Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (ketiga kiri) didampingi Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Anggoro Eko Cahyo (tengah), berfoto bersama Menteri Kordinator Bidang Perekonomian RI Darmin nasution (ketiga kanan), Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati (kedua kiri), Menteri Komunikasi dan Informatika RI Rudiantara (kedua kanan), Menteri Sosial RI Khofifah Indar Parawansa (kiri) dan Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Konsultan, Kementerian BUMN RI Gatot Trihargo, usai peluncuran  Gerbang Pembayaran Nasional di Jakarta, Senin (4/11/2017).  Gerbang Pembayaran Nasional diluncurkan dalam rangka memastikan terselenggaranya pemrosesan seluruh transaksi pembayaran ritel domestik secara interkoneksi dan interoperabilitas yang aman, efisien, andal, dan lancar.  AKTUAL/Eko S Hilman

Jakarta, Aktual.com – Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) menyebutkan bahwa para pelaku industri pembayaran diharapkan mengintegrasikan sistem pembayaran ritel di Indonesia. Selain itu, setiap nasabah atau pemegang kartu ATM/debit diwajibkan untuk memiliki minimal satu kartu berlogo GPN per tanggal 1 Januari 2022. Namun, ternyata tidak semua masyarakat tahu terkait peraturan baru Bank Indonesia tersebut.

“Sejak tahun 1995 Visa dan Mastercard masuk ke Indonesia sebagai jaringan sistem pembayaran maka kita membayar fee kepada mereka. Kalau kita hitung, kerja sama dengan pihak switching sekitar Rp322,29 triliun selama 2011 hingga 2017,” ujar AVP Pengembangan Bisnis Kartu Debit BNI, Dedy Hidmat.

Melihat hal tersebut, BI kemudian membuat roadmap tahapan-tahapan yang bisa direkomendasikan untuk kedaulatan dan efisiensi sistem pembayaran. BI akhirnya menciptakan GPN. Bahkan GPN nantinya diharapkan dapat memantau transaksi dalam negeri untuk meningkatkan pendapatan pajak.

“Pemerintah butuh pendapatan, dengan adanya GPN, pemerintah bisa mengetahui perputaran uang dengan kartu di dalam negeri. Artinya, pajak akan diketahui berapa besarannya,” jelasnya.

Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia, Willy Sakareza menilai produk yang dikeluarkan Bank Indonesia seharusnya menjadi solusi dari permasalahan yang ada di masyarakat saat ini. Apabila produk tersebut tidak memecahkan permasalah yang ada, hanya akan menjadi beban bagi masyarakat.

“Kalau GPN mau sukses, di standarkan terlebih dahulu, rincikan lebih dahulu. Pasalnya, nanti apabila pada akhirnya sistem GPN tidak bagus, pasti konsumen akan membandingkan dengan sistem sebelumnya. GPN akan terlihat jeleknya seperti apa, sedangkan nilai baiknya seperti apa justru malah tidak nampak,” jelasnya.

Dirinya mempertanyakan GPN yang dibuat sekarang apakah memiliki dampak positif ke konsumen, kemudian bagaimana sistem pembayarannya, ujung-ujungnya yang penting yang bayar, merchant.

“Akhirnya nanti ada muncul, dengan adanya GPN kok jadi susah bayar, kok jadi ribet, kok harus ganti kartu. Nah ini sebetulnya masalah apa dari sisi konsumen yang dipecahkan GPN,” terangnya.

Seharusnya, produk yang bagus bisa memberikan solusi sistem pembayaran bagi konsumen. Sedangkan GPN itu problem apa yang dipecahkan belum maksimal. Bahkan sampai sekarang masih ada merchant yang membebankan biaya 3 persen untuk transaksi menggunakan kartu meskipun dilarang BI.

Dirinya juga mempertanyakan Scalability GPN, apabila terjadi transaksi besar-besaran dalam hitungan detik. Pasalnya, belum lama ini Bank dalam negeri pernah mendadak offline karena kelebihan kapasitas yang berakibat merugikan nasabahnya sendiri.

Bank Indonesia juga seharusnya bisa merinci lebih detil dan membuat GPN lebih bagus dari sistem sebelumnya. Begitu pula stakeholder seharusnya menyasar 60 persen konsumen yang belum terakses perbankan, bukan yang ada mengubah non GPN menjadi GPN. Lebih bagus lagi, GPN diterapkan lebih dahulu di wilayah timur yang Bankable (masyarakat punya akses perbankan) masih rendah sekaligus memperluas akses perbankan daerah.

“Pertama, aturannya seperti apa harus diperinci. Misalkan asing (Visa dan Master) sudah bagus 90 persen, maka kita harus 91 persen. kalau bertahap, sekarang 80, nanti 85, kemudian 90 ya konsumen dan merchant jangan dipaksa menggunakan GPN, biarkan organik saja, atau pakai promo. Kalau benar-benar belum siap, setidaknya diperbaiki dulu. Tes dulu, jangan main nasional tapi regional atau daerah dulu, misalnya daerah timur yang penetrasi bank belum bagus. Itu namanya spirit Problem solving,” jelasnya.

Salah satu peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Chaikal Nuryakin menyebutkan, bahwa tim menemukan fakta bahwa GPN akan menurunkan biaya merchant discount rate atau MDR hingga 47 persen sehingga akan memicu lebih banyak transaksi non tunai, tetapi penurunan tersebut dapat menurunkan penerimaan bank hingga 77 persen (untuk bank issuer) dan 20 persen (untuk bank acquirer).

“Sebagai akibatnya, dapat terjadi penurunan terhadap dorongan bagi bank issuer untuk berinovasi pada produk kartu debit dan bank acquirer untuk mengakuisisi lebih banyak merchant,” jelas Chaikal.

Selain itu, ada potensi inefisiensi biaya muncul dalam penyelenggaraan GPN dengan pencetakan kartu baru bank issuer yang diperkirakan mencapai Rp585 miliar dalam empat tahun ke depan.

Di sisi lain, kewajiban setiap nasabah untuk memiliki minimal satu kartu GPN akan mengakibatkan banyak kartu yang tidak digunakan atau dormant, dikarenakan dianggap tidak kompatibel, terutama untuk kebutuhan transaksi di luar negeri dan transaksi daring (e-commerce). Dari sisi nasabah, mereka akan dibebani oleh kemunculan biaya administrasi untuk kepemilikan kartu tambahan tersebut.

Dari Segi keamanan, pemrosesan dilakukan melalui lembaga switching domestik, padahal kebanyakan lembaga switching tersebut sebelumnya hanya merupakan penyelenggara jasa switching untuk jaringan ATM.

“Kami menilai perlu adanya peninjauan ulang terhadap kewajiban pemrosesan seluruh transaksi domestik melalui GPN. Penerapan GPN akan membawa berbagai dampak positif bagi sistem pembayaran di Indonesia namun belum optimal dari segi efisiensi, perlindungan konsumen, dan kompetisi, serta tidak sejalan dengan praktik internasional,” jelasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka