27 Desember 2025
Beranda blog Halaman 40803

PSSI Klaim Kerusuhan Suporter jadi Tanggung Jawab Klub

Jakarta, Aktual.co — Direktur Members dan Development PSSI, Budi Setiawan mengatakan bahwa, PSSI tidak punya wewenang untuk mengatur suporter secara langsung. Maka dari itu, PSSI tidak bisa disalahkan apabila terjadi kerusuhan antar suporter.

Dikatakan Budi, pihaknya sangat kecewa karena selalu dijadikan kambing hitam apabila terjadi bentrokan suporter. Padahal, yang seharusnya disalahkan adalah klub yang dibela oleh suporter yang terlibat bentrokan.

“PSSI tidak memiliki kepentingan untuk berkorelasi dengan klub. FIFA sekalipun tidak pernah membuat peraturan yang langsung mengacu kepada suporter,” tegas Budi saat menjadi pembicara dalam dikusi di Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, Kamis (11/12).

“Seharusnya yang bertanggung jawab penuh atas perilaku suporter adalah klub. Mereka (klub-klub) tidak pernah memberikan “feedback” yang baik atas apa yang sudah diberikan oleh suporter,” tambahnya.

Menurutnya, suporter sepakbola di Indonesia telah dimanfaatkan oleh klub. Mereka (suporter) tidak diberikan edukasi tentang sepakbola. Tidak diberi pengetahuan akan sejarah sepakbola dan cedereung dimanfaatkan untuk keuntungan finansial klub.

“Saya sudah sembilan tahun hidup dengan sepakbola. Setau saya, sepakbola termasuk suporter, dibangun sebagai alat perjuangan. Di Indonesia, suporter hanya dimanfaatkan untuk keuntungan semata. Suporter hanya dijadikan sebagai objek bisnis oleh klub,” sesalnya.

Artikel ini ditulis oleh:

PSSI Klaim Kerusuhan Suporter jadi Tanggung Jawab Klub

Jakarta, Aktual.co — Direktur Members dan Development PSSI, Budi Setiawan mengatakan bahwa, PSSI tidak punya wewenang untuk mengatur suporter secara langsung. Maka dari itu, PSSI tidak bisa disalahkan apabila terjadi kerusuhan antar suporter.

Dikatakan Budi, pihaknya sangat kecewa karena selalu dijadikan kambing hitam apabila terjadi bentrokan suporter. Padahal, yang seharusnya disalahkan adalah klub yang dibela oleh suporter yang terlibat bentrokan.

“PSSI tidak memiliki kepentingan untuk berkorelasi dengan klub. FIFA sekalipun tidak pernah membuat peraturan yang langsung mengacu kepada suporter,” tegas Budi saat menjadi pembicara dalam dikusi di Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, Kamis (11/12).

“Seharusnya yang bertanggung jawab penuh atas perilaku suporter adalah klub. Mereka (klub-klub) tidak pernah memberikan “feedback” yang baik atas apa yang sudah diberikan oleh suporter,” tambahnya.

Menurutnya, suporter sepakbola di Indonesia telah dimanfaatkan oleh klub. Mereka (suporter) tidak diberikan edukasi tentang sepakbola. Tidak diberi pengetahuan akan sejarah sepakbola dan cedereung dimanfaatkan untuk keuntungan finansial klub.

“Saya sudah sembilan tahun hidup dengan sepakbola. Setau saya, sepakbola termasuk suporter, dibangun sebagai alat perjuangan. Di Indonesia, suporter hanya dimanfaatkan untuk keuntungan semata. Suporter hanya dijadikan sebagai objek bisnis oleh klub,” sesalnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Hunts Point, Bukti Rasis Masih Berlaku di Amerika Serikat

Jakarta, Aktual.co —  Rasisme secara terang-terangan dan kekerasan masih terasa di negara yang mengaku demokratis seperti Amerika Serikat.
Seperti yang diceritakan Chris Arnade, dilansir dari the guardian, Seminggu setelah Barrack Obama terpilih sebagai presiden pada 2008, warga Florida di suatu bar berkata “Jika negro bisa menjadi presiden, maka saya bisa minum (wiski) lagi,” seraya melecehkan.
Chris menyebutkan, setelah mengubur ayahnya, yang menghabiskan waktu di tahun 50-60an berjuang untuk hal sipil di selatan, mendapat teror dan intimidasi. Mobilnya ditembak, diancam rumahnya akan dibakar, dan tetangga melarangnya bermain di halaman mereka. Hal inilah yang membuat Chris pindah ke New York dan bekerja di Wall Street.
Chris yang merupakan warga kulit putih, berbagi pengalamannya ketika hidup di Wall  Street. Berharap mendapat kehidupan yang lebih baik, ternyata dia mendapatkan kehidupan yang seakan ‘ditampar masa lalu’ ketika mendokumentasikan lingkungan Bronx, New York.
Di Hunts Point, Bronx, New York, tercium aroma kemiskinan yang didominasi oleh warga kulit hitam. Butuh waktu beberapa bulan untuk mempercayai keadaan yang terjadi di kota besar seperti New York. Masih terasa aroma rasis, seakan berbanding terbalik dengan undang-undang yang tertera. Di Hunts point, hukum hanya sekedar formalitas dan jauh berbeda dengan realita di lapangan. Kehidupan tak mengenakkan amat terasa dibebankan kepada warga kulit hitam.
Sebagai bangsa, (AS) memuji diri karena mampu bersaing dan melesat dibanding bangsa lain. Beragam warna kulit seperti kulit hitam dan hispanik diangkat sebagai sebuah keberhasilan untuk tidak membedakan warna kulit dan demokratis. Padahal, nyatanya tidak demikian. Kemiskinan bukanlah kegagalan warga Hunts Point, yang secara personal memiliki kemampuan dan bakat seperti orang lain. Sebaliknya, kemiskinan yang terjadi merupakan kegagalan bersama seluruh masyarakat luas.
Menurut Chris, harus melihat kasus pembunuhan gadis 15 tahun yang tak tuntas di Hunts Point, dan membuatnya berfikir betapa beruntung anak-anaknya. Selain itu, harus melihat seorang bocah yang bermimpi untuk bisa sekolah di perguruan tinggi, namun menjadi pengedar narkoba.

Artikel ini ditulis oleh:

Hunts Point, Bukti Rasis Masih Berlaku di Amerika Serikat

Jakarta, Aktual.co —  Rasisme secara terang-terangan dan kekerasan masih terasa di negara yang mengaku demokratis seperti Amerika Serikat.
Seperti yang diceritakan Chris Arnade, dilansir dari the guardian, Seminggu setelah Barrack Obama terpilih sebagai presiden pada 2008, warga Florida di suatu bar berkata “Jika negro bisa menjadi presiden, maka saya bisa minum (wiski) lagi,” seraya melecehkan.
Chris menyebutkan, setelah mengubur ayahnya, yang menghabiskan waktu di tahun 50-60an berjuang untuk hal sipil di selatan, mendapat teror dan intimidasi. Mobilnya ditembak, diancam rumahnya akan dibakar, dan tetangga melarangnya bermain di halaman mereka. Hal inilah yang membuat Chris pindah ke New York dan bekerja di Wall Street.
Chris yang merupakan warga kulit putih, berbagi pengalamannya ketika hidup di Wall  Street. Berharap mendapat kehidupan yang lebih baik, ternyata dia mendapatkan kehidupan yang seakan ‘ditampar masa lalu’ ketika mendokumentasikan lingkungan Bronx, New York.
Di Hunts Point, Bronx, New York, tercium aroma kemiskinan yang didominasi oleh warga kulit hitam. Butuh waktu beberapa bulan untuk mempercayai keadaan yang terjadi di kota besar seperti New York. Masih terasa aroma rasis, seakan berbanding terbalik dengan undang-undang yang tertera. Di Hunts point, hukum hanya sekedar formalitas dan jauh berbeda dengan realita di lapangan. Kehidupan tak mengenakkan amat terasa dibebankan kepada warga kulit hitam.
Sebagai bangsa, (AS) memuji diri karena mampu bersaing dan melesat dibanding bangsa lain. Beragam warna kulit seperti kulit hitam dan hispanik diangkat sebagai sebuah keberhasilan untuk tidak membedakan warna kulit dan demokratis. Padahal, nyatanya tidak demikian. Kemiskinan bukanlah kegagalan warga Hunts Point, yang secara personal memiliki kemampuan dan bakat seperti orang lain. Sebaliknya, kemiskinan yang terjadi merupakan kegagalan bersama seluruh masyarakat luas.
Menurut Chris, harus melihat kasus pembunuhan gadis 15 tahun yang tak tuntas di Hunts Point, dan membuatnya berfikir betapa beruntung anak-anaknya. Selain itu, harus melihat seorang bocah yang bermimpi untuk bisa sekolah di perguruan tinggi, namun menjadi pengedar narkoba.

