Jakarta, Aktual.co — Film “Tears & Blood Behind Made in China” (Air Mata dan Darah di balik Produk Tiongkok) menyoroti produk murah buatan negeri komunis itu yang dihasilkan oleh para pekerja paksa di balik jeruji kamp tahanan.
“Setelah pemutaran film ini terdapat gambaran apa yang terjadi di Tiongkok sana. Ini akan bermanfaat untuk kita bahwa terjadi pelanggaran HAM di Laogai (penjara kerja paksa). Lebih dari itu, terjadi pembohongan terhadap konsumen di seluruh dunia terkait produk murah
Tiongkok yang dibuat dari tangan para pekerja paksa,” kata Lisa (perempuan, 35 tahun) yang menjadi salah satu korban kerja paksa seusai pemutaran film “Tears & Blood Behind Made in China” di Pusat Kebudayaan Rusia, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (06/12).
Dari film tersebut disampaikan terdapat setidaknya 300 Laogai dengan 80 persennya diisi tahanan dari praktisi Falun Gong. Sementara sisanya merupakan Muslim Uighur/Xinjiang, pecandu narkoba, pelacur dan tahanan lainnya.
Falun Gong yang terus tumbuh, kata Lisa, justru dianggap mengancam komunisme yang menjadi paham negara Tiongkok. Dia tidak habis pikir mengapa pemerintahannya dengan tangan polisi menangkapi, memenjara tanpa peradilan dan memaksa bekerja dengan upah rendah para praktisi Falun Gong.
Terdapat sekitar 15 jenis siksaan bagi para pekerja paksa apabila mereka dianggap tidak patuh terhadap aturan di dalam Laogai. Di antaranya disengat listrik, dipukuli, dicabuli dan jenis siksaan lainnya.
Siksaan itu juga ditujukan untuk mencuci otak para tahanan agar mengikuti ideologi komunisme Tiongkok. Praktek kerja paksa atau Laogai di Tiongkok sendiri telah berlangsung lama atau sejak 1950-an saat Mao Zedong berkuasa.
Kerja paksa diterapkan sesuai amanat konstitusi negara itu untuk menyingkirkan pelaku kriminal sampai musuh-musuh politik Beijing. Laogai dapat menjerat pelaku hingga empat tahun penjara tanpa pengadilan.
Jenis hukuman tersebut kerap mengundang kritik dari para aktivis HAM terutama dari Barat. Tiongkok sendiri belum kunjung menghapus sistem Laogai itu meski kerap menyatakan akan mereformasi sistem hukuman tersebut.
Lisa membenarkan terjadinya sejumlah peristiwa di dalam film “Tears & Blood Behind Made in China” lantaran dirinya sempat ditahan selama empat tahun empat bulan di kamp kerja paksa Tiongkok.
Lisa seharusnya hanya ditahan selama empat tahun. Tapi dirinya mengaku penahanannya diperpanjang empat bulan.
“Dengan bayaran tak seberapa, sekitar 10 yuan (setara Rp20 ribu) per bulan, kami dipaksa bekerja sampai 21 jam setiap hari sepanjang tahun,” katanya.
Lisa menceritakan dirinya bersama tahanan lain memproduksi berbagai produk di Laogai itu, seperti pernak-pernik pohon natal, mainan dan produk lain yang biasanya menjadi komoditas ekspor Tiongkok.
Produk-produk ekspor tersebut juga diyakininya mendatangkan devisa serta menopang perekonomian nasional Negeri Tirai Bambu. Sementara itu pekerja paksa seperti dirinya tidak mendapatkan apa-apa selain bayaran kecil, penyiksaan dan tindakan diskriminatif lainnya.
Lisa mengatakan dirinya bersama sekitar 65 ribu praktisi spiritual Falun Gong telah ditangkap oleh pemerintah Tiongkok. Kini dia telah berhasil lari dari Tiongkok dan sedang mencari suaka. Sementara itu, nahas bagi ibu dan kakak Lisa telah meninggal akibat disiksa di Logai.
Artikel ini ditulis oleh: