Tersangka suap di Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Minggu (14/2). Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus Mahkamah Agung itu diamankan dalam operasi tangkap tangan KPK seusai menerima suap sebesar Rp400 Juta dari pengusaha Ichsan Suadi melalui pengacara Awan Lazuardi Embat guna menunda pengiriman salinan putusan kasasi. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras/16

Jakarta, Aktual.com — Panitera MA Soeroso Ono menegaskan, Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus Andri Tristianto Sutrisna tidak mempunyai kewenangan untuk menunda pengiriman salinan putusan.

“Tidak ada kewenangan sama sekali, dia orang non teknis, spekulasi saja saking bodohnya orang yang memberikan uang, tugasnya hanya meneliti berkas perkara saja,” kata Soeroso usai menjalani pemeriksaan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengiriman putusan kasasi perkara korupsi pekerjaan pembangunan Dermaga Labuhan Haji Kabupaten Lombok Timur di MA, Rabu (24/2).

“Tidak ada itu ceritanya ditunda, tidak mungkin karena ini kan ada SOP (Standard Operating Procedure)-nya, apa mau dipecat panitera mudanya? Dia yang ditangkap itu kan tidak ada hubungannya dengan saya.”

Soeroso yang merupakan panitera pidana dan perdata MA meyakini bahwa Andri tidak punya kewenangan untuk menunda pengiriman salinan putusan.

“Seluruh perkara MA itu pidana dan perdata lewat saya, yang bodoh itu yang memberikan duit. Mestinya harus dilihat perkara pidana itu tidak akan bisa ditolong. Kutipan putusan itu satu hari setelah dibacakan putusan baru dikirim, tidak ada alasannya makanya memperkambat putusan itu mana ada.”

Menurut Soeroso website MA akan mempublikasikan putusan dalam waktu 1 x 24 jam.

Pengusaha Ichsan Suadi yang diduga menyuap Andri mengajukan kasasi ke MA, dalam perkara tindak pidana korupsi proyek pembangunan dermaga Pelabuhan Labuhan Haji di Kabupaten Lombok Timur.

Majelis kasasi yang terdiri atas MS Lumme, Krisna Harahap, dan Artidjo Alkostar pada 9 September 2015 menolak kasasi yang diajukan dan menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun ditambah denda Rp 200 juta subsidair enam bulan penjara serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 4,46 miliar subsidair 1 tahun penjara.

“Putusan sudah dikirim, kamis yang lalu. Putusannya kan bulan desember, tapi hari itu satu hari kan sudah dikirim. Proses pengiriman salinan itu 3 bulan maksimal tapi untuk perkara pidana satu hari.”

Pengiriman salinan putusan memang lama karena harus diketik dan diperiksa tiga hakim agung lebih dulu. Apalagi panitera pengganti untuk perkara Ichsan di MA sudah meninggal dua bulan lalu.

“Paniteranya sudah meninggal dua bulan lalu, makanya ini lama, tapi salinan sejak kutipan putusan sudah putus sudah bisa (dikirim), tidak ada alasan menunda tapi eksekusi kan kewenangan jaksa, bukan kewenangan hakim.”

Sedangkan Panitera Muda pidana khusus Rocky Panjaitan juga menegaskan bahwa putusan perkara Ichsan sudah dikirim, namun salinan masih ada di majelis kasasi.

“(Salinan) masih di majelisnya Pak Artidjo dan operator, nanti yang kirim berkas saya tapi berkasnya masih di majelisnya. Ini karena panitera penggatinya meninggal, jadi dicari operatornya,” kata Rocky.

KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini berdasarkan Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan pada Jumat (12/2) yaitu Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus Andri Tristianto Sutrisna, Direktur PT Citra Gading Asritama (CGA) Ichsan Suaidi dan pengacara Awang Lazuardi Embat.

KPK menyangkakan kepada Andri pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan Ichsan dan Awang disangkakan pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu