Petani memanen cabai merah di Pamekasan, Jawa Timur, Senin (28/9). Dalam dua pekan terakhir harga cabai merah ditingkat petani turun dari Rp15 ribu per kg menjadi Rp10 ribu per kg karena di sejumlah daerah masuk musim panen. ANTARA FOTO/Saiful Bahri/nz/15

Yogyakarta, Aktual.com – Pemerintah tidak bisa serta-merta menyebut cuaca sebagai faktor utama dari kenaikan harga cabai belakangan ini. Intensitas curah hujan yang tinggi disebut menahan petani untuk melakukan panen. Sebagai perishable food, cabai dikhawatirkan akan semakin cepat busuk dalam kondisi udara lembab.

Pakar Kebijakan Pangan dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijan Universitas Gadjah Mada, Evita Hanie Pangaribowo, dalam siaran pers Sabtu (14/1) menyampaikan, kasus naiknya harga cabai perlu dilihat dari berbagai aspek. Jika pemerintah mengklaim bahwa ini terkait cuaca, maka hanya aspek produksi yang dilihat. Padahal, persoalan harga terkait dengan banyak aspek terutama rantai distribusinya.

Pemerintah kata dia sebetulnya bisa memetakan hulu hingga hilir distribusi bahan pangan agar lebih mudah mengidentifikasi titik apa yang paling mempengaruhi kenaikan harga. Selanjutnya, menentukan bentuk intervensi yang tepat guna menstabilkan harga cabai. Bukan hanya dari aspek produksi, mengingat pasokan cabai rawit secara nasional sebetulnya masih surplus. Kebutuhan konsumsi masyarakat mencapai 68 ribu ton, sementara total produksinya masih aman di angka 73 ribu ton.

“Kita tidak tahu siapa sebetulnya yang paling mendapatkan keuntungan dari ini. Jika harga cabai tinggi, seharusnya petani bisa meraup untung yang lebih dari biasanya. Tapi, ini tidak demikian,” kata Evita.

Evita kembali mengatakan, jika pemerintah bersikukuh bahwa ini merupakan persoalan cuaca, maka pemerintah pun seharusnya memikirkan mekanisme yang tepat untuk membantu petani menghadapi perubahan cuaca. Hasil pertanian memang sangat rentan terhadap perubahan cuaca. Saat cuaca ekstrim, gagal panen bisa saja terjadi dan ini merupakan pukulan telak bagi para petani. Beberapa bahkan ada yang sampai harus menjual aset untuk menutup kerugian.

Belakangan, banyak studi yang membahas tentang agricultural insurance atau weather insurance sebagai salah satu bentuk jaring pengaman sosial bagi para petani. Mekanisme asuransi diterapkan guna menghindarkan petani dari kerugian yang lebih karena kondisi yang rentan dan tidak pasti. Selain itu, asuransi juga bisa menjadi katalisator seperti pemberi pinjaman modal bagi petani untuk meningkatkan produktivitasnya.

Evita menceritakan, beberapa negara seperti India, Ghana, dan Ethiopia sudah menerapkan program ini meski masih dalam tahap proyek percontohan (pilot project). Hasil studi pemantauan dan evaluasi menunjukkan, ada perubahan perilaku petani setelah dia mengikuti program asuransi. Di India misalnya, para petani mulai berani untuk beralih menanam tanaman yang berisiko terhadap curah hujan. Kekhawatiran mereka berkurang dan harapan untuk mendapatkan nilai jual lebih tinggi bertambah.

“Jika pola ini mau diadopsi, pemerintah bisa bekerja sama dengan sektor swasta yang bergerak di jasa asuransi. Memang tidak mudah mendorong investasi di bidang ini karena less profitable atau keuntungannya kecil,” jelas Evita.

Namun begitu, kebijakan ini bisa ditempuh karena memiliki efek keberlanjutan atau sustainable. Pemerintah bisa berperan untuk mencari potensi kerja sama dalam rangka membangun jaring perlindungan bagi petani. Langkah ini dinilai lebih efektif dibandingkan dengan mengatur harga bahan pokok. Karena meski sudah diatur oleh pemerintah, seringkali pada prakteknya harga tersebut tidak berlaku sepenuhnya. Petani mendapatkan harga yang berbeda-beda. Konsumen pun demikian karena mata rantai distribusi yang berbeda-beda.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan