27 Desember 2025
Beranda blog Halaman 39375

Melawan Lupa, Tanggal 19 Januari: Gayus Tambunan Dinyatakan Bersalah

Jakarta, Aktual.co — Gayus Halomoan Partahanan Tambunan (atau biasa disebut Gayus Tambunan), lahir di Jakarta, 9 Mei 1979 adalah mantan pegawai negeri sipil (PNS) di Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Indonesia.

Namanya menjadi terkenal, ketika Komjen Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya ditambah uang asing setara Rp60 miliar dan perhiasan senilai Rp14 miliar di dalam brankas bank atas nama istrinya dan itu semua dicurigai sebagai harta haram.

Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh satgas mafia hukum di Singapura.

Kasus Gayus mencoreng reformasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang sudah digulirkan oleh Sri Mulyani dan menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia.

Gayus Tambunan diketahui berada di Bali dan menonton pertandingan tenis Commonwealth World Championship pada tanggal 5 November 2010. Dan, Gayus mengaku berada di pulau Dewata pada tanggal tersebut di persidangan pada tanggal 15 November 2010.

Polri telah melakukan penggeledahan terhadap rumah terdakwa mafia hukum, Gayus Tambunan terkait pemalsuan paspor atas nama Sony Laksono. Hasil pemeriksaan rumah Gayus di wilayah Kelapa Gading, penyidik telah menemukan berbagai barang bukti perjalanan ke beberapa negara.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar di Mabes Polri menyebutkan barang bukti yang sudah disita Polri tersebut, antara lain boarding pass dari China Air yang digunakan Gayus ketika pulang dari Makau, dan boarding pass Air Asia atas nama istri Gayus, Milana Anggraeni.

Meski berstatus tahanan, Gayus diduga mengajak Milana pergi ke sejumlah negara. Mereka diduga pergi ke Makau (Hong Kong), Singapura, dan Kuala Lumpur (Malaysia).

Selain Milana, untuk melengkapi keterangan yang dibutuhkan, penyidik juga berharap bisa memperoleh keterangan dari Devina, penulis surat pembaca Harian Kompas yang menguak kepergian Gayus ke luar negeri.

Sosok Gayus Tambunan yang kontroversial memberikan inspirasi bagi banyak orang. Tak hanya bermacam-macam versi rupa Gayus yang beredar di dunia maya, kisah Gayus memberi inspirasi lagu yang menceritakan sepak terjangnya.

Pada tanggal 19 Januari 2011, Gayus Tambunan telah dinyatakan bersalah atas kasus korupsi dan suap mafia pajak oleh Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan dengan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta.

Artikel ini ditulis oleh:

Pengamat: Pidana Mati Ada Dalam UU RI

Jakarta, Aktual.co — Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Riau Erdianto Effendi berpendapat, pidana mati masih ada dalam peraturan perundang-undangan RI dan ketentuan tersebut diterapkan di Indonesia.
“Apalagi sebagai seorang Muslim, secara konsep, saya setuju pidana mati diterapkan dalam hal yang sejalan dan senapas dengan kaidah hukum Islam (qishash),” kata dia di Pekanbaru, Senin (19/1).
Hal itu disampaikan dia terkait lima terpidana kasus narkoba di Indonesia dieksusi hukuman mati pada Minggu (18/1). “Terkait pidana mati, harus dilihat dari beberapa hal, pertama tentang aspek keberlakuan hukum yaitu filosofis, yuridis dan sosiologis, lalu kedua menyangkut ilmu pengetahuan, ketiga menyangkut HAM,” kata dia.
Dilihat dari aspek filosofis, kata dia, artinya dilihat dari cita-cita hukum bangsa Indonesia dalam hal ini Pancasila. “Memang Pancasila ada sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tapi juga ada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dia juga menilai konsep pidana mati sejalan dengan hukum qishash dalam hukum pidana Islam. Dilihat dari aspek yuridis, pidana mati masih dimuat sebagai salah satu bentuk sanksi pidana, menurut sistem hukum Indonesia, baik di dalam KUHP maupun berbagai peraturan perundang-undangan hukum pidana khusus.
Apalagi, Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dari aspek sosiologis, keberadaan pidana mati diakui dalam hukum yang hidup di tengah masyarakat. Dalam berbagai hukum adat dikenal adanya pidana mati.
“Kedua dari aspek ilmu pengetahuan hukum, keberadaan pidana mati telah lama menjadi perdebatan. Dari kelompok yang pro pidana mati menyatakan bahwa pidana mati sangat efektif menjadi efek penjera. Sedangkan masih ada pidana mati saja, kejahatan-kejahatan serius masih terjadi, bagaimana jika tidak ada pidana mati?”
“Dari kelompok yang kontra menyatakan sebaliknya, pidana mati tidak membuat orang jera, berdasarkan data, walaupun selalu ada pidana mati, buktinya orang masih saja berani melakukan kejahatan-kejahatan serius.”
Dia mengatakan, ketiga dari aspek HAM, kelompok kontra pidana mati menyatakan bahwa hak hidup adalah HAM absolut dan universal yang tidak dapat dicabut dalam keadaan apapun, termasuk untuk alasan karena seseorang menjadi pelaku kejahatan yang serius.
“Terhadap kontroversi tersebut, pada dasarnya saya setuju pidana mati masih ada dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan ketentuan tersebut diterapkan di Indonesia. Apalagi sebagai seorang Muslim.”
Namun, sambung dia, perlu diingat bahwa penerapan pidana mati di Indonesia saat ini tidak berdasarkan kaidah hukum pidana Islam dan proses eksekusinya juga tidak menurut syariat Islam. Hukum pidana Islam tidak berlaku di Indonesia.
Dalam hukum Islam, kata dia, pidana mati hanya dijatuhkan kepada beberapa tindak pidana seperti pembunuhan dan perzinahan. Kasus-kasus lain seperti pencurian termasuk pula penyalahgunaan narkotika tidak tergolong yang dapat dipidana mati, tetapi dalam kasus pembunuhan pun pidana mati dapat dibatalkan jika keluarga korban memaafkan pelaku.
“Inilah konsep “restoratife justice” yang paling ideal dan sejalan dengan hukum adat yang hidup dan berkembang di Indonesia,” kata dia. 

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu

Awasi KPK, Presiden Harus Bentuk Tim Independen

Jakarta, Aktual.co — Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharunya membentuk tim independen untuk mengawasi proses hukum terkait penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pasalnya, lembaga pimpinan Abraham Samad itu tidak memiliki lembaga pengawas. Hal ini untuk memastikan apakah penangan kasus jenderal bintang tiga itu sesuai jalur atau tidak.
“Presiden harus membuat tim independent untuk menguji apa yang diberikan oleh pimpinan KPK konfrem atau tidak, sebab, KPK ini tidak ada tim pengawasnya,” kata Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil, di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (19/1).
menurutnya, Tim independen yang dibentuk diberi kewenangan untuk melakukan gelar perkara terhadap kasus yang menjerat calon kapolri tersebut. Tim ini bekerja tertutup dan hanya memberikan laporannya kepada presiden untuk kemudian menjadi pertimbangan dalam membuat keputusan.
“Jadi hanya tim dan presiden saja yang tau. Tujuannya agar presiden bisa mengambil langkah selanjutnya dalam kasus Budi Gunawan,”,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang

Kasus Korupsi Alkes, Bareskrim Polri Periksa Gubernur Gorontalo

Jakarta, Aktual.co — Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menjadwalkan pemeriksaan terhadap Gubernur Gorontalo Rusli Habibie. Rusli bakal diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi anggaran pengadaan alat kesehatan.
“Kebetulan yang bersangkutan sudah hadir memenuhi panggilan sebagai saksi. Pemeriksaan dimulai pukul 09.00 WIB,” kata Kepala Sub Direktorat IV Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Pol Yudhiawan, di Jakarta, Senin (19/1).
Menurut dia, pihak Bareskrim hingga saat ini sudah menahan lima orang tersangka dalam kasus tersebut, sebagian besar berkasnya sudah lengkap. “Sebagian besar sudah P21. Yang belum P21 berinisial TB,” kata dia.
Kasus ini diduga terjadi saat Rusli Habibie masih menjabat sebagai Bupati Gorontalo Utara. Kasus korupsi anggaran pengadaan alat kesehatan sebesar Rp 5,56 miliar tahun anggaran 2012 diduga telah merugikan negara sebesar Rp1,8 miliar.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu

DPR: Demi Transparansi Kasus BG, Presiden Harus Bentuk Tim Independen

Jakarta, Aktual.co — Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya mengambil langkah dengan membentuk tim independen untuk mengawasi proses hukum terkait penetapan tersangka Komjen Pol Budi Gunawan oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pasalnya, lembaga pimpinan Abraham Samad itu tidak memiliki lembaga pengawas, hal ini untuk memastikan apakah penanganan kasus jenderal bintang tiga itu politis atau tidak.
Demikian dikatakan Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil kepada wartawan, di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (19/1).
“Presiden harus membuat tim independen untuk menguji apa yang diberikan oleh pimpinan KPK konfirm atau tidak, sebab, KPK ini tidak ada tim pengawasnya,” kata dia.
Masih dikatakan Nasir, tim yang independen itu juga diberikan kewenangan untuk dapat melakukan gelar perkara terhadap kasus yang menjerat calon kapolri tersebut. Dan tentunya, ia menegaskan jika tim ini bekerja tertutup dan hanya memberikan laporannya kepada presiden untuk kemudian menjadi pertimbangan, Jokowi dalam membuat keputusan.
“Tim ini dapat melakukan gelar perkara terhadap kasus Budi Gunawan, dengan sistem yang sangat tertutup dan hanya melaporkan kepada presiden. Jadi hanya tim dan presiden saja yang tau,” ujarnya.
“Ini tujuannya agar presiden bisa mengambil langkah selanjutnya dalam kasus Budi Gunawan,” pungkas politisi PKS itu. 
Perlu diketahui, informasi yang diperoleh Aktual.co menyebutkan alat bukti dari kasus Budi Gunawan ini masih lemah yang hanya masuk dalam tindak pidana ringan. Selain itu, dalam penentuan tersangka Budi Gunawan kuat dugaan permainan intenal Polri juga ada.
Selain itu, mantan Kabareskrim Komjen Pol Suhardi Alius yang sekarang dicopot diduga berkoordinasi dengan pimpinan KPK sebelum penentuan tersangka Komjen Budi Gunawan dengan menyerahkan alat bukti baru. 
Ketua KPK Abraham Samad juga menjelaskan kasus yang menjerat Komjen Pol Budi Gunawan ini merupakan kasus tindak pidana ringan. “Kalau Komjen BG ini kasus Tipiring,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang

Eksekusi Mati, DPR Dukung Pemerintah Tolak Lobi Australia

Jakarta, Aktual.co — Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Fadli Zon mendukung langkah pemerintah yang menolak lobi pemerintah Australia terkait warganya yang divonis mati karena kasus narkoba.
“Saya kira masyarakat mendukung, DPR juga sangat mendukung untuk pelaksanaan eksekusi mati. Narkoba ini kejahatan luar biasa,” kata Fadli, Senin (19/1).
Pemerintah Australia diminta menghormati proses hukum yang terjadi di Indonesia, terlebih pengguna narkoba di Indonesia mencapai 4,5 juta.
Pihaknya megapresiasi langkah pemerintah Jokowi yang menolak lobi Presiden Brasil dan Raja Belanda terkait permohonan pembatakan eksekusi mati terhadap warganya.
Perdana Menteri Australia Tony Abbott sebelumnya telah mengirim surat kepada Presiden Jokowi terkait eksekusi mati terhadap warganya. Dua warga Australia menunggu pelaksanaan eksekusi mati setelah permohonan grasinya ditolak presiden.

Artikel ini ditulis oleh:

Berita Lain