Ivanhoe Semen

Oleh: Ivanhoe Semen

Jakarta, Aktual.com – Di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), 1 Juni 1945, Soekarno muda menyampaikan rumusan lima sila yang yang dinamai Pancasila.

Rumusan itu setelah melalui beberapa proses persidangan, Pancasila akhirnya dapat disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara Indonesia yang sah.

Menjadi potongan sejarah yang monumental. Sejarah yang dimotori oleh cendekiawan dan negarawan yang diantaranya, meski di usia muda, yang mau tampil didepan hingga melahirkan Indonesia merdeka.

Memperingatinya, tentu saja penting untuk setiap generasi, namun yang lebih penting lagi adalah mau belajar, dari ikhtiar pada pendiri bangsa itu, yakni menyikapi tantangan dan persoalan yang dihadapi.

Saat ini, situasi telah jauh berubah dengan apa yang melatari situasi sosial dan politik saat Pancasila digali dan dilahirkan oleh para pendiri bangsa. Tantangan yang tentu saja butuh kontribusi dari generasi kekinian.

Tantangan di Era Kekinian

Harus diakui, kemajuan teknologi di era digital saat ini telah membawa berbagai perubahan yang kerap juga membawa persoalan baru.

Kemajuan teknologi adalah sesuatu hal yang tak bisa dihindari dan dibendung, karena teknologi berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan.

Akses yang mudah terhadap informasi menjadikan berbagai peristiwa di belahan dunia manapun dapat diketahui dalam sekejap. Hal tersebut tentu saja menguntungkan masyarakat dalam asupan informasi.

Namun sebagai negara yang juga turut menikmati dan dipengaruhi kemajuan teknologi dan digital tersebut, kemajuan zaman dan teknologi ternyata ibarat dua sisi mata uang, atau memiliki pengaruh positif dan negatif.

Faktanya, sekalipun generasi muda dapat memanfaatkan teknologi, dalam hal ini digitalisasi untuk berbagai aktivitas dan kegiatan yang bermanfaat, namun pengaruh negatifnya juga terlihat nyata, bahkan mengkhawatirkan.

Salah satu yang mengkhawatirkan itu adalah infiltrasi budaya asing atau sering kita pula disebut budaya barat, menjadi hal yang lumrah. Hal ini kemudian turut menggerus budaya luhur bangsa sendiri.

Budaya asing sudah merajalela masuk dalam pola kehidupan sehari-hari, menjadi hal yang lumrah dapat ditemui dimana-mana. Mulai dari kebiasaan berpakaian, berbicara, berperilaku dan sebagainya.

Itu artinya, kecanggihan teknologi digital memang dapat membantu setiap aktivitas manusia, namun pesat perkembangannya ternyata memerlukan filter untuk dapat menyaring hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri dan kehidupan yang lebih luas.

Termasuk juga untuk menyaring informasi yang memberi pengaruh buruk atau yang sia-sia. Ketidak hati-hatian dan kebebasan dalam menyikapi teknologi informasi, memungkinkan terjadi penyimpangan, kerugian, kemerosotan nilai-nilai moral dan mengancam eksistensi nilai-nilai luhur bangsa.

Pengaruh teknologi informasi, termasuk kecanduan dengan gadget juga memberi pengaruh buruk terhadap sikap dan tindakan sosial masyarakat. Hal yang sederhana yang dapat dilihat secara langsung adalah ketidak pedulian dengan lingkungan sekitarnya.

Generasi muda tumbuh semakin individualistik, kepekaan sosial makin merosot. Teknologi atau media digital pun bahkan kerap digunakan atau menjadi pemicu terjadinya berbagai tindakan kriminal dan embrio perpecahan di antara anak bangsa.

Situasi yang berbanding terbalik dengan atau pada generasi sebelumnya. dahulu hari-hari yang dipenuhi dengan hubungan personal yang kuat, keakraban sosial dan senda gurau antar individu, baik di lingkungan keluarga, maupun pergaulan lebih luas.

Menyikapi situasi ini, kerap muncul pertanyaan, apa yang mesti dilakukan? Sebagai sebuah bangsa tentu saja kita punya dasar negara, Pancasila yang oleh Soekarno disebut sebagai sebagai “philosophische grondslag” atau “weltanschauung”.

Lantas bagaimana agar nilai-nilai luhur pancasila itu tetap ada, terpatri dan menjadi ciri dalam kehidupan anak bangsa Indonesia saat ini dan kedepan nanti, oleh generasi ke generasi. Inilah tantangan generasi kekinian, yang mesti disikapi dengan pikiran terbuka,

Karena realitas faktualnya, dan tak bisa dimungkiri, nilai Pancasila mulai terkikis pada sebagian kita, ada semacam pesimisme masihkah generasi muda mau mempelajari, mempedomani, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Padahal, nilai-nilai luhur yang sudah menjadi ciri dan cerminan budi pekerti bangsa Indonesia sejak dahulu kali. Dan rasa-rasanya Pancasila adalah benteng utama dan terakhir dalam menghadapi tantangan bangsa ini di era kekinian, mencegah Indonesia dari kemerosotan karakter secara kolektif.

Untuk itu pula, Pancasila yang merupakan dasar negara yang harus terus digelorakan dalam berbagai kesempatan, berbagi forum dan perjumpaan generasi muda, sehingga melekat dan menjadi ciri bangsa Indonesia, kemudian tercermin dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.

Sebagai pondasi, azas dan pandangan serta pedoman hidup bangsa Indonesia, karena memuat nilai-nilai luhur yang yang mengatur tatanan kehidupan dan menjadi ciri bangsa yang dimiliki oleh rakyat Indonesia.

Kemajuan pengetahuan dan teknologi informasi atau digital saat ini, semestinya atau justru dapat menjadi sarana yang efektif untuk memudahkan generasi bangsa, meretas, mempromosikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila.

Sehingga generasi muda dapat terus memahami, mempelajari dan menanamkan serta mempedomani nilai-nilai luhur Pancasila sebagai pondasi moral dalam kehidupan sehari-hari serta harus terus menjaga jati diri bangsa, berbeda dengan bangsa-bangsa yang lain.

Untuk itu pula, mari sejenak kita kembali memaknai garis besar nilai-nilai luhur Pancasila sehingga selalu terpatri dan menjadi pedoman hidup setiap generasi penerus yang akan melanjutkan kehidupan mengisi kelangsungan pembangunan dan kedamaian negeri tercinta ini

Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Memiliki pesan bahwa, keyakinan kepada Tuhan yang maha esa juga memiliki nilai luhur yang dapat menjadi benteng diri agar selalu melakukan hal-hal yang baik. Ketaatan dan ketakwaan pada ajarannya dan hal ini tentunya juga akan menjauhkan diri dari perbuatan tercela.

Kedua. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Adalah pesan yang kuat terkait persamaan hak, harkat, martabat, derajat bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tanpa membedakan suku, agama, ras/keturunan, jenis kelamain, kedudukan sosial dan semua telah terpatri dalam satu semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Selain itu juga adalah untuk menumbuhkan rasa saling mencintai, memiliki perilaku tenggang rasa, toleransi, selalu memupuk rasa persaudaraan saling menghormati hak dan kewajiban.

Ketiga, Persatuan Indonesia. Menegaskan bahwa setiap warga negara harus menempatkan kepentingan persatuan dan kesatuan dan keselamatan bangsa diatas kepentingan pribadi, atau golongan.

Selalu mempertahankan rasa nasionalisme, mengobarkan semangat untuk membela tanah air, memiliki kebanggaan pada tanah air, mencintai perdamaian bersatu untuk persatuan Indonesia.

Keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Yakni menekankan pada nilai luhur yang mencerminkan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa memiliki hak dan kewajiban yang sama,

Dalam mengambil keputusan harus dilaksanakan dengan musyawarah dan tidak memaksakan kehendak, namun mendahulukan azas musyawarah untuk mufakat dengan menjunjung tinggi dan menghargai setiap keputusan yang diambil secara bermusyawarah.

Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai luhur dalam sila ini adalah adanya sikap kekeluargaan, gotong royong, demokrasi yang mengatur keseimbangan hak dan kewajiban sesama warga negara menghargai hak orang lain dan mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila di atas, jika benar-benar dihayati, dan teraktualisasi dalam kehidupan setiap generasi bangsa, maka kita akan terus menatap masa depan Indonesia dengan penuh optimis. Selamat Hari Lahir Pancasila.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arie Saputra