Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria mengatakan jika pasca 2045 dimana sumber daya alam akan mulai habis khususnya pertambangan seperti minyak, emas, batubara, dan sebagainya, maka negara-negara di dunia akan mencari tanah yang subur untuk kehidupan, dan itu adalah Indonesia.

Indonesia sebagai negara tropis yang terletak di garis katulistiwa (ekuator) yang akan kaya hayati, akan diperebutkan oleh dunia. Karena itu pula ia menyatakan perlunya sistem dan regulasi yang memadai.

“Kalau tidak, maka rakyat akan selalu terpinggirkan, mati dan terbunuh akibat kehilangan tanahnya,” kata Riza dalam diskusi di Gedung DPR RI, Senayan, Selasa (11/4).

Ke depan, diperkirakan dia akan ada konflik dan perang untuk mencari tanah yang subur tersebut. Keberadaan Undang-Undang Pokok Agraria menurutnya sudah bagus. Hanya saja perlu disempurnakan sejalan dengan perkembangan zaman.

“Revisi UU PA ini usulan DPR tahun 2015 dan Kementerian BPN/ATR Sofyan Djalil berjanji akan menyelesaikan masalah ini dengan menteri terkait untuk mensinergikan regulasinya agar tidak tumpang-tindih dan masing-masing lembaga terkait itu tidak mempunyai UU sendiri-sendiri,” ucapnya.

Ia juga mengingatkan dengan regulasi itu negara harus hadir dan jangan sampai kalah dengan pemodal, aparat, dan pejabat negara dimana rakyat hampir selalu dikalahkan dalam masalah tanah tersebut.

Anggota Komisi II DPR RI Ammy Amalia Fatma Surya menyatakan, revisi UU PA ini akan ada pengadilan khusus agraria sebab proses tanah melalui pengadilan umum sangat lama. Bahkan membutuhkan 6 – 7 tahun sehingga tidak memberikan kepastian hukum masyarakat.

“Ke depan pengadilan tanah cukup melalui dua tingkatan; yaitu di provinsi dan Mahkamah Agung (MA), agar prosesnya lebih cepat,” ungkapnya.

Revisi UU PA juga akan menyentuh pembatasan penguasaan dan kepemilikan lahan oleh perorangan, perusahaan dan koorporasi lainnya. Karena itu melalui revisi ini akan diatur baik maksimal maupun minimalnya kepemilikan tanah.

“Langkah ini untuk asas pemerataan dan keadilan tanah bagi rakyat Indonesia,” imbuhnya.

Sementara itu Iwan Nurdin dari Dewan Nasional Pembaruan Agraria mengatakan aturan tanah ini masih tumpang-tindih khususnya di Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan masih terjadi ‘bisnis’ lahan, bukan menjaga hutan. Tapi, KLH menolak diadministrasi -register- padahal Belanda saja bersedia meregister.

“Kalau tidak, maka 100 Ha hak pengusahaan hutan (HPH) yang diizinkan banyak yang disalahgunakan sehingga berubah menjadi 200 Ha bahkan 2.000 Ha dan seterusnya,” tegas Iwan.

“Aturan tanah ini harus secepatnya diselesaikan. Sebab, di tahun 2016 saja ada 1,2 juta Ha dan 418 kasus tanah. Ada ketidakadilan masalah tanah untuk rakyat dan termasuk tertinggi di Asia,” sambungnya.

Artikel ini ditulis oleh: