“Saya melihat pemilu model tersebut tidak akan ringkas dan sebaliknya saya sepakat jika Pemilu 2024 dilaksanakan 7 level sekaligus, sehingga masyarakat akan melakukan tujuh kali pilihan politik, cepat dan sederhana,” kata dia.
Menurutnya lagi, persoalan pokok sebenarnya bukan banyaknya level pemilu yang harus dipilih oleh rakyat akan tetapi persoalan sistem proporsional terbuka suara terbanyak yang membuat semuanya menjadi terlihat repot dengan banyaknya nama calon dan lainnya.
“Saya justru mendorong pemilihan legislatif kembali menggunakan proporsional tertutup, bukan seperti sekarang proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Proporsional tertutup adalah pilihan ideal jika kita menghindari sistem first past the post karena dianggap tidak akomodatif terhadap minoritas, walau dalam konteks Indonesia argumen ini mesti perlu dikaji lebih lanjut,” kata dia.
Ia juga menilai, metode pemilihan DPD-RI mesti ditinjau ulang dan jangan hanya memperhatikan aspek popular vote-ansich. Anggota DPD-RI mesti bisa mewakili keterpilihan di seluruh kabupaten/kota secara proporsional.
Arizka pun melihat soal pelaksanaan teknis pemilu yang terlihat kedodoran dan memahami akan kesulitan penyelenggara.
“Belum lagi selama ini framing kita terhadap pemilu terlalu political dan administrative-ansih dan selalu mengabaikan dampak elektoral dan teknis akibat keadaan geografis dan demografis dan wajar saja setiap pemilu persoalan pokok pemilu itu-itu saja,” kata dia pula.
Artikel ini ditulis oleh: