Jakarta, Aktual.com — Tumpukan tempurung kelapa tersandar di dinding sebuah bangunan di Dusun Kejaya, Desa Tambong, Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, suatu pagi yang mataharinya belum terlalu tinggi dan sinarnya terkadang masih terhalang pepohonan.

Banyuwangi yang merupakan kabupaten terluas id Jawa Timur yang juga dikenal dengan sebutan “Bumi Blambangan”, wilayahnya merupakan lahan produktif pertanian cukup subur, hingga perkebunan skala kecil dan besar berada.

Perkebunan karet, kopi hingga kelapa menyebar di kabupaten yang bertetangga dengan Pulau Dewata ini, hingga tidak heran bila kebutuhan janur untuk kegiatan adat maupun agama warga Bali dipenuhi dari Banyuwangi.

Jumlah tempurung kelapa tak terhitung, dan tidak sedikit di antaranya berserakan di lantai berdebu beralas terpal biru yang beberannya tak cukup memenuhi ruangan bekas sekolahan di Dusun Kejaya itu.

Tempurung kelapa yang dalam Bahasa Jawanya disebut batok tersebut sudah tidak bulat, tapi dalam kondisi terpecah atau terparuh menjadi dua bagian yang kulit-kulitnya tak barserabut lagi karena telah dirapikan.

Ukurannya bervariasi, ada yang sudah halus karena dicat pernis, ada juga yang masih terlihat pudar warnanya karena belum tersentuh kuas pernis sama sekali.

Tidak jauh dari tumpukan batok, seorang wanita paruh baya matanya serius menatap dinding tempat buah kelapa terkupas itu tertumpuk. Sesekali tangannya meraih batok, mengangkatnya ke atas, kemudian memilahnya. Tidak satu batok, ia mengambil dua batok seukuran.

“Ini satu paket dan harus sama. Tapi sudah diukur kok sebelumnya,” ujar Andriani, nama wanita itu.

Andriani mengambilnya beberapa pasang. Ia kemudian duduk bersila, bersandar tumpukan kardus yang isinya bahan-bahan dasar membuat kerajinan tangan dan produksi memanfaatkan pohon kelapa.

“Mbak, tolong ambilkan tali di sana,” ucapnya ke Rosidah, salah seorang rekan kerjanya yang duduknya tak jauh dari tali-tali seperti pengikat sepatu.

Usai meraih tali, tangan Andriani mulai beraktivitas. Jemarinya dengan cekatan memasukkan tali di lubang batok yang telah dibuat sebelumnya. Ia pun tak mau gegabah dan asal mengikat karena bisa mempengaruhi hasil produksi serta kualitas.

“Harus kuat kaitnya karena dipakai untuk gerak-gerak penari. Lagipula dikirimnya jauh,” ucap dia sembari mimik wajahnya terlihat serius memasukkan tali karena harus cermat.

Tak sampai lima menit, parohan batok kelapa dan tali itupun tersambung. Andriani mengangkatnya, kemudian menempelkannya di dada. Tidak ditempel dan dipasang sungguhan, hanya mempraktikkannya sejenak sebagai syarat dan memastikan kesempurnaan barang.

Ya, Andriani baru saja menyelesaikan bra atau BH (“breast holder”) atau penyangga payudara wanita. Belum selesai betul memang, karena masih harus melalui beberapa tahap lagi, seperti mengecat pernis, memastikan benar-benar bersih, menambah motif (bunga, pemandangan atau lainnya sesuai pesanan, red), hingga pengemasan.

Bra-bra batok kelapa itu dibuatnya tak satu biji saja, bukan belasan, bukan puluhan, bukan pula ratusan. Paling sedikit itu Andriani dan Rosidah membuatnya ribuan yang dikirimnya ke mancanegara. Tak cuma berdua juga, melainkan bersama puluhan warga asal satu desa membuatnya bersama-sama.

“Kalau sudah selesai, dikirimnya ke Hawaii, ke Guadeloupe, dan luar negeri lainnya. Tapi ada juga yang di dalam negeri,” ungkapnya.

Bra-bra batok kelapa buatan tangan Andriani dan Rosidah tidak sembarangan. Bukan hanya sekadar dipajang, kemudian dibeli dan dikoleksi, namun bra batok kelapa itu dipakai penari-penari Hawaii, penari yang dikenal dengan tarian Hula-hula.

Siapa yang sangka? Goyangan-goyangan hula-hula di pantai ala penari Hawaii mengenakan properti hasil sentuhan dan kreativitas orang-orang “ndeso” di kabupaten paling timur Provinsi Jatim tersebut.

Perintis Adalah Khotibin yang memulainya. Bersama sang kakak Achmad Fathoni, sejak 1998 keduanya merintis usaha kreatif mendaur ulang memanfaatkan limbah pohon yang dianggap sebagian orang sampah.

Tapi, di tangan keduanya ternyata mampu menghasilkan rupiah dan mengucurkannya deras ke kantong-kantong mereka.

Saat itu, kakak beradik ini membuat perubahan di kampungnya. Semula Ibin, sapaan akrabnya, membuatnya bersama tidak banyak pekerja. Namun, seiring membanjirnya pesanan, mereka pun merekrut tenaga kerja yang mayoritas berasal dari warga setempat.

Kini Ibin pun dibantu puluhan, bahkan ratusan warga yang mayoritas ibu-ibu. Meski pendapatan pekerja tak sampai melebihi Rp1 juta per bulannya, banyak yang berterima kasih dan mengucap syukur karena di desanya ada kerajinan tangan yang hasil produksinya produktif.

“Kami ingin menciptakan lapangan pekerjaan dan syukurlah tercapai. Banyaknya pesanan maka semakin banyak pula warga yang bekerja di sini,” tutur Ibin.

Per grosirnya, harga bra dibanderol Rp10 ribu untuk pemesanan ke luar negeri. Harga yang terbilang murah untuk ukuran per buah. Namun, karena pemesanannya ribuan, Ibin merasa harga sebesar itu sudah lebih dari cukup.

Produksi Ibin dan keluarga ini bukan hanya membuat bra. Berbagai jenis kerajinan memanfaatkan pohon kelapa juga diselesaikan, diproduksi, hingga dijualnya.
Tak Ber-merk Hasil-hasil produksi Ibin tak ada yang meragukan kualitasnya. Jangankan konsumen dalam negeri, pembeli dari mancanegara pun mengakuinya.

Hanya, puluhan bahkan ratusan jenis barang yang dibuatnya tak ber-merk atau tidak memiliki “brand” khusus yang mengidentitaskan Banyuwangi atau Indonesia sebagai negara penghasilnya.

Menurut Ibin, ia sengaja tak memasang nama khusus di hasil produksi karena dikhawatirkan mengurangi pemesanan konsumen yang memang meminta tanpa “branding”.

“Tidak apa-apa meski tak ada merk. Ini juga sesuai pesanan, dan biasanya dinamai negara pemesannya. Semisal, pemesan dari Jamaika maka di tas batok kelapa tertulis nama Jamaika,” tukasnya.

Menanggapinya, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas tak mempermasalahkan tak tertulisnya nama identitas sang penghasil produksi, asalkan tetap eksis, pemesanan banyak dan yang terpenting pekerjanya adalah warga setempat.

“Saya sudah berdiskusi dengan menteri perdagangan dan menanyakan hal seperti ini, dan beliau juga memikirkan yang sama. Tapi ini transaksi bisnis sehingga bukan sebuah persoalan tentang hal tersebut,” imbuhnya.

Hal senada disampaikan Kepala Sub-Direktorat Bidang Industri Material Dasar Logam (IMDL) Lainnya Kementerian Perindustrian RI, Mughofur, yang mengaku bukan permasalahan terkait “branding”, khususnya yang diekspor ke luar negeri dalam jumlah massal.

“Dulu Jepang juga seperti itu kok. Meski tak ada merk, namun tidak merugikan Indonesia karena kualitasnya bagus dan pemesan eksis serta mengakui hasil produksi buatan orang Banyuwangi,” tukasnya.

Kendati demikian, ke depannya juga perlu dipikirkan agar kondisi ini tidak jalan di tempat, namun ada terobosan dan inovasi lebih bagus untuk memasarkan hasil produksinya ke berbagai negara dengan menunjukkan identitas daerah atau negara pembuat.

Gratis Pengurusan Hak Cipta Di sisi lain, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RImemfasilitasi pendaftaran hak cipta bagi para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) agar memiliki pengakuan dan tidak mudah ditiru oleh yang lain.

“Dengan adanya hak cipta maka kreatifitas para pelaku usaha semakin meningkat, dan itu menambah produktifitas. Silakan bagi pelaku UKM yang ingin mematenkan kreatifitasnya dan pemerintah memberikannya gratis,” kata Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Braman Setyo.

Namun demikian, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi para pelaku usaha, yakni identitas lengkap, karya orisinil atau tidak menjiplak disertai surat pernyataan bermaterai, dan menyertakan komposisi bahan baku sebuah produksinya.

“Dikirimnya melalui email untuk diverifikasi. Silakan tunggu sejam, kami jamin sertifikat hak cipta sudah jadi dan kualitas produksinya semakin diakui,” katanya saat berkunjung di Surabaya.

Program pembebasan biaya sertifikat hak cipta untuk pelaku UKM ini bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.

Program yang dibentuk sejak Maret 2015 tersebut sampai saat ini mencapai 325 UKM dan ditargetkan sebanyak 1.200 UKM.

Hal tersebut juga sebagai salah satu upaya mendorong Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Jawa Timur naik kelas dan mampu berdaya saing dalam upaya menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

“Ini target nasional kementerian untuk mewujudkan kuantitas maupun kualitas, serta berdaya saing tinggi,” kata mantan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Timur tersebut.

Kriteria naik kelas bagi UMK antara lain usaha yang semula perorangan bisa memiliki badan hukum, keuntungan yang meningkat dari tahun ke tahun, tenaga kerja bertambah dan lainnya.

Karena itulah, kata dia, diperlukan strategi-strategi khusus agar UMK-UMK di Jatim tidak stagnan dan penghasilannya lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Ia menjelaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menyebutkan kriteria Usaha Mikro memiliki aset maksimum Rp50 Juta dan omzet maksimum Rp300 juta, Usaha Kecil memiliki aset Rp50 Juta hingga Rp500 juta dan omzet Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar.

Sedangkan, Usaha Menengah memiliki aset Rp500 juta hingga Rp10 miliar dan omzet Rp25 miliar hingga Rp50 miliar.

“Ini yang membuat UMK perlu didorong peningkatan aset dan omzet agar kriterianya naik kelas, sekaligus membuat MEA dijadikan tantangan bagi UMK,” ucapnya.

Rp2,5 Triliun untuk UMKM Sebagai bentuk kepedulian terhadap sektor UMKM, Pemprov Jatim menyiapkan Rp2,5 triliun untuk membantu bertahan serta mengembangkan produksinya sebagai terobosan menghadapi kondisi perekonomian saat ini.

“Kami menyiapkan dana sekitar Rp2,5 triliun yang berasal dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) dan non-Silpa untuk membantu permodalan UMKM primer,” ujar Gubernur Jawa Timur Soekarwo.

Solusi yang ditawarkan Pakde Karwo, sapaan akrabnya, adalah memberikan stimulus APBD dan sumber lain (dana Silpa dan non-Silpa) dengan skema “linkage program” kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) kabupaten/kota untuk disalurkan kepada sektor UMKM-Koperasi.

Kemudian, lanjut dia, sektor ini menjadi sasaran utama karena 95 persen pekerja di Jatim bekerja pada sektor tersebut.

Mantan sekdaprov itu menjelaskan, pada 2016 sudah menganggarkan APBD Rp400 miliar untuk disalurkan kepada Bank Jatim dengan bunga 2 persen per tahun, kemudian Bank Jatim berperan menjadi APEX Bank untuk BPR di Jatim dengan suku bunga kredit efektif sebesar 5 persen per tahun.

Selanjutnya, BPR diperkenankan menyalurkan dana kepada UMKM dengan suku bunga maksimal 10 persen per tahun.

Dengan begitu, kata dia, diharapkan makin banyak UMKM yang bisa mengakses modal dengan bunga yang murah.

Pasalnya, sektor ini mendapat ketidakadilan jika ingin mendapatkan modal dari bank, suku bunga yang dibebankan kepada UMKM lebih besar daripada bunga yang dibebankan kepada perusahaan besar.

“Negara harus hadir membela rakyat. Mengapa kalau kredit korporasi bunganya jauh lebih rendah daripada UMKM? Karena itu, UMKM harus diintervensi oleh pemerintah agar bisa mendapat modal dan produknya lebih baik, lebih murah dan cepat. Kami harap, UMKM lebih produktif dan modern mengolah produknya,” tuturnya.

Sementara itu, rincian dana Rp2,5 triliun itu berasal dari giro dan lain-lain sebesar Rp1,7 triliun, Rp750 miliar dari APBD Triwulan IV, kemudian Rp400 miliar dari pengurangan SKPD yang memiliki program hibah.

Tidak itu saja, anggaran juga diambilkan sebanyak Rp100 miliar dari belanja tak terduga untuk penanggulangan bencana kekeringan dan banjir.

Artikel ini ditulis oleh: