Jakarta, Aktual.com – Sejumlah pakar hukum menyarankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melanggar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan tetap mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD RI.

Hal itu disampaikan sejumlah pakar di Gedung KPU RI, Jakarta, saat dimintai saran dan masukannya oleh KPU RI soal kasus Oesman Sapta Odang (OSO) yang telah dicoret dari daftar calon tetap anggota DPD RI karena belum menyampaikan surat pengunduran diri dari kepengurusan partai politik.

“Sifat putusan MK itu ‘final and binding’ yang mengikat siapa saja termasuk daya lakunya,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari di Gedung KPU, Jakarta, Rabu (14/11).

Feri menekankan dalam putusannya MK tidak menyebut secara khusus bahwa putusan itu untuk Pemilu 2024, sehingga putusannya sudah berlaku di Pemilu 2019.

Dia mengatakan memang ada dua putusan lain yang membuat KPU dilema yakni putusan Mahkamah Agung yang menyebut putusan MK tidak berlaku surut dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang memerintahkan KPU memasukkan kembali nama OSO dalam DCT anggota DPD RI.

Namun dalam kasus ini, kata Feri, putusan MK jauh lebih tinggi. Ia menyarankan KPU menjalankan saja putusan MK. Sebab, kata dia, putusan MA hanya berbicara soal kapan berlakunya putusan MK. Sedangkan putusan PTUN yang memerintahkan KPU memasukkan kembali nama OSO di DCT jika diikuti akan menuai ketidakadilan.

“Putusan TUN sifatnya individual, hanya terhadap satu orang. Ini akan menjadi masalah jika KPU hanya memperbolehkan satu orang saja sebagai caleg DPD dari unsur pengurus partai politik. Akan menimbulkan ketidakadilan,” jelasnya.

Feri menegaskan, jika KPU menjalankan putusan MK, maka KPU tidak dapat dikatakan mengabaikan putusan MA dan PTUN, karena sifat putusan MK final dan mengikat serta lebih tinggi.

Sebaliknya, jika KPU menjalankan putusan MA dan PTUN, maka KPU dapat disebut mengabaikan konstitusi, karena putusan MK setara undang-undang. Pakar hukum tata negara Jimmy Usfunan menambahkan KPU akan dipersoalkan jika mengikuti putusan PTUN, karena KPU memberikan ruang istimewa pada satu orang, sementara calon lain sudah dicoret dari DCT.

Senada dengan Feri dan Jimmy, Peneliti Kolegium Jurist Institute Auliya Khasanofa juga menguatarakan hal serupa. Auliya mengatakan putusan MK merupakan penerjemahan terhadap peraturan karena ada dugaan bertentangan dengan undang-undang. Maka ketika putusan MK sudah dilontarka, KPU harus mengikutinya.

“Selain itu DPD juga jelas merupakan perwakilan daerah, bukan representasi partai politik,” kata Auliya.

Sementara itu Ketua KPU RI Arief Budiman mengatakan pihaknya masih menunggu salinan putusan resmi PTUN. KPU akan segera mengkaji putusan MK, MA dan PTUN secara komprehensif agar keputusan KPU RI nantinya tidak menuai perdebatan.

“Mengenai kabar soal putusan PTUN (menerima gugatan OSO), tim kami yang hadir di persidangan sudah mengirimkan catatannya. Namun untuk menindaklanjutinya kami masih menunggu salinan putusan resminya,” kata Arief.

Arief mengatakan dengan munculnya putusan PTUN yang kabarnya mengabulkan gugatan OSO, maka saat ini terdapat tiga buah putusan terkait OSO yakni Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan PTUN.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan