25 Desember 2025
Beranda blog Halaman 40658

Pemda Tak Boleh Tarik Retribusi Kapal Nelayan di Bawah 10 GT

Jakarta, Aktual.co —Kapal di bawah 10 Gross Tonnage (GT) tidak perlu izin operasi. Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta Pemerintah Daerah tidak memungut retribusi terhadap kapal-kapal yang berkapasitas di bawah 10 GT.
“Agar mereka bisa beroperasi,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, di Kotabaru, Kalimantan Selatan, Minggu (14/12).
Sebagai gantinya, pemerintah daerah diminta untuk mendapatkan atau memungut retrebusi atau pajak penghasilan (PPH) dari perusahaan besar yang beroperasi di Kotabaru.
Menteri Susi meminta pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Kotabaru, memberi kesempatan kepada nelayan tangkap untuk tumbuh menjadi besar terlebih dahulu.
“Belum lagi dia bisa berjalan, sudah “dicubit”, dan baru saja bisa berjalan dia “dicubit” sana dan “dicubit” sini, lalu kapan dia bisa berjalan kalau sudah “dicubit” sana dan cubit sini,” ujar dia.
Setelah si nelayan kecil itu sudah besar dan mampu, kata Susi, nelayan bisa memberikan pendapatan bagi negara. Dan bukan saat ia masih kecil tapi  dibebani pajak atau retrebusi sebagai pendapatan asli daerah (PAD).

Artikel ini ditulis oleh:

Pemda Tak Boleh Tarik Retribusi Kapal Nelayan di Bawah 10 GT

Jakarta, Aktual.co —Kapal di bawah 10 Gross Tonnage (GT) tidak perlu izin operasi. Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta Pemerintah Daerah tidak memungut retribusi terhadap kapal-kapal yang berkapasitas di bawah 10 GT.
“Agar mereka bisa beroperasi,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, di Kotabaru, Kalimantan Selatan, Minggu (14/12).
Sebagai gantinya, pemerintah daerah diminta untuk mendapatkan atau memungut retrebusi atau pajak penghasilan (PPH) dari perusahaan besar yang beroperasi di Kotabaru.
Menteri Susi meminta pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Kotabaru, memberi kesempatan kepada nelayan tangkap untuk tumbuh menjadi besar terlebih dahulu.
“Belum lagi dia bisa berjalan, sudah “dicubit”, dan baru saja bisa berjalan dia “dicubit” sana dan “dicubit” sini, lalu kapan dia bisa berjalan kalau sudah “dicubit” sana dan cubit sini,” ujar dia.
Setelah si nelayan kecil itu sudah besar dan mampu, kata Susi, nelayan bisa memberikan pendapatan bagi negara. Dan bukan saat ia masih kecil tapi  dibebani pajak atau retrebusi sebagai pendapatan asli daerah (PAD).

Artikel ini ditulis oleh:

Pengamat: Pemerintah Harus Netral di Konflik Golkar, Jangan Intervensi

Jakarta, Aktual.co —Harapan politisi Golkar Agun Gunandjar Sudarsa agar pemerintah segera memutuskan legalitas kepengurusan Golkar, bisa jadi indikasi intervensi pemerintah di konflik internal Golkar.
Pengamat politik Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Acry Deodatus, menilai kader-kader Golkar mestinya berharap ada politisi senior Golkar yang turun dan melakukan rujuk (islah). 
“Yang saat ini di partai berlambang beringin ada dua versi. Yakni hasil Munas Bali dan Jakarta sehingga lebih elegan, ketimbang meminta pemerintah,” kata dia, di Kupang, Minggu, (14/12).
Apabila di internal Golkar sudah terjadi rujuk dan islah, barulah pemerintah bisa memberikan legal-konstitusional atau pengakuan dan pengesahan terhadap Partai Golkar. Dan bukan malah sebaliknya.
Karena apapun sikap dan keputusan pemerintah pasti akan digugat salah satu pihak, dan dengan demikian menimbulkan konflik berkepanjangan.
Sedangkan saat ini, menurut Acry, konflik internal Partai Golkar berada di tangan pemerintah, yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Sebagaimana menjadi kewajiban pemerintah untuk menilai, mengkaji, menguji dan memutuskan (yang sah) antara Munas di Bali dan Munas di Jakarta, adalah hal yang tak terbantahkan,” katanya.
Karena memang pemerintah memiliki instrumen penguji yakni Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang partai politik dan AD/ART Partai Golkar.
Namun, ujar dia, saat Kemenkumham membentuk tim khusus untuk mempelajari berkas-berkas Partai Golkar merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap masalah internal Parpol.
“Ini sepertinya gaya pemerintahan Orde Baru yang cenderung otoriter mengendalikan Partai Politik kembali dihidupkan lagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang dimotori PDI Perjuangan yang terkenal anti Orba saat itu,” katanya.
Dosen Ilmu Politik FISIP Undana Kupang itu mengatakan di era reformasi saat ini pemerintah tidak berwenang memutus konflik partai politik. Konflik di partai politik harus diselesaikan sendiri di internal partai. Sehingga kalau pemerintahan Jokowi-JK mulai mengatur konflik Parpol maka tidak salah kalau gaya kepemimpinan Orde Baru dihidupkan lagi.
Menurut dia, tabu-nya pemerintahan melakukan intervensi terhadap persoalan internal partai politik diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 8 tentang Partai Politik, konflik di partai politik harus diselesaikan di internal partai melalui mekanisme mahkamah partai.
Karena itu, kata Deodatus, Kemenkumham yang merupakan perpanjangan tangan dari Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala diminta untuk tidak gampang mengeluarkan kebijakan yang sifatnya tidak netral.
“Harusnya Pemerintah dalam menyikapi konflik partai politik tidak boleh memosisikan diri sebagai pengadilan. Bahkan sistem peradilan di Indonesia pun tidak ada mekanisme untuk menyelesaikan konflik partai. Harus diselesaikan di internal. Jadi Kemenkumham, jagan sampai euforia atau berlebihan diawal kepemimpinannya,” katanya.
Menurut Acry Deodatus, pernyataan Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia Said Salahuddin mengingatakan pemerintah untuk tidak mencampuri urusan partai politik, termasuk menentukan keabsahan pengurus membenarkan argumen dan opini yang berkembang bahwa intervensi pemerintah terhadap Parpol seperti jaman Orde Baru.
“Mungkin kita perlu pikirkan untuk tidak lagi memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengesahkan kepengurusan parpol, karena bisa disalahgunakan,” kata Said saat menjadi pembicara seminar dalam Mukernas PPP di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, keterlibatan pemerintah dalam urusan internal parpol bisa mengancam demokrasi, karena memungkinkan pemerintah mengontrol parpol. “Partai politik seharusnya menjadi lembaga yang mandiri dan punya kedaulatan. Steril dari pengaruh pemerintah,” katanya.
Bahkan dalam hal terjadi konflik di internal parpol, kata Said, sangat mungkin pemerintah akan berpihak kepada kubu yang pro kepada pemerintah. “Yang kritis terhadap pemerintah tidak akan disahkan, begitu sebaliknya.”
Padahal, kata Said, adalah hak parpol untuk memilih bergabung dengan pemerintah atau beroposisi. Oleh karena itu, kata Said, pihak yang paling berhak menyelesaikan konflik di internal parpol adalah pengurus parpol itu sendiri, bukan pemerintah.
Jadi menurut Acry Deodatus, solusi yang mestinya ditawarkan pemerintah adalah Islah antara dua kubu yang tengah berkonflik merujuk pada mekanisme internal organisasi Partai Politik yang ada.

Artikel ini ditulis oleh:

Pengamat: Pemerintah Harus Netral di Konflik Golkar, Jangan Intervensi

Jakarta, Aktual.co —Harapan politisi Golkar Agun Gunandjar Sudarsa agar pemerintah segera memutuskan legalitas kepengurusan Golkar, bisa jadi indikasi intervensi pemerintah di konflik internal Golkar.
Pengamat politik Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Acry Deodatus, menilai kader-kader Golkar mestinya berharap ada politisi senior Golkar yang turun dan melakukan rujuk (islah). 
“Yang saat ini di partai berlambang beringin ada dua versi. Yakni hasil Munas Bali dan Jakarta sehingga lebih elegan, ketimbang meminta pemerintah,” kata dia, di Kupang, Minggu, (14/12).
Apabila di internal Golkar sudah terjadi rujuk dan islah, barulah pemerintah bisa memberikan legal-konstitusional atau pengakuan dan pengesahan terhadap Partai Golkar. Dan bukan malah sebaliknya.
Karena apapun sikap dan keputusan pemerintah pasti akan digugat salah satu pihak, dan dengan demikian menimbulkan konflik berkepanjangan.
Sedangkan saat ini, menurut Acry, konflik internal Partai Golkar berada di tangan pemerintah, yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Sebagaimana menjadi kewajiban pemerintah untuk menilai, mengkaji, menguji dan memutuskan (yang sah) antara Munas di Bali dan Munas di Jakarta, adalah hal yang tak terbantahkan,” katanya.
Karena memang pemerintah memiliki instrumen penguji yakni Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang partai politik dan AD/ART Partai Golkar.
Namun, ujar dia, saat Kemenkumham membentuk tim khusus untuk mempelajari berkas-berkas Partai Golkar merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap masalah internal Parpol.
“Ini sepertinya gaya pemerintahan Orde Baru yang cenderung otoriter mengendalikan Partai Politik kembali dihidupkan lagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang dimotori PDI Perjuangan yang terkenal anti Orba saat itu,” katanya.
Dosen Ilmu Politik FISIP Undana Kupang itu mengatakan di era reformasi saat ini pemerintah tidak berwenang memutus konflik partai politik. Konflik di partai politik harus diselesaikan sendiri di internal partai. Sehingga kalau pemerintahan Jokowi-JK mulai mengatur konflik Parpol maka tidak salah kalau gaya kepemimpinan Orde Baru dihidupkan lagi.
Menurut dia, tabu-nya pemerintahan melakukan intervensi terhadap persoalan internal partai politik diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 8 tentang Partai Politik, konflik di partai politik harus diselesaikan di internal partai melalui mekanisme mahkamah partai.
Karena itu, kata Deodatus, Kemenkumham yang merupakan perpanjangan tangan dari Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala diminta untuk tidak gampang mengeluarkan kebijakan yang sifatnya tidak netral.
“Harusnya Pemerintah dalam menyikapi konflik partai politik tidak boleh memosisikan diri sebagai pengadilan. Bahkan sistem peradilan di Indonesia pun tidak ada mekanisme untuk menyelesaikan konflik partai. Harus diselesaikan di internal. Jadi Kemenkumham, jagan sampai euforia atau berlebihan diawal kepemimpinannya,” katanya.
Menurut Acry Deodatus, pernyataan Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia Said Salahuddin mengingatakan pemerintah untuk tidak mencampuri urusan partai politik, termasuk menentukan keabsahan pengurus membenarkan argumen dan opini yang berkembang bahwa intervensi pemerintah terhadap Parpol seperti jaman Orde Baru.
“Mungkin kita perlu pikirkan untuk tidak lagi memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengesahkan kepengurusan parpol, karena bisa disalahgunakan,” kata Said saat menjadi pembicara seminar dalam Mukernas PPP di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, keterlibatan pemerintah dalam urusan internal parpol bisa mengancam demokrasi, karena memungkinkan pemerintah mengontrol parpol. “Partai politik seharusnya menjadi lembaga yang mandiri dan punya kedaulatan. Steril dari pengaruh pemerintah,” katanya.
Bahkan dalam hal terjadi konflik di internal parpol, kata Said, sangat mungkin pemerintah akan berpihak kepada kubu yang pro kepada pemerintah. “Yang kritis terhadap pemerintah tidak akan disahkan, begitu sebaliknya.”
Padahal, kata Said, adalah hak parpol untuk memilih bergabung dengan pemerintah atau beroposisi. Oleh karena itu, kata Said, pihak yang paling berhak menyelesaikan konflik di internal parpol adalah pengurus parpol itu sendiri, bukan pemerintah.
Jadi menurut Acry Deodatus, solusi yang mestinya ditawarkan pemerintah adalah Islah antara dua kubu yang tengah berkonflik merujuk pada mekanisme internal organisasi Partai Politik yang ada.

Artikel ini ditulis oleh:

BI Siratkan Nilai Tukar Bisa Capai Rp.16.000/USD

Jakarta, Aktual.co — Enam dari 53 perusahaan publik penyandang utang luar negeri (ULN), berpotensi insolvent (nilai utang jauh melampaui aset). Angka itu diperoleh BI dari uji stres ketahanan perusahaan jika nilai tukar Rupiah melemah hingga Rp16.000 perUSD.

Dokumen Kajian Stabilitas Keuangan yang diterbitkan BI di Jakarta, pada Minggu (14/12/2014) ini menyingkap sepanjang semester I – 2014, total ULN Indonesia naik 10,4% mencapai 248,8 miliar USD, dibanding semester I – 2013. Tercatat, ULN swasta naik signifikan melebihi ULN pemerintah. ULN swasta semester I – 2014 itu naik  14,4% menjadi US$ 153,2 miliar.

“Sebanyak 80% dari utang luar negeri swasta adalah dari lembaga non bank. Bagi korporasi, utang luar negeri merupakan sumber pembiayaan kedua terbesar setelah kredit domestik,” tulis  dokumen itu.

Hasil Assesmen mitigasi risiko pada 2.164 korporasi swasta penyandang ULN periode 2008-2013 menunjukan dampak pelemahan nilai tukar mengandung risiko lebih besar atas  perusahaan yang memiliki ULN nonafiliasi, berjangka pendek, dan berorientasi domestik. Dampak itu jauh berbeda atas perusahaan penyandang ULN afiliasi yang berjangka panjang dan berorientasi ekspor, karena tidak menyebabkan insolvent. Apalagi default (gagal bayar).

Berdasarkan integrated stress test atas kemungkinan default  oleh 271 perusahaan penyandang ULN yang disimulasikan oleh BI dengan beberapa skenario risiko pelemahan nilai tukar terhadap kredit perbankan, menunjukkan dampak itu relatif bersifat minimal.

Kendati begitu BI mengingatkan, ULN swasta menjadi salah satu sumber kerentanan ekonomi domestik. Karena begitu nilai tukar rupiah melemah atas USD, niscaya ULN pun membengkak. Krisis keuangan 1997-1998, menurut BI memberi pelajaran bahwa pelonjakan ULN swasta salah satu penyebab tekanan pada mata uang. Sehingga memperburuk stabilitas keuangan maupun  perekonomian nasional.

Nilai tukar rupiah yang terus melemah, menjadi sinyal yang wajib diperhatikan berbagai perusahaan. Terutama perusahaan penyandang ULN nonafiliasi, berjangka pendek, dan berorientasi domestik.

Direktur Komunikasi BI Peter Jacobs mengatakan Bank Sentral terus mewaspadai setiap  perkembangan ULN swasta. “Kami terus mengingatkan agar korporasi hati-hati dengan utang luar negeri. Jika rupiah melemah, nominal utangnya tentu akan bertambah,” katanya.

Untuk menekan risiko pelemahan kurs, Peter menyarankan perusahaan sebaiknya melakukan lindung nilai (hedging) segera. “Ini khususnya untuk perusahaan non bank,” ujarnya.

Dalam dokumen Kajian itu, BI tidak mengungkapkan siapa saja perusahaan penyandang ULN itu.  Apakah perusahaan swasta murni, atau BUMN. Di sisi lain, dari uji stres itu, berarti BI sesungguhnya telah mengasumsikan nilai tukar rupiah bisa jatuh melemah hingga Rp16.000 per USD.

Asumsi BI yang disiratkan BI itu wajib diamati mengingat potensi krisis di Indonesia bisa terjadi akibat kisruh politik di parlemen belum kunjung teratasi. Apalagi ketidakserasian kabinet Presiden Jokowi dengan parlemen, niscaya bisa berimplikasi ekonomi luas.

Potensi buruk itu pun masih dibarengi oleh faktor fundamental, seperti defisit perdagangan, defisit transaksi berjalan. Pembengkakan nilai defisit yang mungkin hanya bisa diatasi dengan mobilisasi utang luar negeri besar besaran. Padahal kepercayaan investor menjadi taruhan.  (dhia prekasha yoedha)

Artikel ini ditulis oleh:

BI Siratkan Nilai Tukar Bisa Capai Rp.16.000/USD

Jakarta, Aktual.co — Enam dari 53 perusahaan publik penyandang utang luar negeri (ULN), berpotensi insolvent (nilai utang jauh melampaui aset). Angka itu diperoleh BI dari uji stres ketahanan perusahaan jika nilai tukar Rupiah melemah hingga Rp16.000 perUSD.

Dokumen Kajian Stabilitas Keuangan yang diterbitkan BI di Jakarta, pada Minggu (14/12/2014) ini menyingkap sepanjang semester I – 2014, total ULN Indonesia naik 10,4% mencapai 248,8 miliar USD, dibanding semester I – 2013. Tercatat, ULN swasta naik signifikan melebihi ULN pemerintah. ULN swasta semester I – 2014 itu naik  14,4% menjadi US$ 153,2 miliar.

“Sebanyak 80% dari utang luar negeri swasta adalah dari lembaga non bank. Bagi korporasi, utang luar negeri merupakan sumber pembiayaan kedua terbesar setelah kredit domestik,” tulis  dokumen itu.

Hasil Assesmen mitigasi risiko pada 2.164 korporasi swasta penyandang ULN periode 2008-2013 menunjukan dampak pelemahan nilai tukar mengandung risiko lebih besar atas  perusahaan yang memiliki ULN nonafiliasi, berjangka pendek, dan berorientasi domestik. Dampak itu jauh berbeda atas perusahaan penyandang ULN afiliasi yang berjangka panjang dan berorientasi ekspor, karena tidak menyebabkan insolvent. Apalagi default (gagal bayar).

Berdasarkan integrated stress test atas kemungkinan default  oleh 271 perusahaan penyandang ULN yang disimulasikan oleh BI dengan beberapa skenario risiko pelemahan nilai tukar terhadap kredit perbankan, menunjukkan dampak itu relatif bersifat minimal.

Kendati begitu BI mengingatkan, ULN swasta menjadi salah satu sumber kerentanan ekonomi domestik. Karena begitu nilai tukar rupiah melemah atas USD, niscaya ULN pun membengkak. Krisis keuangan 1997-1998, menurut BI memberi pelajaran bahwa pelonjakan ULN swasta salah satu penyebab tekanan pada mata uang. Sehingga memperburuk stabilitas keuangan maupun  perekonomian nasional.

Nilai tukar rupiah yang terus melemah, menjadi sinyal yang wajib diperhatikan berbagai perusahaan. Terutama perusahaan penyandang ULN nonafiliasi, berjangka pendek, dan berorientasi domestik.

Direktur Komunikasi BI Peter Jacobs mengatakan Bank Sentral terus mewaspadai setiap  perkembangan ULN swasta. “Kami terus mengingatkan agar korporasi hati-hati dengan utang luar negeri. Jika rupiah melemah, nominal utangnya tentu akan bertambah,” katanya.

Untuk menekan risiko pelemahan kurs, Peter menyarankan perusahaan sebaiknya melakukan lindung nilai (hedging) segera. “Ini khususnya untuk perusahaan non bank,” ujarnya.

Dalam dokumen Kajian itu, BI tidak mengungkapkan siapa saja perusahaan penyandang ULN itu.  Apakah perusahaan swasta murni, atau BUMN. Di sisi lain, dari uji stres itu, berarti BI sesungguhnya telah mengasumsikan nilai tukar rupiah bisa jatuh melemah hingga Rp16.000 per USD.

Asumsi BI yang disiratkan BI itu wajib diamati mengingat potensi krisis di Indonesia bisa terjadi akibat kisruh politik di parlemen belum kunjung teratasi. Apalagi ketidakserasian kabinet Presiden Jokowi dengan parlemen, niscaya bisa berimplikasi ekonomi luas.

Potensi buruk itu pun masih dibarengi oleh faktor fundamental, seperti defisit perdagangan, defisit transaksi berjalan. Pembengkakan nilai defisit yang mungkin hanya bisa diatasi dengan mobilisasi utang luar negeri besar besaran. Padahal kepercayaan investor menjadi taruhan.  (dhia prekasha yoedha)

Artikel ini ditulis oleh:

Berita Lain