Artikel ini ditulis oleh:

Diduga Terlibat Korupsi, Kejagung Didesak Periksa Djan Faridz

Jakarta, Aktual.co — Sejumlah mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya Gerakan Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (GEMA NTT), menggeruduk gedung Kejaksaan Agung, Kamis (11/12). Dalam aksinya para mahasiswa meminta Kejagung memproses Mantan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz.
Dalam orasinya koordinator aksi, Irwan menegaskan, jaksa harusnya juga menetapkan Djan Faridz sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam proyek Pembangunan Rumah Pengungsi Eks Warga Timor Leste.
“Pada tahun 2013 ada perencanaan pembangunan rumah untuk warga eks Timor Leste dan tidak tanggung-tanggung Kemenpera waktu itu membangun 8.727 unit rumah dengan anggaran 1,4 triliun anggaran APBN. Namun sampai saat ini, pembangunan rumah yang tersebar di 8 Kabupaten di Provinsi NTT tersebut terbengkalai,” tegas Irwan kepda wartawan di Kejaksaan Agung.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi NTT menyidik adanya dugaan korupsi proyek pengadaan rumah tersebut dan menetapkan beberapa orang diantaranya kontraktor, kepala-kepala Satker Kemenpera RI serta pejabat di lingkungan Kemenpera RI.
“Langkah ini layak untuk diapresiasi, tetapi penyidikan kasus ini sepertinya jalan di tempat. Dana APBN triliuan tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab menteri terkait dalam hal ini adalah Menpera RI waktu itu, Djan Faridz,” ujarnya.
Atas itulah, GEMA NTT meminta Kejagung menuntaskan kasus dugaan korupsi pembangunan rumah pengungsi eks warga Timor Leste di NTT tersebut sampai ke akar-akarnya termasuk dugaan keterlibatan Djan Faridz.
“Kami menuntut Kejagung mensupervisi, mengawasi penyidikan yang sedang disidik oleh Kejati NTT. Jangan sampai penyidikan ini jalan ditempat apalagi berhenti,” tutupnya.
Pantauan Aktual.co, mahasiswa dalam gelaran unjukrasanya melengkapi diri dengan spanduk dan poster yang dibentangkan persis depan gerbang utama Kejagung. Aparat kepolisian pun berjaga untuk mengamankan demo yang berlangsung damai itu.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby

Diduga Terlibat Korupsi, Kejagung Didesak Periksa Djan Faridz

Jakarta, Aktual.co — Sejumlah mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya Gerakan Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (GEMA NTT), menggeruduk gedung Kejaksaan Agung, Kamis (11/12). Dalam aksinya para mahasiswa meminta Kejagung memproses Mantan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz.
Dalam orasinya koordinator aksi, Irwan menegaskan, jaksa harusnya juga menetapkan Djan Faridz sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam proyek Pembangunan Rumah Pengungsi Eks Warga Timor Leste.
“Pada tahun 2013 ada perencanaan pembangunan rumah untuk warga eks Timor Leste dan tidak tanggung-tanggung Kemenpera waktu itu membangun 8.727 unit rumah dengan anggaran 1,4 triliun anggaran APBN. Namun sampai saat ini, pembangunan rumah yang tersebar di 8 Kabupaten di Provinsi NTT tersebut terbengkalai,” tegas Irwan kepda wartawan di Kejaksaan Agung.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi NTT menyidik adanya dugaan korupsi proyek pengadaan rumah tersebut dan menetapkan beberapa orang diantaranya kontraktor, kepala-kepala Satker Kemenpera RI serta pejabat di lingkungan Kemenpera RI.
“Langkah ini layak untuk diapresiasi, tetapi penyidikan kasus ini sepertinya jalan di tempat. Dana APBN triliuan tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab menteri terkait dalam hal ini adalah Menpera RI waktu itu, Djan Faridz,” ujarnya.
Atas itulah, GEMA NTT meminta Kejagung menuntaskan kasus dugaan korupsi pembangunan rumah pengungsi eks warga Timor Leste di NTT tersebut sampai ke akar-akarnya termasuk dugaan keterlibatan Djan Faridz.
“Kami menuntut Kejagung mensupervisi, mengawasi penyidikan yang sedang disidik oleh Kejati NTT. Jangan sampai penyidikan ini jalan ditempat apalagi berhenti,” tutupnya.
Pantauan Aktual.co, mahasiswa dalam gelaran unjukrasanya melengkapi diri dengan spanduk dan poster yang dibentangkan persis depan gerbang utama Kejagung. Aparat kepolisian pun berjaga untuk mengamankan demo yang berlangsung damai itu.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby

Berita Lain