Jakarta, Aktual.co — Sejumlah perajin tempe di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, terancam gulung tikar menyusul kenaikan kedelai impor di tingkat pengecer menembus Rp10.000/kg.
“Kami bingung harga kedelai impor itu sejak sepekan terakhir sudah dua kali terjadi kenaikan dari sebelumnya Rp8.500/kg menjadi Rp9.500/kg,” kata Yahya, seorang perajin tempe warga Cibahbul Desa Rangkasbitung Timur, Kabupaten Lebak, Selasa (23/12).
Menurut dia, kenaikan bahan baku tempe tersebut tentunya berdampak buruk bagi para perajin usaha kecil. Saat ini, produksi tempe berkurang sekitar 50 persen akibat kenaikan kedelai di tingkat pengecer itu.
Apalagi, perajin tempe di Kabupaten Lebak tidak memiliki lembaga usaha, seperti koperasi maupun asosiasi yang bisa melindungi mereka. Para perajin tempe di Kabupaten Lebak sejak dulu hingga sekarang menggunakan kedelai impor dari Argentina dan Amerika Serikat. Sebab, pasokan kedelai lokal relatif terbatas juga kualitasnya kalah jauh dengan kedelai impor. Kenaikkan kedelai itu, tentu produksi mengeluarkan modal dua kali lipat.
Mereka perajin tempe untuk bertahan hidup mengurangi biaya produksi yang biasanya 80 kilogram kedelai, namun kini menjadi 40 kilogram. Karena itu, pihaknya berharap pemerintah dapat melindungi para perajin tempe dengan memasok kedelai dengan harga murah dan terjangkau.
“Kami merasa terpukul dengan kenaikan kedelai karena keuntungan relatif kecil dan hanya cukup makan keluarga,” katanya.
Ia mengatakan, apabila harga kedelai tidak segera dikendalikan pemerintah dipastikan ratusan perajin tempe dan tahu di Kabupaten Lebak terancam bangkrut dan menimbulkan pengangguran.
Kebanyakan perajin di sini bermodal relatif kecil dan jika kedelai naik tentu bisa gulung tikar. Selain itu juga harga satuan tempe di pasaran tidak mengalami kenaikan. Selama ini, perajin tempe menjerit dengan kenaikan kedelai di pasaran itu. Bahkan, beberapa perajin kini bangkrut dan tidak memproduksi lagi akibat naiknya kedelai.
“Kami berharap harga kedelai kembali normal dengan kisaran Rp7.000 agar usaha mereka berkembang,” ujarnya.
Begitu pula, Soleh, seorang perajin tempe warga Kelurahan Rangkasbitung Timur mengaku bahwa dirinya terpukul kenaikkan kedelai impor mencapai Rp10.000/kg dari sebelumnya Rp8.700/kg.
Kenaikan kedelai itu, menurut dia akan berdampak perajin tempe gulung tikar karena produksi berkurang juga kondisi modal menipis.
“Kami kalau dulu terbantu dari koperasi untuk kebutuhan kedelai, namun saat ini dipasok dari pengecer,” katanya.
Ia mengaku, sejak naiknya kedelai terpaksa mensiasati dengan mengurangi ukuran dari biasanya. Sebab, apabila harga satuan tempe dinaikkan dipastikan konsumen menolak.
“Karena itu, kami memperkecil ukurannya namun harga tetap sama sebesar Rp1.000,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka