motor tersebut yakni, konstruksi besi.

Artikel ini ditulis oleh:

Pengacara: KPK Digunakan Untuk Jegal BG Jadi Kapolri

Jakarta, Aktual.co — Kuasa hukum Komjen Budi Gunawan, Razman Arif Nasution, menilai penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kliennya syarat akan muatan politis. Hal tersebut diungkapkannya, lantaran penetapan tersebut menjelang calon Kapolri itu dilantik sebagai Kapolri pengganti Jenderal Sutarman.
“Kemudian kita melihat KPK cenderung menyampaikan keputusan dalam hal menetapkan tersangka itu selalu digunakan dalam situasi yang genting. Dalam artian itu bagian dari pada proses pencitraan, itu pada momen-momen tertentu pada situasi-situasi genting,” cetus Razman di Kejaksaan Agung (Kejagung), Rabu (21/1).
Dia sangat menyesalkan sikap KPK yang terkesan menunggu situasi yang tepat. Dia menduga, KPK dijadikan instrumen untuk melakukan penjegalan terhadap kliennya yang ingin menjadi orang nomor satu di korps Bhayangkara itu.
“Kalau memang dianggap ada barang bukti yang kuat, kenapa tidak langsung dijadikan tersangka pada saat itu,” tegasnya.
Dia menjelsakan, sesuai prosedur dalam KUHAP, adalah apabila sesorang melanggar hukum, maka yang bersangkutan diperiksa menggunakan bukti-bukti dan pemeriksaan saksi-saksi. Selanjutnya, tambah dia, baru penetapan status.
“Tapi oleh KPK ada dugaan tindak pidana, kemudian pengumuman tersangka baru pemeriksaan alat bukti. Kan itu terbalik,” ungkapnya.
“Kalau pada tahun 2003-2006 kemudian diributkan pada tahun 2010 dengan sebutan rek gendut, kemudian pada Juni 2014 ada menurut KPK mulai dilakukan proses-proses pemeriksaan terhadap data-data dimaksud, kenapa rentan panjang itu dibiarkan begitu saja?,” demikian azman.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby

DPR Bahas RUU Ratifikasi Ekstradisi Dua Negara

Jakarta, Aktual.co — Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Tantowi Yahya mengatakan pihaknya akan memasukan rancangan undang-undang (RUU) ratifikasi kerjasama ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan Papua Nugini dan Vietnam, dalam pembahasan ini masuk dalam prolegnas.
Menurut dia, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian dan Kejaksaan Agung dimintakan pandangannya terkait ratifikasi tersebut.
“Terkait dengan usulan dari pemerintah mengenai rancangan UU ratifikasi kerjasama ekstradisi antara pemerintah kita dengan Papua Nugini dan Vietnam, banyak hal berharga dan berguna yang disampaikan ketiga narsum, agar kami hati-hati dalam menyetujui atau menolak ruu ini,” ucap dia usai menggelar RDP, di ruang komisi I DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (21/1).
Tantowi berpandangan, isu ratifikasi untuk ektradisi itu pun menjadi sangat relevan, terutama ketika terkait dengan permintaan pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) yang bersembunyi di dua negara tersebut.
“Isu ini menjadi sangat relevan karena ada beberapa pelaku Tipikor yang saat ini buron dan bermukim di Papua Nugini maupun vietnam,” ungkapnya.
Pun demikian, diakui dia, dalam pembahasan ini juga melebar pada masalah ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Singapura, yang belum bisa diratifikasi dalam undang-undang saat ini.
“Kalau dengan Singapura itu tidak sesederhana ekstradisi dengan dua negara ini maupun negara lain. Karena itu masih dikaitkan dengan kerjsama pertahanan antar kita dengan Singapura yang itu memerlukan pembahasan sendiri antara komisi I dengan kemenhan, mabes TNI, Kumham dan kemenlu,” beber dia.
“Jadi dua hal ini terpisah, tetapi saling terkait dan saling sandra menyandra, sehingga kami ingin sesuai dengan aspirasi rakyat Indonesia agar para koruptor yang bermukim di Singapura berikut asetnya dapat dikembalikan lagi ke Indonesia, sementraa pemerintah Singapura masih mengkaitkannya dengan persetujuan kerjasama pertahanan dengan kita,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang

Kemelut Sekda, Gubernur Sumut Mengaku Sudah Koordinasi dengan Mendagri

Medan, Aktual.co — Kemelut status jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Sumut terus bergulir pasca pernyataan dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang mengusulkan pembatalan pelantikan Hasban Ritonga sebagai Sekda karena diketahui Hasban berstatus terdakwa.
Gubernur Sumut, Gatot Pudjo Nugroho ketika dikonfirmasi, menyebut bahwa sebelum proses pelantikan (sekda) sudah berkoordinasi dengan mendagri.
“Sebelum proses pelantikan, saya katakan saya koordinasi dengan Jakarta (mendagri), saat ini Hasban baru pulang dari Jakarta, nanti tanyakan sama dia,” ujar Gatot, di kantor Gubernur Sumut, jalan Diponegoro, Medan, Rabu (21/1).
Dia menambahkan, meski mendagri menyebut telah mengusulkan pencopotan itu, dirinya hingga kini belum menerima surat apapun terkait itu.
“Seharusnya berdasarkan surat yang resmi kan, sampai sekarang belum ada. Dicopot apa tidak kan ada suratnya,” kata Gatot.
Diketahui, Hasban Ritonga yang dilantik menjadi Sekda Sumut, Rabu (14/1) pekan lalu saat ini masih berstatus terdakwa dalam kasus penyalahgunaan wewenang dalam sengketa lahan sirkuit Jalan Pancing, Medan, dengan PT Mutiara Development. 

Artikel ini ditulis oleh:

Pengacara BG: Pimpinan KPK Lakukan Pembiaran Perkara

Jakarta, Aktual.co — Tim kuasa hukum Budi Gunawan, Razman Arif Nasution, menyatakan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Menurutnya, KPK tidak sesuai prosedur saat menerapkan Budi Gunawan menjadi tersangka penerimanaan gratifikasi sesaat setelah dijadikan calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Menurut KUHP, seseorang apabila melanggar hukum, diperiksa alat bukti, pemeriksaan saksi-saksi, ketiga penetapan status. Itu protapnya, tetapi oleh KPK proses itu terbalik,” ujar Razman di gedung Kejaksaan Agung usai melaporkan pimpinan KPK, Rabu (21/1).
Dia menegaskan, seharusnya pimpinan KPK menerapkan Pasal 421 KUHP dan Pasal 23 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 serta UU Nomor 20 Tahun 2001 terkait Pemberantasan Korupsi.
“Kami menganggap bahwa pimpinan KPK telah melakukan proses pembiaran, Karena, kasus yang dituduhkan kepada klien kami, dengan Pak Eggi Sudjana, dan Ibu Ria, terjadi 2003 sampai 2006. Itu ada dugaan korupsi gratifikasi ketika klien kami, Pak Budi Gunawan, berpangkat brigjen, posisi sebagai kepala biro pembinaan karier, diduga menerima janji dan lain sebagainya,” jelasnya.
Kemudian pada 2010, kata Razman, Budi Gunawan disebut memiliki rekening gendut. Selanjutnya, Juni 2014, KPK mengungkapkan memulai proses pemeriksaan.
“Kenapa rentang waktu yang panjang dibiarkan sedemikian rupa. Kalau sudah dianggap ada barang bukti yang kuat, kenapa tidak langsung jadi tersangka saat itu,” jelasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby

Berita Lain