Pasal Karet UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) atau UU Nomor 11 tahun 2008 berkali-kali terbukti mengancam kebebasan pers di Indonesia. UU ini bukan hanya mengancam jurnalis, tetapi juga kebebasan pers yang diusung media.

UU ITE mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam UU ini, yang berada di dalam maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di dalam dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Kasus konkretnya terjadi belum lama ini. Pada 25 April 2017, Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo melaporkan media online Tirto.id. dengan tuduhan melakukan fitnah dan pencemaran nama baik ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Laporan itu diterima Polda Metro Jaya dengan kasus dugaan pencemaran nama baik melalui media elektronik, dengan terlapor diancam dengan Pasal 310 KUHAP atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 27 Ayat 3 Jo Pasal 45 A Ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.

Langkah  serupa juga hampir digunakan oleh Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Meskipun belakangan sikap TNI melunak dan tidak jadi melaporkan ke kepolisian, tetapi ke Dewan Pers.

Laporan ini dipicu sejak dimuatnya tulisan jurnalis investigasi asal Amerika Serikat, Allan Nairn, di media Tirto.id dengan judul “Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar”.  Tulisan itu adalah alihbahasa dari tulisan Nairn berjudul “Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President,” yang pertama kali diluncurkan di situs The Intercept.

Tulisan itu menyebutkan, kasus Al Maidah yang menyangkut penistaan agama oleh Ahok hanyalah pintu masuk untuk menggulingkan pemerintahan Jokowi. Tulisan itu menyebut sejumlah nama, sipil maupun militer aktif dan pensiunan, yang terlibat di dalam rencana maker. Seperti: Fadli Zon, Hary Tanoesoedibjo, Munarman, Kivlan Zein, Tommy Soeharto, SBY, Gatot Nurmantyo, Prabowo, Ryamizard Ryacudu, Wiranto dan sejumlah nama lain, termasuk Donald Trump, Mike Pence dan Freeport.

Dalam keterangan persnya, kuasa hukum Hary Tanoesoedibjo mengatakan, alasan pelaporan karena tulisan di Tirto.id bukan produk jurnalistik. Karena itu pihaknya menempuh jalur hukum ketimbang mengadu ke Dewan Pers.

“Ini tulisan dari orang yang baru bangun tidur berilusi. Dia merasa menjadi spionase, dia tulis dan dimuat, tapi hati-hati tuduhan ini tidak main-main, tuduhannya ini makar,” ujar Ketua Bidang Hukum dan Advokasi DPP Perindo, Christophorus Taufik kepada sindonews, Selasa (25/4).

Sedang Mabes TNI mengatakan lewat siaran pers 21 April 2017 bahwa berita tersebut adalah berita bohong (hoax). “Jadi mengenai tulisan Allan Nairn, saya menyatakan yang berkaitan dengan TNI itu hoax,” kata Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto pada detikcom, Jumat (21/4).

Wuryanto menyatakan, TNI mempertimbangkan untuk melapor ke polisi. Namun belakangan Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan, itu tak akan dilakukan.

Berkaitan dengan hal tersebut, kita melihat bahwa tindakan pelaporan pidana terhadap pemberitaan tirto.id oleh Hary Tanoesoedibjo perlu dikritisi, karena sebagaimana dalam UU Pers bahwa pekerjaan media dilindungi oleh UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Persoalan pemberitaan seharusnya terbebas dari ancaman pemidanaan. Jika ada keberatan terkait pemberitaan, langkah yang harus diambil Hary Tanoe adalah mengajukan hak jawab atau hak koreksi atau mengadukannya kepada Dewan Pers. Karena Dewan Pers mempunyai kewenangan untuk menilai kode etik wartawan atau media yang dianggap mencemarkan nama baik.

Kita juga perlu mendorong Mabes TNI dan pihak-pihak lain yang merasa dirugikan oleh tulisan di media Tirto.id tersebut, untuk menempuh jalur sengketa pers yang akan dimediasi oleh Dewan Pers. Jadi, bukan menggunakan pasal defamasi di dalam UU ITE.

Kita khawatir, jika tindakan Hary Tanoesoedibjo ini dibiarkan, akan memberi dampak ke depan. Semakin banyak orang akan mempidanakan media, jika ada persoalan pemberitaan yang menurutnya tidak menguntungkan salah satu pihak. Dan semangat tersebut adalah semangat yang jauh dari menjunjung tinggi kemerdekaan pers.

Maka, Kapolda Metro Jaya perlu berkoordinasi dengan Dewan Pers  dan meminta pelapor untuk menggunakan jalur sengketa pers, dengan mengadukan pemberitaan kepada Dewan Pers. Hal ini sesuai dengan MOU Kesepahaman antara Kapolri dengan Dewan Pers, tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakkan Hukum.

Dewan Pers juga diharapkan proaktif dan berkoordinasi dengan Kapolda Metro Jaya, dalam upaya dekriminalisasi media tirto.id. Kemudian Dewan Pers memeriksa pemberitaan tirto.id, sebagaimana pedoman kode etik jurnalistik Dewan Pers.

Kepada Hary Tanoe, diharapkan untuk mencabut aduannya pada media Tirto.id dan mendorong penyelesaian melalui mekanisme Dewan Pers, karena pekerjaan jurnalistik telah dilindungi oleh UU Pers.

Sedangkan Mabes TNI dan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh tulisan di Tirto.id diharapkan menempuh cara penyelesaian melalui mekanisme Dewan Pers. Ini lebih baik, daripada menggunakan pasal defamasi di UU ITE yang anti-demokrasi. ***

 

 

 

Artikel ini ditulis oleh: