Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sebelum melakukan pertemuan tertutup di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (30/7). Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari komunikasi politik yang dibangun kedua partai untuk Pilpres 2019. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Dua poros kekuatan politik jelang kontestasi Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 semakin menunjukkan geliat persaing menggebu-gebu.

Namun dua poros koalisi belum menunjukkan titik terang, meskipun ada beberapa kecenderungan yang menunjukkan hiruk pikuk ini akan segera mencapai titik klimaks.

Poros pendukung Jokowi dengan sokongan enam parpol di parlemen sepertinya masih menunggu momentum dan mengulur waktu untuk mengumumkan siapa yang akan menjadi cawapres pendamping Jokowi.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, melalui keterangan tertulis yang dikirim kepada Aktual, mengatakan bahwa parpol koalisi petahana telah menyerahkan sepenuhnya posisi Cawapres kepada Jokowi.

“Sembari terus memberikan pancingan untuk dapat membaca sinyal, mengintip, main mata dan sambil menunggu bola pantulan koalisi,” kata Jumat (3/8).

Sebaliknya, di kubu sebelah, Gerindra Cs justru semakin mantap untuk memilih Prabowo Subianto sebagai jagoannya dalam Pilpres 2019.

Keyakinan itu, ujar Pangi, semakin melemahkan argumen sebagian kalangan yang menginginkan Prabowo menjadi King Maker dengan mengajukan nama lain.

Menurutnya, keyakinan Gerindra ini setidaknya disandarkan pada beberapa argumen. Pertama, rekomendasi ini adalah jawaban atas keraguan yang menyebut Prabowo bukanlah kandidat yang berpotensi menggulingkan Jokowi dalam Pilpres tahun depan.

Kedua, Pangi berpandangan jika ‘kenekatan’ Gerindra ini juga berdasar keyakinan terhadap rekanan setianya, yaitu PKS, yang tetap membangun koalisi bersama meskipun partai besutan Sohibul Iman itu memaksakan syarat Cawapres, di saat yang bersamaan.

Ketiga, dukungan Partai Demokrat akhirnya berlabuh ke Prabowo dan bergabung ke koalisi Gerindra-PKS dan PAN sebagai imbas tertutupnya pintu komunikasi SBY dengan barisan partai pengusung utama Jokowi terutama Megawati sebagai elite sentral PDIP.

Pangi mengatakan harus dicermati pernyataan SBY yang mengakui hubungan dengan Megawati Soekarnoputri masih ada jarak dan berusaha untuk dipulihkan 10 tahun terakhir, terkesan Megawati menjadi batu ganjalan sulitnya Demokrat berlabuh ke poros koalisi pengusung Jokowi.

“SBY dan Prabowo memimpin grand coalition atau koalisi gemuk tersebut dalam rangka semakin mengokohkan dan mematangkan Prabowo sebagai calon presiden yang tergabung dalam koalisi Demokrat-Gerindra-PKS dan PAN real sebagai sang penantang Jokowi,” ujarnya.

Keempat, menurut dia rekomendasi Ijtima’ Ulama GNPF yang semakin mengokohkan posisi Prabowo Subianto sebagai capres favorit pilihan umat yang menempatkannya pada posisi yang diharapkan dapat mengemban amanah dan menyuarakan serta memperjuangkan kepentingan umat.

Kelima menurut Pangi efek ekor jas atau “cotail effect” salah-satu pertimbangan paling rasional yang harus diambil oleh partai Gerindra atau partai manapun untuk menaikkan pamor partai bahkan dalam level tertentu.

Bagian dari upaya meyelamatkan partai dari keterpurukan sebagai konsekuensi logis diselenggarakannya pemilihan legislatif dan eksekutif yang serentak.

Situasi itu menurut dia setidaknya bisa dibaca dari hasil beberapa lembaga survei yang menunjukkan kecenderungan peningkatan perolehan suara dari partai yang diasosiasikan sebagai partai pendukung utama calon presiden seperti PDI-P dan Gerindra. Kedua partai ini mendapat limpahan berkah dengan peningkatan perolehan suara partai yang cukup signifikan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan