Polemik Kontrak Karya PT Freeport Indonesia (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com — Mantan Wakil Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), Maroef Sjamsoeddin harus ikut dijerat dalam kasus dugaan pemufakatan jahat terkait lobi pembaharuan kontrak PT Freeport Indonesia, yang saat ini tengah ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Kejagung sendiri menduga ada pemufakatan jahat yang disinyalir dilakukan oleh Ketua DPR, Setya Novanto dalam lobi pembaharuan kontrak Freeport, sehingga memunculkan suatu tindak pidana korupsi yang tidak berdiri sendiri.

Mengomentari dugaan Kejagung, pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda menegaskan bahwa dugaan pemufakatan jahat harus disandingkan dengan tindak pidana korupsi lainnya, misalnya penyalahgunaan wewenang atau penyuapan.

“Pasal 15 (Undang-undang Tipikor tentang pemufakatan jahat) itu kan tidak bisa berdiri sendiri. Harus mengacu pada Pasal lainnya. Harus di juncto, antara Pasal 2 sampai dengan Pasal 13,” ujar Chairul di Jakarta, Kamis (10/12).

Menurut dia, Pasal yang paling relevan untuk kaitkan dengan pemufakatan jahat ialah Pasal 12, yakni tentang penyuapan. Kalau itu yang diyakini oleh Muhammad Prasetyo Cs, secara otomatis si pemberi suap juga harus dijerat.

Terkait kasus tersebut, yang dapat dikatakan sebagai pemberi suap ialah Freeport Indonesia, dalam hal ini Maroef, selaku Presiden Direktur. “Kalau Kejaksaan mau, yang paling mungkin Pasal 15 juncto Pasal 12. Tapi kalau suap, Maroef Sjamsoeddin kena. Karena dia pemberi suap. Jadi nggak sederhana juga. Nggak mungkin yang menyuap setan. Tapi ingat, keduanya harus kena,” ujar dia.

Lain hal jika pemufakatan jahat itu dikaitkan dengan Pasal dalam UU Tipikor tentang pemerasan. Menurutnya, akan sangat sulit jika Kejagung mau menyangkakan Setnov dengan Pasal pemerasan.

Chairul melihat, pertemuan antara Setnov dengan Maroef yang dikatakan Kejagung sebagai pemufakatan jahat, tidak terlihat adanya unsur paksaan. Dia pun meyakini jika kedua belah pihak ‘menikmati’ adanya pertemuan tersebut.

“Kalau pemerasan itu kan berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan. Nah, kalau (pemerasan) itu harus terbukti bahwa pertemuan itu Setnov yang meminta,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu