Yogyakarta, Aktual.com – Direktur Pusat Studi Hukum Agraria UII Yogyakarta, Mukmin Zakie menilai Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) keliru soal status verponding dan girik untuk kepemilikan tanah. Dimana Ahok menyebut verponding dan girik tidak lagi berlaku setelah lewat 20 tahun sejak adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di tahun 1960.

“Suruh Ahok baca PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jangan asal ngomong aja dia (Ahok),” ujar Mukmin, di Yogyakarta, Rabu (11/5).

Dibeberkan Mukmin, Pasal 24 ayat 1 di PP No 24/1997 mengatur ketentuan keperluan pendaftaran hak atas tanah. Kata dia, di situ disebut bahwa untuk mendaftarkan hak atas tanah cukup dibuktikan dengan alat bukti berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan.

Kemudian di ayat 2, disebutkan jika tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat bukti sebagaimana dimaksud ayat 1, maka pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulunya. Dengan syarat penguasaan tanah tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

Artinya, ujar Mukmin, warga sebenarnya bisa mendaftarkan tanahnya kalau dia sudah 20 tahun tinggal di lahan tersebut. “Warga bisa mengajukan pendaftaran dengan pernyataan bahwa (tanah) itu milik dia. Dikuatkan oleh Kelurahan setempat,” ujar Mukmin.

Lalu dalam penjelasan Pasal 24 juga secara jelas diatur mengenai alat-alat bukti tertulis yang dimaksud antara lain berupa alas hak (tanah) Petuk Pajak Bumi/Landrente, Pipil, Kekitir, Girik dan Verponding.

Dijelaskan dia, pada masa kolonial Belanda, masyarakat di Indonesia terbagi menjadi tiga golongan sosial. Yakni Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Untuk Golongan Eropa dan Timur Asing menggunakan Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW) dan Agrarische Wet 1870 (UU Agraria 1870) sebagai ketentuan pertanahannya.

Sedangkan, golongan Pribumi menggunakan hukum adat. Sehingga, kata dia, pada saat itu terdapat dualisme kepemilikan tanah yang dikenal dengan Hak Tanah Barat dan Hak Tanah Adat. “Yang tidak berlaku dan harus dikonversi lagi 20 tahun pasca keluarnya UUPA tahun ’60 itu tanah hak barat, seperti Eigendom, Erfpacht, Opstaal dan sebagainya,” ujar dia.

Dan itu berbeda dengan tanah Verponding maupun Girik yang berasal dari tanah adat. Dengan demikian, kata dia, sepanjang tidak ada alat bukti lain yang lebih kuat misalnya SHM (Hak Milik), maka tanah Verponding ini alas haknya kuat dan diakui secara hukum.

Pasca terbitnya UUPA tahun 1960, alas hak tanah yang berasal dari tanah adat juga dapat dikonversikan namun tidak terbatas waktu seperti ketentuan maksimal 20 tahun (24 September 1980) yang dikenakan pada alas hak tanah barat. “Saat itu masyarakat beranggapan buat apa daftar wong hak mereka atas tanah kan diakui. Bahkan, dulu tanah Girik itu bisa dijaminkan sebagai agunan di Bank,” ungkap dia.

Diketahui sebelumnya Ahok mengatakan kalau verponding dan girik tidak lagi berlaku setelah lewat 20 tahun adanya UUPA di tahun 1960. Pernyataan itu dilontarkan Ahok terkait kerap kalahnya Pemprov DKI di kasus sengketa lahan dengan pemilik yang memegang eigendom verponding.

Padahal, menurut Ahok, berdasarkan UUPA, surat-surat tersebut telah tidak berlaku dan dikonversi menjadi hak milik selambat-lambatnya 20 tahun sejak UU itu berlaku atau 24 September 1980. “Kalau menurut UU Pokok-pokok Agraria, (verponding) sudah gugur. Tapi, bagaimana bisa tanah-tanah verponding (bisa menang)?” ujar dia di Balai Kota DKI, Senin (9/5).

Ahok kemudian malah lontarkan tudingan ada sindikat calo tanah di balik warga yang memegang verponding. “Kita tidak bisa menuduh ada mafia tanah. Tapi, bisa rasakan di Jakarta banyak mafia tanah,” tuding dia. (Baca: Ahok Klaim Dokumen Tanah Verponding dan Girik Tak Berlaku)

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis