28 Desember 2025
Beranda blog Halaman 83

Soal RUU Hak Cipta, Habib Syarief: Pentingnya Perlindungan Identitas Personal di Era Digital

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKB, Habib Syarief Muhammad. Aktual/TINO OKTAVIANO

Jakarta, aktual.com – Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKB, Habib Syarief Muhammad, menyampaikan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hak Cipta di Badan Legislasi (Baleg) menghadirkan terobosan penting melalui pengakuan dan pengaturan Right of Publicity atau Hak Atas Publisitas.

Regulasi ini dinilai sebagai jawaban atas meningkatnya risiko penyalahgunaan identitas individu di tengah perkembangan teknologi digital.

Right of Publicity merupakan hak eksklusif individu atas penggunaan komersial nama, wajah, suara, tanda tangan, atau elemen identitas personal lainnya. Hak ini berbeda dari hak cipta tradisional karena fokusnya bukan pada karya, tetapi pada nilai ekonomi dan integritas identitas seseorang.

Habib menegaskan, di era teknologi kecerdasan buatan dan replikasi digital, pertanyaan mengenai apakah seseorang memiliki kedaulatan penuh atas citra dirinya bukan lagi isu retoris, melainkan kebutuhan hukum yang mendesak.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebenarnya memuat perlindungan terkait “Potret”.

“Saya melihat pengaturan ini belum menyentuh inti dari Right of Publicity, khususnya terkait eksploitasi komersial identitas personal yang bukan merupakan ciptaan dalam pengertian konvensional,” kata Habib melalui keterangan yang diterima, Senin (08/12/2025).

Politisi Senior PKB tersebut mengatakan bila Kekosongan hukum ini dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama saat identitas seseorang digunakan secara masif di ruang digital.

Dalam draf RUU Hak Cipta terbaru, Right of Publicity ditegaskan sebagai hak eksklusif yang mensyaratkan persetujuan tertulis dari individu atau ahli waris untuk setiap penggunaan komersial identitas mereka, termasuk foto, potret, dan representasi digital seperti deepfake.

Tak hanya itu, RUU ini juga mengatur Post-Mortem Right of Publicity, yaitu perlindungan identitas seseorang setelah meninggal dunia. Aturan ini merespons realitas bahwa nilai komersial identitas sering tetap bertahan bahkan setelah kematian.

Habib mencontohkan kasus Robin Williams, yang membatasi penggunaan identitasnya hingga 25 tahun setelah kematian melalui surat wasiat—langkah yang kini menjadi rujukan global dalam menghadapi risiko manipulasi digital.

“Saya rasa perlindungan identitas nasional harus jadi perhatian terutama di era digital,” katanya.

Habib turut menyoroti contoh terbaru penyalahgunaan identitas melalui teknologi deepfake seperti yang dialami aktor Bruce Willis.

Pada 2021, wajah Willis direplikasi secara digital dalam iklan komersial di Rusia tanpa kesepakatan menyeluruh terkait hak citra sang aktor.

“Kasus seperti ini menunjukkan urgensi perlindungan Right of Publicity. Teknologi memungkinkan penciptaan replika yang sangat meyakinkan tanpa kontrol pemilik identitas,” ujar Habib.

RUU Hak Cipta menegaskan bahwa setiap penggunaan komersial potret atau representasi digital yang dapat dikenali wajib mendapat persetujuan tertulis, sehingga memberikan benteng hukum bagi masyarakat.

Habib menilai pengaturan Right of Publicity dalam RUU Hak Cipta merupakan tonggak monumental bagi arsitektur hukum Indonesia. Regulasi ini dinilai proaktif menghadapi perkembangan teknologi sekaligus memperkuat perlindungan martabat individu.

“Dengan pengakuan hak ini, Indonesia tidak hanya mengejar praktik internasional, tetapi juga menempatkan diri sebagai negara yang menjunjung tinggi kedaulatan identitas digital warganya,” tegasnya.

Habib berharap pembahasan RUU Hak Cipta dapat segera rampung sehingga memberikan kepastian hukum, mencegah eksploitasi tanpa izin, dan menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang adil.

“Setiap warga negara, dari seniman hingga tokoh masyarakat, berhak mengendalikan narasi dan nilai ekonomi dari identitasnya,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano

Rapat Paripurna DPR Sahkan RUU Penyesuaian Pidana Jadi UU

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad saat memimpin rapat paripurna di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (8/12/2025). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad saat memimpin rapat paripurna di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (8/12/2025). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)

Jakarta, aktual.com – Rapat Paripurna Ke-10 DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyesuaian Pidana untuk kemudian disahkan menjadi Undang-Undang (UU).

“Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Penyesuaian Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang,” kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad saat memimpin rapat paripurna yang dijawab setuju oleh seluruh Anggota DPR RI yang hadir di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (8/12).

Adapun persetujuan itu terjadi setelah seluruh fraksi partai politik menyetujui RUU tersebut. RUU tersebut dibahas oleh Komisi III DPR RI dan perancangannya sudah selesai di tingkat pertama.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Dede Indra Permana mengatakan pembahasan RUU tersebut diawali pada 24 November 2025, dengan melaksanakan rapat kerja dengan pemerintah untuk mendengar penjelasan Presiden dan membentuk panitia kerja (Panja).

“Dalam proses pembahasan, aspirasi publik melalui rapat dengar pendapat sebagai bagian dari partisipasi masyarakat,” kata Dede.

Selanjutnya, dia menyampaikan Panja melakukan pembahasan intensif bersama pemerintah dan menyelesaikan daftar inventarisasi masalah (DIM), membahas pasal demi pasal, kemudian menyerahkan perumusan teknis kepada Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin), lalu laporan akhir Timus dan Timsin disampaikan kepada Panja pada 2 Desember 2025.

“Dalam rapat kerja tingkat satu, seluruh fraksi menyampaikan pandangan dan menyetujui RUU Penyesuaian Pidana untuk dilanjutkan ke pembicaraan tingkat dua,” kata dia.

Adapun dia menjelaskan pertimbangan utama penyusunan RUU Penyesuaian Pidana itu adalah, yang pertama, kebutuhan harmonisasi hukum pidana agar konsisten, adaptif, dan responsif terhadap perkembangan sosial serta menghindari disharmoni pengaturan pidana lintas undang-undang dan peraturan daerah.

Yang kedua, mandat Pasal 613 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mewajibkan penyesuaian seluruh ketentuan pidana di luar KUHP, dengan sistem kategori pidana denda baru.

Yang ketiga, penghapusan pidana kurungan sebagai pidana pokok dalam KUHP Nasional sehingga seluruh pidana kurungan dalam berbagai undang-undang dan Perda harus dikonversi.

Yang keempat, penyempurnaan beberapa ketentuan KUHP Nasional akibat kesalahan redaksi, kebutuhan penjelasan, dan penyesuaian terhadap pola perumusan baru yang tidak lagi menggunakan minimum khusus dan pemidanaan kumulatif.

Yang kelima, urgensi penyesuaian berlakunya KUHP Nasional pada 2 Januari 2026 untuk mencegah ketidakpastian hukum, tumpang tindih aturan, dan disparitas pidana.

“Kami menyampaikan penghargaan kepada seluruh Anggota Komisi III, pemerintah, tim ahli, Sekretariat Komisi III, Pusat Perancangan Undang-Undang, Pusat Analisis Legislatif, serta seluruh pihak yang mendukung penyelesaian RUU ini,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

DPR Sebut Proses Pencopotan Bupati Aceh Selatan Dilakukan Melalui DPRD

Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (8/12/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi
Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (8/12/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi

Jakarta, aktual.com – Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan bahwa proses pencopotan Bupati Aceh Selatan Mirwan MS dari jabatannya akan dijalankan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.

Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan representasi rakyat dalam konteks mengawasinya itu ada di DPRD.

Dalam hal itu, kata Rifqinizamy di Jakarta, Senin (8/12), Komisi II DPR akan mengawal hal tersebut dari sisi Inspektorat Kementerian Dalam Negeri.

“Saya kira proses politik pasti akan berjalan, bayangkan Partai Gerindra yang merupakan partai pengusung dan tempat asal dari beliau saja sudah mencopot. Saya yakin pasti partai-partai politik juga memiliki sense of politics dan sense of humanity terkait dengan ini,” kata Rifqinizamy di kompleks parlemen, Jakarta.

Ia menjelaskan apabila nantinya Kementerian Dalam Negeri akan memberi sanksi kepada Bupati Aceh Selatan, proses politik di daerah tersebut juga akan berjalan.

Rifqi, sapaan akrabnya, enggan berkomentar lebih jauh mengenai perilaku Bupati Aceh Selatan tersebut karena Kementerian Dalam Negeri yang akan menentukan.

“Pantas atau tidak pantas kita tunggu hasil dari Irjen (Inspektur Jenderal Kemendagri, red). Jadi, biar kita semua basisnya adalah bukti dan objektivitas,” katanya.

Ia menambahkan bahwa sanksi yang bisa diberikan Kemendagri adalah pencopotan sementara dengan tidak bertugas selama waktu yang ditentukan.

Pada saat itu, kepala daerah tersebut bakal menjalani edukasi dan pembinaan agar tidak lagi mengulangi kesalahannya.

Namun, Rifqi tak menampik bahwa kepala daerah tersebut bisa dicopot secara definitif atau diturunkan dari jabatannya karena undang-undang pun mengatur hal itu.

Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto menyinggung sikap Bupati Aceh Selatan Mirwan MS yang melakukan ibadah umrah saat daerahnya terdampak bencana banjir bandang dan longsor.

Meskipun sambil tertawa kecil seolah berkelakar, Presiden Prabowo memberi peringatan tegas kepada kepala daerah yang ingin “melarikan diri” saat terjadi bencana.

Namun demikian, Prabowo meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang juga hadir dalam rapat tersebut untuk mengambil langkah tegas kepada Mirwan.

“Kalau yang mau lari, lari aja, enggak apa-apa. Copot langsung. Mendagri bisa ya diproses ini? Bisa ya?” tanya Prabowo kepada Mendagri dalam rapat koordinasi di Posko Terpadu Penanganan Bencana di Pangkalan Udara TNI AU (Lanud) Sultan Iskandar Muda, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (7/12) malam.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Purbaya Ungkap Strategi Tutup Defisit 2026 lewat Bea Keluar Batu Bara dan Emas Rp 23 Triliun

Jakarta, Aktual.com — Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menargetkan penerimaan negara sebesar Rp23 triliun pada 2026 melalui penerapan bea keluar untuk komoditas batu bara dan emas. Kebijakan ini disiapkan sebagai langkah memperkuat penerimaan negara sekaligus mendorong hilirisasi serta dekarbonisasi sektor pertambangan.

Purbaya menjelaskan bahwa mekanisme bea keluar tersebut tengah difinalisasi lintas Kementerian/Lembaga. “Emas Rp3 triliun setahun, batu bara Rp20 triliun,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (8/12/2025).

Ia menilai tambahan penerimaan dari dua komoditas itu diperlukan untuk membantu menutup potensi defisit anggaran tahun 2026. Salah satu dasar kebijakan adalah proyeksi turunnya Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang diprediksi berada pada kisaran 95–100 dolar AS per ton tahun depan.

“Proyeksi tahun 2026 menunjukkan bahwa HBA kemungkinan bergerak pada kisaran 95 sampai dengan 100 dolar AS per ton,” jelasnya.

Selain batu bara, pemerintah juga akan memberlakukan bea keluar pada ekspor emas. Purbaya menegaskan bahwa ekspor emas dengan kadar di bawah 99 persen tidak akan diizinkan bila belum melalui proses pemurnian di dalam negeri.

Ia juga memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak akan menurunkan daya saing batu bara Indonesia. “Sebelum 2020, tanpa restitusi besar pun, industri batu bara kita tetap bisa bersaing di pasar internasional,” tegasnya.

Lebih lanjut, Menkeu menambahkan bahwa penerimaan dari bea keluar batu bara dan emas akan diarahkan untuk mendukung program-program nasional serta mengurangi ketergantungan Indonesia pada ekspor bahan mentah.

(Nur Aida Nasution)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

KLH Panggil 4 dari 8 Perusahaan yang Beraktivitas di DAS Batang Toru

Tangkapan layar Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq. ANTARA/Muhammad Baqir Idrus Alatas
Tangkapan layar Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq. ANTARA/Muhammad Baqir Idrus Alatas

Jakarta, aktual.com – Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah memanggil empat dari delapan perusahaan yang beraktivitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru pada Senin (8/12), untuk memeriksa potensi kontribusi aktivitas usaha terhadap banjir dan longsor di wilayah tersebut.

“Ya, hari ini delapan perusahaan dipanggil secara bergantian. Hari ini empat perusahaan, besok empat perusahaan, yang memiliki persetujuan lingkungan di dalam Daerah Aliran Sungai Batang Toru,” kata Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq menjawab pertanyaan wartawan usai pelepasan bantuan pasca-bencana dan penyerahan bantuan sarana prasarana pengelolaan sampah di Jakarta, Senin (8/12).

Delapan perusahaan yang dipanggil untuk memberikan keterangan kepada Deputi Penegakan Hukum (Gakkum) KLH/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) termasuk PT AR yang bergerak di bidang pertambangan.

Kemudian terdapat PT TPL, PT TN/PT SNP dan PT MST yang bergerak di sektor kehutanan, termasuk pemilik izin konsesi hutan, PTPN III yang bergerak di bidang perkebunan, serta PT NSHE, PT PJMHP, dan PT SGI yang merupakan pengelola proyek energi baru terbarukan.

Sebelumnya Menteri LH Hanif sudah memerintahkan penghentian sementara operasi empat perusahaan di DAS Batang Toru termasuk perusahaan sawit, tambang, pembangkit listrik, dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Penghentian sementara dilakukan untuk melakukan audit lingkungan.

“Hari ini sedang dievaluasi semua. Kemudian yang empat diantaranya, kita lakukan penghentian operasional. Karena disinyalir berkontribusi cukup besar di dalam banjir di Batang Toru,” tutur Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq.

Sebelumnya, Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH/BPLH Rizal Irawan dalam pernyataan resmi menjelaskan bahwa hasil pantauan udara menunjukkan adanya pembukaan lahan masif yang memperbesar tekanan pada DAS.

“Dari overview helikopter, terlihat jelas aktivitas pembukaan lahan untuk PLTA, hutan tanaman industri, pertambangan, dan kebun sawit. Tekanan ini memicu turunnya material kayu dan erosi dalam jumlah besar. Kami akan terus memperluas pengawasan ke Batang Toru, Garoga, dan DAS lain di Sumatera Utara,” kata Rizal Irawan.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Urgensi Amandemen Kelima UUD 1945, Kembalikan Kedaulatan kepada Rakyat

Rinto Setiyawan, Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP*

PERDEBATAN tentang perlunya Amandemen Kelima UUD 1945 bukan sekadar wacana akademik atau ambisi politik segelintir kelompok. Di balik gagasan ini, ada kegelisahan mendasar: negara yang sejatinya milik rakyat, kian hari terasa menjauh dari pemilik kedaulatan itu sendiri. Kedaulatan rakyat yang dahulu ditegaskan secara terang dalam naskah asli UUD 1945, kini lebih banyak hidup sebagai slogan, bukan sebagai kenyataan dalam praktik ketatanegaraan.

  1. Mengembalikan Kedaulatan kepada Rakyat, Bukan kepada Oligarki

Dalam naskah asli UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) jelas menyebut bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Rumusan ini menegaskan bahwa ada “rumah bersama” tempat kedaulatan rakyat dijalankan secara kolektif melalui permusyawaratan. Setelah amandemen, frasa “dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dihapus dan diganti menjadi “dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Sepintas tampak rapi dan modern, tetapi pada praktiknya, pelaksanaan kedaulatan menjadi kabur: siapa sebenarnya pelaksana utama kedaulatan rakyat?

Dalam sistem sekarang, partai politik dan eksekutif menjadi gerbang utama segala akses kekuasaan. Rakyat memang memilih secara langsung, tetapi pilihan itu sudah disaring ketat oleh mekanisme partai. Demokrasi pemilu berjalan, namun kedaulatan rakyat dipersempit menjadi ritual lima tahunan di bilik suara. Politik uang, dominasi media, dan transaksi kekuasaan justru tumbuh subur. Di titik inilah Amandemen Kelima menjadi penting untuk mengembalikan kejelasan arsitektur kedaulatan rakyat: rakyat sebagai pemilik, MPR sebagai mandatarisnya.

MPR perlu direformulasi ulang, bukan sebagai “lembaga biasa”, tetapi sebagai representasi utuh bangsa: cendekiawan, pemuka agama, TNI-Polri, budayawan, perwakilan daerah, adat, kerajaan/keraton, dan profesi. Dengan begitu, kedaulatan rakyat tidak hanya diwakili oleh elite partai, tetapi oleh kekuatan moral, intelektual, dan kultural bangsa secara menyeluruh.

  1. Menyempurnakan Amanat Proklamasi 1945

Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan hanya pernyataan merdeka, tetapi juga perintah untuk memindahkan kekuasaan dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Secara formal, pengakuan kedaulatan memang terjadi setelah KMB tahun 1949. Namun secara substansial, distribusi kekuasaan di dalam negeri belum pernah benar-benar “seksama”.

Hari ini, Presiden memegang konsentrasi kekuasaan yang sangat besar: mengangkat dan memberhentikan banyak pejabat tinggi, mempengaruhi lembaga penegak hukum, dan mengeluarkan berbagai kebijakan strategis. Jika tidak diawasi secara memadai, ini melahirkan apa yang bisa disebut sebagai “absolutisme terselubung”. Amandemen Kelima diperlukan untuk menyempurnakan amanat Proklamasi: memastikan kekuasaan tidak tersentral di satu tangan, tetapi tersebar, diawasi, dan dipertanggungjawabkan secara jelas di hadapan rakyat.

Termasuk di dalamnya, menghadirkan kembali unsur adat, kerajaan, dan keraton Nusantara dalam MPR sebagai simbol bahwa kedaulatan negara ini bersandar bukan hanya pada struktur modern, tetapi juga pada warisan sejarah dan nilai kultural yang selama ini menjadi penopang kehidupan berbangsa.

  1. Memisahkan Secara Tegas antara Negara dan Pemerintah

Salah satu kelemahan mendasar sistem sekarang adalah tercampurnya konsep “negara” dan “pemerintah”. Presiden memegang dua peran sekaligus: Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam logika organisasi modern, ini problematis. Pemilik dan pelaksana tugas seharusnya dibedakan: pemilik menetapkan arah dan mengawasi, pelaksana menjalankan mandat.

Amandemen Kelima menawarkan penegasan: negara sebagai pemilik kedaulatan diwakili oleh MPR, sedangkan Presiden difokuskan sebagai kepala pemerintahan. MPR, bersama lembaga tinggi negara lain, menjalankan fungsi perlindungan terhadap rakyat, sementara Presiden mengatur dan melayani rakyat lewat kebijakan dan administrasi pemerintahan sehari-hari.

Dengan pemisahan ini, fungsi negara dapat dipahami dalam tiga ranah besar: melindungi, mengatur, dan melayani rakyat. Pemerintah tidak lagi merasa “memiliki” negara, melainkan menjadi penyelenggara mandat yang sewaktu-waktu dapat dikoreksi dan diatur ulang oleh pemilik kedaulatan, yakni rakyat melalui MPR.

  1. Mengembalikan Pancasila sebagai Nafas, Bukan Sekadar Hiasan

Sejak amandemen-amandemen sebelumnya, jarak antara praktik kekuasaan dan nilai Pancasila kian melebar. Banyak produk undang-undang dan kebijakan publik yang terasa lebih tunduk pada logika pasar dan kepentingan jangka pendek ketimbang pada keadilan sosial, gotong royong, dan persatuan. MPR yang dulu menjadi mandataris rakyat dan penjaga arah negara, justru diposisikan sejajar dengan lembaga lain dan kehilangan fungsi strategisnya.

Akibatnya, lahir apa yang dirasakan rakyat sebagai “penjajahan regulasi”: aturan dibuat bukan untuk melindungi, tetapi untuk melegalkan perampasan hak dan kekayaan negara secara sah menurut prosedur, walaupun bertentangan dengan rasa keadilan. Amandemen Kelima diperlukan untuk mengembalikan Pancasila sebagai sumber etika, arah kebijakan, dan roh konstitusional yang hidup.

Artinya, setiap kebijakan dan produk hukum harus diuji konsistensinya dengan sila-sila Pancasila, bukan hanya dicocokkan dengan kepentingan politik sesaat. Hukum harus kembali menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan. Negara harus kembali dipahami sebagai alat rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan sebagai panggung perebutan rente di antara elite.

Penutup

Urgensi Amandemen Kelima UUD 1945 terletak pada satu persoalan pokok: kita ingin tetap memelihara demokrasi yang dangkal dan prosedural, atau kita berani kembali kepada kedaulatan rakyat yang substantif? Amandemen Kelima bukan ajakan mundur ke masa lalu, melainkan upaya memulihkan roh asli konstitusi: rakyat sebagai pemilik kedaulatan, Pancasila sebagai pedoman hidup, MPR sebagai mandataris rakyat, dan Presiden sebagai pelaksana mandat, bukan pemilik negara.

Tanpa keberanian merombak desain ketatanegaraan secara jujur dan mendasar, berbagai krisis keadilan, hukum, dan ekonomi yang dirasakan rakyat hari ini hanya akan berputar dalam siklus yang sama. Amandemen Kelima adalah tawaran untuk memutus siklus itu dan memberi kesempatan baru bagi republik ini untuk benar-benar kembali ke pangkuan rakyatnya.

File Naskah Akademik dan Rancangan Amandemen Kelima UUD 1945, telah dipersembahkan dari Sekolah Negarawan kepada seluruh rakyat Indonenesia. Dokumen tersebut dapat diunduh melalui: https://ebook.sekolahnegarawan.id/

*Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

Berita Lain