Sengketa bisnis yang melibatkan pelaku bisnis internasional tidak jarang berujung pada arbitrase internasional.

“Terbukti, jumlah kasus sengketa bisnis yang melibatkan perusahaan Indonesia di tingkat arbitrase internasional pun makin meningkat tajam,” sambungnya.

Wincen menjelaskan, arbitrase layaknya seperti pengadilan swasta, di mana para pihak berperkara dapat menunjuk arbiter (hakimnya). Arbitrase juga menyidangkan perkara untuk tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak dikenal istilah banding atau kasasi. “Di samping itu karena perkara diadili oleh arbiter yang ditunjuk oleh pihak berperkara, sehingga arbiter/hakim benar-benar menguasai masalah. Misalnya untuk perkara konstruksi dapat dipertimbangkan untuk ditunjuk arbiter yang ahli di bidang konstruksi,” kata Wincen di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Wincen menambahkan arbitrase menjadi sarana untuk penyelesaian sengketa bisnis internasional populer karena diakui oleh 159 negara. ”Jadi misalnya ada sengketa antara perusahaan Indonesia versus perusahaan Republik Rakyat Tiongkok di Singapura dan diselesaikan melalui arbitrase. Kemudian, pihak Indonesia menang dan ternyata aset perusahaan RRT berada di Russia, Australia, dan Inggris, maka putusan arbitrase pada umumnya dapat dieksekusi di sejumlah negara tersebut dengan beberapa catatan,” jelasnya.

Hal ini berbeda apabila sengketanya diadili di pengadilan asing. Pengadilan negara lain pada umumnya tidak akan mau melaksanakan putusan pengadilan asing apabila tidak ada dasar perjanjian internasional. “Selain itu, setiap negara punya kedaulatan masing-masing jadi tidak bisa putusan pengadilan Singapura dilaksanakan di Indonesia, tanpa adanya dasar perjanjian internasional, kecuali dalam kerangka arbitrase internasional,” ungkap Wincen.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin