Kuasa hukum Pengelola Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang Yusril Ihza Mahendra memberikan keterangan terkait kisruh dengan Pemprov DKI Jakarta terkait pengelolaan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang di Jakarta, Selasa (3/11). PT Godang Tua Jaya dan PT. Navigat Organic Energy Indonesia yang mengelola sampah DKI Jakarta di Bantar Gebang berharap dapat segera berdialog dengan Pemprov DKI Jakarta untuk menyelesaikan permasalahan pengelolaan TPSP Bantar Gebang tanpa harus melalui proses hukum di pengadilan. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/15.

Jakarta, Aktual.com – Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan dengan ditetapkannya status tersangka penistaan agama Basuki Tjahja Purnama (Ahok), dan telah dicegah untuk bepergian ke luar negeri oleh Bareskrim Polri, maka penyelidikan telah diubah menjadi penyidikan.

Penyidik polisi harus melanjutkan penyidikan dan menghimpun bukti-bukti agar nanti dapat memutuskan apakah perkara Ahok dapat dilimpahkan ke pengadilan atau dikeluarkan penghentian (SP3).

“Pernyataan Ahok sebagai tersangka dan pencekalannya menunjukkan bahwa polisi telah melakukan penyidikan ini bebas dari intervensi. Sebelumnya Presiden Jokowi telah berjanji penanganan kasus Ahok ini akan dilakukan secara obyektif dan bebas intervensi pihak manapun juga,” kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Rabu (16/11).

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, kata dia, Ahok bisa saja menggugat penetapan itu ke sidang praperadilan. Kalau gugatan praperadilan dikabulkan, maka status tersangka harus dicabut. Sebaliknya jika gugatan praperadilan ditolak, maka status tersangka Ahok tetap dan penyidikan perkara dilanjutkan sampai ke pengadilan. Terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum banding dan kasasi.

“Status Ahok sebagai calon dalam Pilkada DKI, menurut hukum, tidaklah terpengaruh, meskipun dia dinyatakan tersangka. Ahok tetap dapat meneruskan status pencalonannya karena dia tersangka melakukan penistaan agama sebagai delik umum, bukan delik khusus yang diatur dalam UU Pilkada. Ahok tidak bisa lanjut Pilkada jika dia melanggar pidana dalam UU Pilkada. Ketentuan seperti ini tidak hanya berlaku bagi Ahok, tetapi bagi siapa saja yang jadi calon dalam Pilkada. Keadilan harus ditegakkan terhadap siapapun,” kata Mantan Menkumham ini.

Setelah dinyatakan tersangka, lanjut dia, para pelapor kasus Ahok ini harus terus-menerus melakukan pengawasan proses penyidikan kasus ini. Jika penyidikan dirasa berjalan lamban, mereka bisa meminta laporan penangan kasus kepada Bareskrim. Jika Ahok misalnya di SP3, pelapor berhak mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersebut.

“Jika kasus Ahok ini kita lihat sebagai sebuah kasus hukum, maka mekanisme hukum untuk menanganinya sudah cukup tersedia. Saya percaya bahwa hukum itu adalah mekanisme untuk menyelesaikan masalah secara adil dan bermartabat. Tentu, sepanjang semua pihak menjunjung tinggi proses penegakan hukum yang adil dan beradab, bukan adu kekuatan untuk merekayasa atau memaksakan kehendak,” jelas Yusril.

Yusril menambahkan beri kesempatan kepada Mabes Polri untuk menindaklanjuti proses hukum terhadap Ahok. Pihaknya ingin semua orang mendorong penegakan hukum yang konsisten, adil dan beradab dengan menyampingkan segala kepentingan dan sentimen politik, yang kerapkali membuat kita kehilangan kejernihan berpikir secara obyektif.

“Akhirnya, kalau kasus Ahok ini lanjut sampai ke pengadilan, maka pengadilanlah nanti yang akan memutuskan Ahok bersalah atau tidak. Selama proses penegakan hukum berlangsung, maka azas praduga tidak bersalah tetap harus dijunjung tinggi. Seseorang baru dinyatakan bersalah jika telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” terang dia.

Proses penegakan hukum memang panjang dan berliku, karena itu sebagaimana halnya demokrasi, perlu kesabaran dan kedewasaan. Yusril berkeyakinan bahwa bagian terbesar umat Islam Indonesia menghendaki cara-cara demokratis dan menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

“Lain halnya kalau kita menggunakan cara-cara revolusioner di luar hukum dan konstitusi. Hasilnya bisa cepat, namun sebagaimana kebanyakan revolusi, ujung-ujungnya bukan hukum dan demokrasi yang ditegakkan, yang tegak justru adalah kediktatoran,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan