28 Desember 2025
Beranda blog Halaman 92

Kasus Digitalisasi SPBU, KPK Selidiki Dugaan Korupsi di PT Len Industri

Gedung PT Len Industri. Foto: Ist

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi di PT Len Industri (Persero).

“Masih penyelidikan,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (5/12/2025).

Ketika dikonfirmasi mengenai pemanggilan dua pegawai Len pada 3 Desember 2025, Asep mengatakan KPK masih menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia yang bergerak di bidang elektronika untuk industri dan prasarana itu sehingga belum dapat menjelaskan materi pemeriksaan terhadap mereka.

Sementara ketika ditanya penyelidikan tersebut berkaitan dengan penyidikan dugaan korupsi dalam pengadaan digitalisasi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di PT Pertamina (Persero) periode 2018–2023, Asep merespons dengan singkat.

“Betul,” kata Asep.

Adapun Direktur Utama PT Len tahun 2021-2025 yang saat ini menjabat Dirut PT Kereta Api Indonesia (Persero), Bobby Rasyidin, sempat dipanggil sebagai saksi kasus digitalisasi SPBU pada 14 dan 28 Agustus 2025.

Namun, yang bersangkutan belum memenuhi panggilan tersebut.

Sebelumnya, KPK mengungkapkan mulai melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait proyek digitalisasi SPBU di Pertamina periode 2018–2023, dengan memanggil sejumlah saksi pada 20 Januari 2025.

Pada tanggal yang sama, KPK mengungkapkan kasus tersebut telah naik dari tahap penyelidikan ke penyidikan sejak September 2024.

Selain itu, KPK juga mengungkapkan telah menetapkan tersangka kasus tersebut, tetapi belum memberitahukan jumlahnya.

KPK baru mengumumkan jumlah tersangka kasus tersebut pada 31 Januari 2025, yakni tiga orang.

Pada 28 Agustus 2025, KPK mengungkapkan penyidikan kasus digitalisasi SPBU telah memasuki tahap akhir dan sedang menghitung kerugian keuangan negaranya bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Pada 6 Oktober 2025, KPK mengumumkan salah satu tersangka kasus digitalisasi SPBU sama dengan tersangka kasus dugaan korupsi dalam pengadaan mesin “electronic data capture” (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia atau BRI (Persero) pada tahun 2020–2024, yakni Elvizar (EL).

Elvizar merupakan Direktur PT Pasifik Cipta Solusi (PCS) saat kasus digitalisasi SPBU dan Direktur Utama PCS di kasus mesin EDC.

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi

Tim Kuasa Hukum Tegaskan Keputusan PGN–IAE Merupakan Kebijakan Bisnis Kolektif

Jakarta, aktual.com – Tim Kuasa Hukum Danny Praditya melalui juru bicara FX L. Michael Shah menyampaikan perkembangan terbaru persidangan perkara Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Inti Alasindo Energy (IAE)/Isargas Group.

Menurut Michael, rangkaian sidang pada awal Desember 2025 membuat konteks perkara ini semakin jelas. Fakta-fakta yang muncul di persidangan, kata dia, justru menguatkan bahwa kerja sama PGN–IAE adalah keputusan bisnis kolektif direksi yang diambil dalam mekanisme korporasi dan koridor regulasi, bukan keputusan individu.

Pada sidang 4 Desember 2025, pembuktian perkara mendapat penguatan dari sisi tata kelola BUMN dan hukum perjanjian. Dari perspektif BUMN, Anas Puji Istanto (Asisten Deputi Bidang Peraturan Perundang – Undangan menegaskan bahwa keputusan strategis direksi di BUMN pada prinsipnya lahir dari mekanisme kolektif-kolegial melalui rapat dan organ perseroan yang berlandaskan Good Corporate Governance (GCG). Karena itu, pertanggungjawaban atas kebijakan korporasi tidak bisa otomatis diarahkan kepada satu orang, kecuali ada bukti kuat bahwa keputusan tersebut benar-benar berdiri sebagai tindakan personal.

Sementara dari sisi hukum perjanjian, Dr. Fully Handayani Ridwan, S.H.,M.Kn menegaskan prinsip kebebasan berkontrak dan syarat sah perjanjian sesuai Pasal 1320 KUHPerdata, serta doktrin bahwa kontrak yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Dalam kerangka itu, interpretasi perjanjian tidak dapat ditarik keluar dari maksud perikatan para pihak tanpa dasar mekanisme hukum yang tepat.

Fully juga menyoroti bahwa struktur kerja sama PGN–IAE sejak awal sudah memuat perangkat mitigasi risiko. Fidusia dan Parent Company Guarantee (PCG) disebut sebagai jaminan tambahan yang pada prinsipnya dapat dieksekusi melalui jalur perdata.

Jaminan tambahan, menurutnya, tidak hanya terbatas pada aset fisik, tetapi juga dapat mempertimbangkan nilai bisnis. Ia juga merujuk Pasal 1820 KUHPerdata bahwa penjamin memiliki kewajiban tanggung renteng terhadap kewajiban pihak yang dijamin.

Bagi tim kuasa hukum, keterangan Anas dan Fully saling mengunci pesan yang sama: perkara ini bertumpu pada mekanisme keputusan kolektif dan kontrak bisnis yang memiliki jaminan serta instrumen pemulihan, sehingga tidak tepat disederhanakan sebagai keputusan personal yang otomatis dipidanakan.

Sebelumnya, pada sidang 1 Desember 2025, dua saksi dari IAE/Isargas, Sofwan dan Wahid Hasyim, menegaskan bahwa Isargas memiliki pasokan gas, membangun infrastruktur dan siap mengalirkannya. Mereka menyatakan kerja sama dengan PGN adalah murni transaksi jual beli gas, bukan transaksi fiktif. Dalam keterangan yang dirangkum kuasa hukum, advance payment US$ 15 juta juga ditempatkan sebagai “deal business” untuk menjamin pasokan dan hubungan jangka panjang, bukan skema pembiayaan terselubung.

Michael menyebut keterangan ini penting karena menegaskan bahwa kerja sama memiliki objek yang nyata dan rasional secara bisnis.Risiko Kriminalisasi Keputusan Bisnis BUMN Seiring bergulirnya perkara ini, perdebatan publik mengenai kriminalisasi keputusan bisnis di BUMN semakin menguat. Dalam konteks itu, tim kuasa hukum mengingatkan bahwa direksi BUMN pada prinsipnya menjalankan fiduciary duty untuk menjaga kinerja perusahaan dan kontribusinya terhadap negara, termasuk ketika harus mengambil keputusan bisnis yang mengandung risiko.

Tim kuasa hukum menegaskan, risiko kontraktual dan dinamika implementasi bisnis tidak bisa serta-merta diposisikan sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Jika setiap risiko bisnis langsung dibaca sebagai tindak pidana korupsi tanpa pembedaan yang jelas, maka akan muncul ketakutan baru di kalangan manajemen BUMN untuk mengambil kebijakan strategis — termasuk kebijakan yang justru dibutuhkan untuk menjaga pasokan, mempertahankan pasar, dan mengamankan kinerja perseroan.

Karena itu, pembelaan berharap perkara ini menjadi momentum untuk menegaskan batas yang tegas antara risiko bisnis yang wajar dalam keputusan korporasi dan perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur tindak pidana.

Rangkaian fakta persidangan awal Desember ini, menurut tim kuasa hukum, melengkapi dan menguatkan pernyataan yang sudah mereka sampaikan pada 27 November 2025. Kerja sama PGN–IAE lahir dari kebutuhan mengelola perubahan regulasi dan dinamika pasar gas bumi pasca berlakunya UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan rencana revisi Permen ESDM No. 19 Tahun 2009. Dalam periode tersebut, PGN menghadapi persaingan ketat dari badan usaha niaga swasta dengan alokasi gas serta infrastruktur besar di wilayah yang selama ini menjadi pasar PGN.

Berdasarkan fakta persidangan dan data yang disampaikan ke pengadilan:

●PGN kehilangan sekitar 55 MMSCFD pasar di Jawa Barat, setara potensi kehilangan pendapatan sekitar US$ 170 juta per tahun.

●Di Jawa Timur, PGN kehilangan sekitar 40 MMSCFD, dengan potensi kehilangan pendapatan sekitar US$ 116 juta per tahun.

Dalam situasi itu, kerja sama dengan IAE diposisikan sebagai langkah untuk menjamin keberlanjutan pasokan gas yang dibutuhkan PGN, melindungi pasar eksisting PGN, serta menjaga utilisasi infrastruktur dan posisi tawar terhadap kompetitor swasta.

Kondisi keuangan Isargas Group yang tidak baik saat itu disebut membuat kelompok usaha ini rentan diambil alih oleh pesaing PGN. Kekhawatiran direksi PGN dinilai sejalan dengan keterangan Suko Hartono terkait wacana akuisisi Isargas oleh Pertagas. Fakta lain yang diungkap menunjukkan salah satu afiliasi IAE, PT Banten Inti Gasindo (BIG), tengah dalam proses akuisisi oleh kompetitor dengan valuasi lebih dari US$ 20 juta.

“Atas fakta-fakta tersebut, motif bisnis PGN dalam kerja sama dengan IAE adalah mempertahankan pasar dan kinerja perseroan, bukan menimbulkan kerugian negara,” tegas Michael.

Manfaat Finansial Bagi Negara dan BUMN

Tim kuasa hukum menyatakan kerja sama PGN–IAE sejak awal dirancang menghasilkan manfaat ekonomi yang terukur, antara lain:

●Supply gas sekitar 15 BBTUD selama 6–10 tahun dengan nilai sekitar US$ 128–230 juta.

●Proteksi pasar eksisting PGN di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan nilai estimasi US$ 504–840 juta.

●Margin pengelolaan gas yang diperkirakan sekitar US$ 20–43 juta.

Dalam konstruksi itu, advance payment (AP) sebesar US$ 15 juta ditempatkan sebagai alat negosiasi komersial (position of leverage) untuk menjaga posisi PGN di wilayah yang sangat kompetitif, bukan sebagai kerugian keuangan negara.

Aspek Kepatuhan dan Tata Kelola

Seluruh keputusan bisnis terkait kerja sama ini disebut diambil melalui mekanisme korporasi yang sah dan terdokumentasi:

●Diputuskan secara bulat oleh Direksi PGN tanpa dissenting opinion. Danny Praditya menandatangani perjanjian sebagai Direktur Komersial dalam rangka menjalankan keputusan kolektif BOD.

●Prinsip kehati-hatian (prudence) dijalankan dengan menunjuk konsultan hukum eksternal untuk menelaah aspek komersial-kontraktual, termasuk kepatuhan terhadap UU PT, UU BUMN, POJK, dan KUHPerdata.

●Direksi PGN meminta jaminan tambahan berupa jaminan fidusia atas pipa BIG dan Parent Company Guarantee (PCG).

Di sisi regulasi migas, tim kuasa hukum menegaskan tidak ada dokumen negara yang secara eksplisit melarang skema penjualan bertingkat sebagaimana dipersoalkan, sepanjang memenuhi kriteria Pasal 12 ayat (4) Permen ESDM No. 06 Tahun 2016.

Penafsiran ini disebut diperkuat dengan surat Dirjen Migas 8 September 2021 yang membuka ruang agar transaksi dapat dilanjutkan dengan penyesuaian. Saksi dari BPH Migas, Alfansyah, di persidangan juga menguatkan bahwa PGN masuk dalam kriteria pengecualian tersebut.

Tanggapan atas Keterangan Saksi Ahli BPK

Terkait keterangan saksi ahli BPK dan LHP yang dijadikan dasar dakwaan, tim kuasa hukum berpandangan bahwa:

●LHP BPK disusun bertumpu pada konstruksi hukum yang lebih dahulu dibangun dalam proses penyidikan, sehingga tidak sepenuhnya menggambarkan karakter transaksi bisnis jangka panjang di sektor migas.

●Penyusunan LHP tidak melibatkan ahli bisnis migas maupun ahli hukum independen untuk membaca praktik jual beli gas, risiko pasar, serta penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam keputusan direksi PGN.

●Hingga kini tidak ada pedoman resmi yang menjelaskan secara rinci penafsiran Permen 06/2016, terutama Pasal 12 ayat (4) dan Pasal 36, sehingga penafsiran yang muncul pada tahap penyidikan berpotensi sangat subjektif.

Dalam kerangka itu, tim kuasa hukum menegaskan klaim kerugian negara yang disamakan dengan nilai advance payment bersifat konstruktif dan belum final, terutama karena kontrak masih menyediakan mekanisme penyelesaian perdata, termasuk arbitrase dan eksekusi jaminan, yang seharusnya dapat ditempuh manajemen PGN.

Penegasan Kuasa Hukum

Menutup pernyataannya, FX L. Michael Shah kembali menegaskan beberapa hal pokok yang dinilai konsisten dengan fakta persidangan hingga 4 Desember 2025:

1.Kerja sama PGN–IAE adalah keputusan bisnis kolektif direksi, bukan tindakan individu Danny Praditya.

2.Keterangan saksi Sofwan dan Wahid Hasyim menegaskan Isargas memiliki pasokan gas dan transaksi ini bukan kontrak fiktif.

3.Keterangan Saksi ahli —termasuk Anas Puji Istanto dan Dr. Fully Handayani Ridwan, S.H.,M.Kn —menguatkan kerangka GCG, kolektif-kolegial, serta kekuatan mengikat kontrak dan jaminan fidusia/PCG.

4.Klaim kerugian negara yang menyamakan nilai advance payment sebagai kerugian final perlu diuji secara utuh bersama manfaat ekonomi dan mekanisme pemulihan kontraktual yang tersedia.

“Gas tetap mengalir, kontrak sah, dan keputusan direksi PGN diambil dalam kerangka menjaga kinerja BUMN, ” demikian penegasan yang kembali disampaikan tim kuasa hukum.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Gubernur Aceh Cemas Warga Meninggal Bertambah Akibat Kelaparan

Gubernur Aceh Muzakkir Manaf. (ANTARA/Hayaturrahmah)
Gubernur Aceh Muzakkir Manaf. (ANTARA/Hayaturrahmah)

Jakarta, aktual.com – Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menyampaikan kekhawatirannya bahwa banyak warga di wilayah terdampak bencana berisiko meninggal akibat kelaparan. Sejumlah kecamatan hingga kini belum dapat ditembus melalui jalur darat karena jembatan yang menghubungkan desa-desa terputus.

“Kondisi pengungsi sangat membimbangkan (mengkhawatirkan), mereka mati bukan karena banjir tapi mati karena kelaparan, itu saja,” kata Mualem kepada wartawan, Sabtu (5/12/2025).

Ia menjelaskan bahwa Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, dan sebagian wilayah Bireuen merupakan zona yang mengalami dampak paling berat dari banjir tersebut. Saat ini kebutuhan paling mendesak adalah pasokan bahan makanan pokok serta air bersih.

“Masyarakat sangat membutuhkan sembako terutama di pedalaman belum terjamah,” jelasnya.

Ketua Umum Partai Aceh itu menambahkan bahwa pendistribusian bantuan menuju wilayah pedalaman menghadapi tantangan besar karena akses darat terputus total. Untuk menjangkau para pengungsi, logistik harus diangkut menggunakan perahu karet.

Ia mengimbau berbagai pihak, termasuk para kepala desa, untuk bergerak lebih aktif agar bantuan dapat segera tersampaikan. Selain itu, banyak fasilitas umum dilaporkan mengalami kerusakan berat.

Mualem mengatakan dirinya telah meninjau sejumlah lokasi terdampak banjir di wilayah timur dan tengah Aceh. Dari hasil pantauannya, ia menilai bencana yang terjadi pekan lalu memiliki dampak yang mengingatkan pada tragedi tsunami 21 tahun silam.

“Saya pribadi melihat banjir dan longsor ini adalah tsunami kedua,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Pilkada Lewat DPRD? Bahlil Ajukan Usulan, Prabowo Pertimbangkan

Jakarta, Aktual.com – Wacana perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah kembali mengemuka setelah Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan agar Pilkada dikembalikan ke sistem pemilihan melalui DPRD. Usulan tersebut ia sampaikan langsung di hadapan Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan HUT Ke-61 Partai Golkar di Jakarta, Jumat malam (5/12/2025).

“Khusus Pilkada, setahun lalu kami sudah menyampaikan, kalau bisa kepala daerah dipilih lewat DPRD saja. Setelah kami kaji, lebih baik kembali ke DPR kabupaten/kota, biar tidak pusing-pusing,” ujar Bahlil.

Usulan tersebut kembali membuka perdebatan klasik: apakah demokrasi lokal lebih efektif melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui representasi legislatif daerah?

Golkar, melalui kajian internal, menilai pemilihan melalui DPRD dapat menekan biaya politik yang selama ini menjadi sumber persoalan demokrasi elektoral di tingkat lokal—mulai dari politik uang, jual beli suara, hingga meningkatnya beban fiskal daerah.

Bahlil menjelaskan bahwa pembahasan rancangan undang-undang terkait mekanisme Pilkada akan dimulai tahun depan. Ia menekankan, proses legislasi harus dilakukan secara hati-hati dan inklusif.

“Pembahasannya harus komprehensif, hati-hati, cermat, dan melibatkan masukan luas. RUU ini harus melalui kajian mendalam,” tegasnya.

Dalam konteks hukum, Bahlil mengingatkan bahwa harmonisasi antar-regulasi menjadi kunci, termasuk potensi sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Jangan sampai undang-undang yang sudah disusun dengan baik tetap digugat dan diputus berbeda oleh MK, bahkan sampai menciptakan norma baru,” ujarnya.

Menanggapi wacana tersebut, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sinyal keterbukaan. Menurutnya, setiap gagasan yang bertujuan menekan biaya politik dan memperkuat kualitas demokrasi layak dipertimbangkan.

“Pemikiran Golkar ini harus kita pertimbangkan dengan baik. Marilah kita berani,” kata Prabowo.

Prabowo menilai masalah terbesar demokrasi elektoral saat ini adalah ketergantungan terhadap pemodal, yang membuat kontestasi politik rawan dikuasai mereka yang berkantong tebal. Usulan pemilihan melalui DPRD dinilai dapat menjadi salah satu jalan keluar.

“Saya sendiri condong. Saya akan mengajak kekuatan politik untuk berani memberi solusi kepada rakyat. Demokratis, tetapi jangan buang-buang uang,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Reformasi Polri Tanpa Kesadaran bahwa Rakyat adalah Majikan, Hanya Kosmetik

Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan. FOTO: Ist

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan)

Jakarta, aktual.com – Gelombang ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian di Indonesia sedang berada di salah satu titik tertingginya. Bukan hanya dalam obrolan warung kopi atau thread media sosial, tetapi meledak dalam bentuk aksi jalanan dan bahkan musik protes. Lagu “Bayar Bayar Bayar” dari duo punk Sukatani, misalnya, sempat viral karena liriknya yang secara terang menyinggung praktik pungli dan “uang pelicin” kepada oknum polisi dalam urusan sehari-hari. Lagu itu sampai akhirnya ditarik dan disertai permintaan maaf kepada institusi Polri—namun justru makin menguatkan kesan bahwa kritik warga cenderung dihadapi dengan tekanan, bukan dengan introspeksi.

Tujuh bulan kemudian, pemerintah membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dipimpin Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Komisi ini diberi mandat merumuskan rekomendasi perbaikan struktural dan kultural di tubuh Polri. Di atas kertas, ini terdengar menjanjikan. Namun tanpa satu kesadaran fundamental—bahwa rakyat adalah majikan, dan Polri hanyalah pegawai publik yang digaji dari uang rakyat—maka seluruh agenda reformasi itu berisiko berhenti sebagai riasan kosmetik di atas luka yang dalam.

Rakyat adalah Pemegang Kedaulatan, Bukan Objek Pengamanan

Konstitusi kita jelas: Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, seluruh lembaga negara—eksekutif, legislatif, yudikatif, termasuk Polri—secara prinsip adalah alat milik rakyat, bukan penguasa di atas rakyat. Gaji mereka dibayar dari pajak, dan pajak itu bersumber dari kerja jutaan orang yang bangun pagi, macet, banting tulang, serta dari pengelolaan kekayaan alam yang menurut UUD 1945 juga milik rakyat.

Dalam logika ini, rakyat adalah “bos besar”, dan polisi adalah salah satu pegawai yang tugasnya melindungi, mengayomi, dan melayani kepentingan sang bos. Bukan sebaliknya. Di level filosofis, hubungan ini harusnya sederhana: rakyat bekerja, membayar pajak, dan memercayakan sebagian kewenangan pada pemerintah; negara membentuk institusi seperti Polri untuk menjamin rasa aman dan keadilan bagi rakyat.

Masalahnya, dalam praktik sehari-hari, relasi itu terasa terbalik. Warga sering diperlakukan seolah-olah “orang kecil yang harus tunduk apapun yang terjadi”, sementara aparat tampil sebagai figur berkuasa yang sulit digugat, bahkan ketika jelas-jelas diduga menyalahgunakan wewenang.

Dari Pungli sampai Panggilan yang Mengintimidasi

Keresahan itu bukan abstrak. Pengalaman banyak warga menunjukkan pola yang mengkhawatirkan:

  • Datang ke kantor polisi untuk membuat laporan, tapi dipersulit, dipingpong, atau “disarankan” menyelesaikan di bawah tangan.
  • Urusan yang seharusnya administratif—minta surat, tilang, atau layanan lainnya—sering kali diiringi permintaan uang yang tidak resmi, praktik yang secara populer disebut pungli dan terang-terangan disindir dalam lirik “mau bikin SIM… bayar polisi”.
  • Warga menerima undangan klarifikasi atau panggilan dengan format yang tidak jelas: tidak gamblang siapa terlapornya, apa persisnya perkara, dan dalam kapasitas apa ia dipanggil. Dari sisi psikologis, ini bukan terasa sebagai layanan hukum, tapi sebagai bentuk tekanan yang mudah sekali berubah menjadi alat kriminalisasi.

Fenomena-fenomena ini bukan lagi cerita individu. Aksi protes berskala nasional pada 2025 yang diwarnai tagar #IndonesiaGelap menempatkan tuntutan “Polisi diberesin” sebagai salah satu agenda utama, bahkan menjadikan lagu “Bayar, Bayar, Bayar” sebagai semacam theme song untuk mengkritik kinerja Polri yang dianggap sarat pungli, gratifikasi, dan kekerasan.

Jika warga yang bekerja, membayar pajak, dan dengan itu ikut membiayai gaji aparat penegak hukum justru hidup dalam rasa takut ketika berurusan dengan mereka, ini bukan lagi sekadar masalah oknum. Ini adalah indikator bahwa orientasi institusi telah bergerak menjauh dari prinsip “rakyat sebagai pemegang kedaulatan”.

Komite Percepatan Reformasi Polri: Harapan Serius atau Sekadar Panggung?

Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri—dengan figur-figur seperti Prof. Jimly dan beberapa purnawirawan maupun pejabat—di satu sisi bisa dilihat sebagai pengakuan pemerintah bahwa ada masalah serius di tubuh Polri. Komisi ini menggelar serangkaian pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, membahas mulai dari struktur organisasi, kultur kekerasan, sampai wacana pembentukan Kementerian Keamanan untuk mengatur posisi Polri secara lebih jelas.

Namun, sejak awal koalisi masyarakat sipil sudah mengingatkan beberapa bahaya:

  1. Komposisi komisi yang terlalu berat pada kalangan elit pemerintah dan purnawirawan, dengan keterwakilan masyarakat sipil yang minim.
  2. Mandat yang tidak jelas apakah rekomendasinya akan benar-benar mengikat dan dilaksanakan, atau hanya menjadi dokumen manis yang mengendap di laci.
  3. Risiko bahwa reformasi hanya berfokus pada struktur formal—perubahan bagan organisasi, nama unit, penambahan kementerian—tanpa menyentuh akar persoalan: hubungan kekuasaan antara polisi dan rakyat, budaya impunitas, dan praktik ekonomi-politik di balik “bayar-bayar” yang dikritik publik.

Selama tidak ada perubahan cara pandang yang fundamental—bahwa rakyat adalah majikan dan polisi adalah pelayan publik—maka reformasi berisiko sebatas seremonial: konferensi pers, logo baru, jargon-jargon, dan sedikit perbaikan prosedur, tanpa menyentuh pengalaman nyata warga di lapangan.

Tanpa Perubahan Cara Pandang, Reformasi Hanya Kosmetik

Mengapa kesadaran bahwa rakyat adalah majikan begitu penting?

  1. Karena ia menentukan cara polisi memandang dirinya sendiri.
    Jika polisi merasa dirinya “alat kekuasaan” yang terutama bertanggung jawab ke atasan politik, maka ia akan lebih mudah tunduk pada kepentingan pejabat, pengusaha besar, atau relasi kuasa lain, daripada pada keadilan bagi warga biasa. Sebaliknya, jika ia sadar bahwa gajinya dibayar dari pajak rakyat dan mandatnya berasal dari kedaulatan rakyat, maka setiap tindakan akan diuji: “Ini menguntungkan bos (rakyat) atau justru merugikan?”
  2. Karena ia menentukan desain pendidikan dan kultur di tubuh Polri.
    Kritik dari berbagai pihak, termasuk Komisi Percepatan Reformasi Polri sendiri, menyoroti bahwa pendidikan kepolisian di Indonesia masih sangat militeristik dan kurang menanamkan nilai-nilai sipil dan kognitif. Polisi sering lupa bahwa ia adalah penegak hukum sipil, bukan alat penakluk warga. Tanpa revisi radikal dalam kurikulum dan kultur, jargon “presisi” atau “humanis” hanya akan jadi poster di dinding.
  3. Karena ia menentukan bentuk mekanisme akuntabilitas.
    Jika rakyat adalah majikan, maka mekanisme pengawasan eksternal—seperti Kompolnas, Ombudsman, hingga kanal pengaduan masyarakat—harus diposisikan sebagai “pintu utama” rakyat mengoreksi polisi, bukan sekadar formalitas. Tanpa pengawasan yang kuat dan independen, setiap komitmen reformasi mudah runtuh di hadapan godaan politik dan bisnis.
  4. Karena ia mengubah cara polisi menyikapi kritik.
    Lagu protes seperti “Bayar, Bayar, Bayar”, demonstrasi mahasiswa, ataupun laporan media seharusnya dibaca sebagai alarm dari majikan yang marah, bukan ancaman yang harus dibungkam dengan intimidasi. Fakta bahwa sebuah lagu kritik sampai ditarik dan disusul permintaan maaf terbuka kepada Polri justru memperkuat kesan bahwa institusi ini lebih sensitif terhadap rasa “dilecehkan” ketimbang terhadap substansi keluhan rakyat.

Reformasi yang Substantif: Beberapa Titik Tekan

Agar reformasi Polri tidak berhenti sebagai kosmetik, ada beberapa titik tekan yang seharusnya menjadi agenda minimal:

  1. Reorientasi total pendidikan kepolisian
    Pendidikan Polri harus diletakkan pada fondasi bahwa polisi adalah penegak hukum sipil, pelayan publik, dan penjaga hak asasi. Kurikulum yang menormalisasi kekerasan, hierarki kaku, dan ketaatan buta harus diganti dengan penekanan pada etika, kognisi hukum, resolusi konflik, dan komunikasi publik.
  2. Memperkuat pengawasan eksternal yang bertaring
    Kompolnas, Komisi Percepatan Reformasi Polri, dan kanal pengaduan lain harus dilengkapi kewenangan yang jelas, transparan, dan mudah diakses warga. Setiap laporan pungli, intimidasi, atau penyalahgunaan wewenang harus diproses dengan standar waktu dan transparansi yang terukur, bukan hilang di meja birokrasi.
  3. Standar pelayanan yang tegas: nol pungli, nol intimidasi
    Pembuatan Laporan Polisi, pemanggilan saksi, penggeledahan, dan penyitaan harus diatur dengan SOP yang jelas dan komunikatif ke publik, termasuk informasi bahwa seluruh layanan tersebut gratis dan setiap permintaan uang di luar ketentuan adalah pelanggaran berat.
  4. Perlindungan nyata bagi warga yang mengkritik
    Kritik melalui seni, media sosial, ataupun aksi damai seharusnya dipandang sebagai bagian dari demokrasi yang sehat. Alih-alih dibungkam, Polri semestinya menggunakan kritik itu sebagai bahan evaluasi internal. Kasus-kasus di mana kritikus justru mengalami tekanan menjadi contoh paling telanjang bahwa reformasi belum menyentuh cara pandang dasar terhadap rakyat.
  5. Keterlibatan publik dalam merumuskan reformasi
    Komisi Percepatan Reformasi Polri harus benar-benar membuka diri terhadap partisipasi masyarakat sipil, akademisi, komunitas korban, jurnalis, dan kelompok rentan. Tanpa suara mereka, reformasi akan disusun dari ruang rapat ber-AC, bukan dari realitas yang dihadapi warga di jalanan dan kantor polisi.

Mengembalikan Hirarki yang Benar

Reformasi Polri tidak bisa hanya diukur dari seberapa sering pejabat bicara “presisi” di podium, seberapa banyak rapat yang digelar, atau seberapa cepat struktur organisasi dirombak. Ukuran yang paling jujur justru ada pada pengalaman harian warga: lebih mudahkah mereka mendapat keadilan? Lebih aman kah mereka ketika berhadapan dengan polisi? Lebih kecilkah risiko diperas, diintimidasi, atau dikriminalisasi ketika bersuara?

Selama polisi masih memandang rakyat sebagai objek yang harus diatur, bukan majikan yang harus dilayani, maka setiap upaya reformasi hanya akan menyentuh kulit. Ia mungkin memperindah wajah institusi di media, tetapi tidak menjawab rasa sesak di dada warga yang setiap hari bergumul dengan praktik “bayar-bayar”, panggilan yang mengintimidasi, dan perlakuan sewenang-wenang.

Reformasi Polri yang sejati hanya mungkin lahir ketika kesadaran ini ditanamkan:
kedaulatan ada di tangan rakyat, dan di hadapan rakyat, polisi bukan penguasa—melainkan pelayan yang wajib bertindak adil, transparan, dan bertanggung jawab. Tanpa itu, semua ini hanya kosmetik.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Presiden Prabowo Akan Borong 200 Helikopter Mulai 2026 untuk Perkuat Alutsista dan Respons Bencana

Jakarta, Aktual.com – Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan pemerintah akan mendatangkan 200 unit helikopter ke Indonesia mulai awal 2026. Langkah ini dilakukan untuk memperkuat kemampuan alat utama sistem persenjataan (alutsista) sekaligus meningkatkan kapasitas operasi kemanusiaan dalam menghadapi bencana yang kerap melanda Tanah Air, termasuk banjir dan longsor besar yang saat ini terjadi di Sumatera.

“Minggu ini helikopter baru datang lima unit, dan akan terus berdatangan. Saya sudah perintahkan mulai Januari tahun depan dan seterusnya kita akan datangkan 200 helikopter,” kata Prabowo dalam pidatonya pada Puncak HUT Ke-61 Partai Golkar di Jakarta, Jumat malam (5/12/2025).

Prabowo menegaskan bahwa penguatan alutsista—termasuk penambahan 200 helikopter—merupakan kebutuhan mendesak untuk mendukung misi kemanusiaan.

“Indonesia berada di Ring of Fire, kita harus siap menghadapi yang paling buruk,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.

Helikopter menjadi moda transportasi yang sangat efektif untuk menjangkau wilayah terisolasi akibat akses darat yang terputus oleh banjir dan longsor. Dalam bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera, pemerintah telah mengerahkan 50 helikopter untuk membawa bantuan logistik dan mengevakuasi warga.

“Mungkin beberapa bulan atau beberapa tahun lalu, tidak ada yang bisa membayangkan negara kita mampu mengerahkan 50 helikopter. Sekarang 50 helikopter bergerak di daerah musibah,” ujarnya.

Prabowo juga membeberkan sejumlah pengadaan alutsista terbaru. Sebanyak lima unit pesawat angkut berat C-130J Super Hercules telah tiba beberapa bulan lalu, sementara pesawat Airbus A400 juga sudah datang beberapa pekan terakhir. Kedua pesawat tersebut dikenal sebagai pesawat angkut terbaik di kelasnya, digunakan untuk misi militer maupun bantuan kemanusiaan berskala besar.

Menurut Prabowo, Indonesia sebagai bangsa besar memiliki kemampuan untuk bangkit dan menghadapi berbagai cobaan yang datang. Ia menilai masyarakat kini dapat melihat kehadiran negara secara nyata dalam penanganan bencana.

“Kita buktikan. Rakyat melihat reaksi pemerintah cepat, pemerintah hadir mengatasi masalah. Sekarang rakyat melihat ada musibah di wilayah tanah air kita, dan alat-alat negara segera hadir,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Berita Lain