Jakarta, Aktual.com — Pengadilan Myanmar, Selasa (26/4), menjatuhkan hukuman penjara enam bulan dengan kerja paksa terhadap mantan biksu dan pemimpin pemberontakan terhadap tentara penguasa pada 2007 atas tuduhan pelanggaran imigrasi, kata pernyataan salah satu anggota pembelanya.

Namun, dia sepertinya segera dibebaskan karena masa penahanan sudah dijalani.

Putusan tersebut keluar di tengah kegembiraan meluas seiring dengan pembebasan dan pencabutan tuduhan terhadap 100 tahanan politik, sejak Partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), berkuasa pada awal bulan ini.

Nyi Nyi Lwin, yang lebih dikenal sebagai Gambira, ditangkap pada Januari atas tuduhan memasuki Myanmar dari Thailand secara gelap.

Dia ditahan tanpa jaminan sejak dijebloskan ke penjara di Mandalay, kota kedua terbesar di Myanmar.

Myo Min Zaw selaku asisten tim pengacara Gambira, menyatakan bahwa Pengadilan Mandalay menjatuhkan vonis enam bulan dan hukuman kerja kepada kliennya, namun putusan tersebut dikurangi karena klienya sudah menjalani masa hukuman sementara.

“Karena klien kami menjalani hukuman penjara selama beberapa bulan selama persidangan, maka dia hanya menjalani sebulan atau dua bulan lagi. Oleh sebab itu, kami tidak akan mengajukan banding atas hukuman tersebut,” kata Myo Min Zaw.

Gambira dibebaskan dari penjara setelah mendapatkan amnesti umum pada 2012, satu tahun setelah junta militer menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan semisipil, setelah 49 tahun memimin pemerintahan di negara Asia Tenggara itu.

Sejak dibebaskan, Gambira membagi waktunya antara di Myanmar dan Thailand, namun pihak berwenang di Myanmar menangkap dia kembali selama beberapa saat, yang digambarkan oleh keluarga dan aktivis HAM sebagai tindakan terus-menerus atas sikap kritisnya terhadap pemerintah.

Perhimpunan Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), salah satu kelompok pejuang HAM yang mendukung dan mengawasi tahanan politik di Myanmar, menganggap bahwa tuduhan tersebut mengada-ada, sebagaimana komentar yang diposting di Twitter setelah putusan majelis hakim terhadap Gambira.

“Kasus Gambira beraroma politis dari junta militer yang tersingkir,” kata Wakil Direktur Pengawasan HAM yang membawahi Asia, Phil Robertson, dalam pernyataannya.

Pada 2007, Gambira muncul sebagai tokoh yang memimpin protes massa atas situasi di Myanmar dan pemerintahan menindas yang kemudian menjadikan Than Shwe sebagai diktator yang dikenal dengan sebutan Revolusi Saffron.

Saat menanggapi gerakan itu, pemerintah bertindak keras dengan menembak pengunjuk rasa dan melakukan pembersihan terhadap yang terlibat.

Laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa mendapati bahwa sedikitnya 31 orang tewas oleh pasukan keamanan dan ribuan lainnya ditahan.

Masa penahanan Gambira atas perannya dalam unjuk rasa mengubahnya menjadi salah satu tahanan politik terkemuka di Myanmar. Beberapa anggota keluarganya juga ditahan.

Sementara itu, di dalam tahanan, Gambira berulang kali dipukuli dan disiksa, demikian pernyataan dia dan pegiat HAM seperti Amnesti Internasional dan Pengawas HAM.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Nebby