Yudi Latif - Makrifat Pagi. (ilustrasi/aktual.com)
Yudi Latif - Makrifat Pagi. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, AKtual.com – Saudaraku, jika kau punya banyak, berikan hartamu. Jika kau punya sedikit, berikan hatimu.

Manusia tak pernah kekurangan apa yang dapat diberikan. Makin banyak memberi, makin banyak menerima; melimpahkan kesuburan dan kesejahteraan negeri.

Tubuh dan mental manusia senantiasa menjalin relasi saling memberi dan menerima dengan semesta. Mencipta, mencintai, dan menumbuhkan menjamin keberlangsungan relasi jagad kecil dan jagad besar. Semakin banyak kita memberi, makin terlibat dalam sirkulasi energi semesta; berujung kelimpahan apa yang kita peroleh dalam bentuk cinta, materi, dan ketenteraman.

Maka, jika kita memberi, berilah dengan senang hati. Jika hendak diberkati, berkatilah sesama dengan mengirimkan percikan pemikiran positif. Jika kita tak punya uang, berikanlah pelayanan. Selalu ada yang bisa diberikan.

Jika kau berharap menjadi permata, bukalah lautan ketulusan di kedalaman hatimu. Jangan jadikan perut-jiwamu jadi kuburan bagi sesama.

Keikhlasan memberi dan melayani adalah kunci kemakmuran negeri. Tindakan yang didorong ketulusan menghasilkan energi berlimpah untuk menggerakan roda kehidupan.

Perbuatan dengan modus riya, hasrat menimbun dan menguasai orang lain, menyita banyak energi yang terbuang percuma. Motif pemujaan diri menempatkan manusia dalam posisi defensif, senantiasa menyalahkan orang lain.

Keinsyafan nawas diri pudar, mengabaikan
ketersediaan pilihan terbaik yang menunggu dengan kepakan sayapnya.

Bila kehidupan negeri ini serba kekurangan, bukan karena kurang memiliki, melainkan kurang semangat berbagi. Kalangan yang berkecukupan justru pihak yang tak kenal henti mengambil hak yang berkekurangan.

Betapa banyak kuasawan dan hartawan yang berperangai bak pengemis. Di dalam mentalitas pengemis, tak akan pernah ada kecukupan, tak akan bersemi jiwa pengorbanan.

Elit negeti tak terbiasa lagi meletakkan tangan di atas, melainkan senantiasa di bawah. Mereka mengalami kemiskinan permanen karena tak pernah merasa cukup menimbun dan mengambil hak orang banyak.

Dalih ketidakcukupan dijadikan alasan untuk terus menggelembungkan aneka tunjangan dan penyalahgunaan wewenang.

Tabiat demikian melenceng jauh dari kesadaran etis pendiri bangsa. Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim pada dekade 1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata: “Betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.”

Bangsa Indonesia telah lolos dari berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan. Daya hidup dan karakter keindonesiaan itu justru goyah saat ketamakan dan kezaliman kuasa menari di atas penderitaan rakyat banyak.

Pengemban amanat rakyat harus menjunjung cita-cita moral rakyat yang luhur. Kepekaan etis senantiasa menempatkan keadilan dan kepatutan sebagai laku hidup. Dalam rasa keadilan, pejabat negara dalam perilaku dan gaya hidupnya harus menenggang simpul terlemah dari jutaan rakyat kecil yang terempas dan terputus.

Terhadap elit negeri yang tak kenal cukup, rakyat harus berhenti menanti diimingimingi. Seseorang datang hendak memberi uang kepada sufi Ibrahim bin Ad-ham. ”Aku tak mau terima sesuatu pun dari pengemis,” ujar Ibrahim. ”Tetapi aku seorang yang kaya,” ujar orang itu. ”Apakah engkau masih menginginkan kekayaan yang lebih besar dari yang telah engkau timbun sekarang?,” tanya Ibrahim. ”Ya”, jawabnya. ”Bawalah kembali uang ini! Engkau adalah pemimpin dari para pengemis.”

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid