Selanjutnya, soal kampanye pemilu yang panjang, dia justru tidak sependapat dengan pandangan sebagian besar elit partai yang menyatakan bahwa jadwal kampanye yang panjang menyebabkan masyarakat menjadi terbelah.

“Sejauh pemantauan saya, masyarakat tidak ada yang terbelah dan kalau pun terbelah itu hanya sebatas ruang pemikiran dan itu biasa saja dalam alam demokrasi. Sebaliknya debat-debat politik di ruang publik mesti lebih digagas,” ujarnya lagi.

Arizka menjelaskan, argumen terbelah itu disebabkan karena tidak adanya tradisi berdebat warga negara dalam ruang publik yang seharusnya bisa menjadi faktor pemicu atau trigger factor pendewasaan kehidupan berdemokrasi bangsa.

Secara teknis misalkan, dia mengusulkan dua tahun menjelang pemilu, kampanye sudah dimulai, didahului dengan konvensi di internal partai politik mengenai siapa saja yang akan dicalonkan baik sebagai capres, cawapres, cagub, cabup, calon legislatif dan lainnya.

Perdebatan di internal partai justru akan menyegarkan memori masyarakat mengenai siapa yang layak akan dipilih sehingga voter akan lebih rasional dan tidak termakan isu hoaks ataupun kampanye hitam oleh sebab profil para calon sudah mewarnai ruang publik jauh sebelum pemilu berlangsung.

Sementara soal pemilu yang disatukan, menurutnya pemilu dengan 5 level pemilihan ini menguras energi dan secara teknis akan menyulitkan, dan bagaimana jika ditambahkan lagi dua pilkada (provinsi dan kabupaten/kota) pada Pemilu 2024. Ada usulan misalkan pemilu sebaiknya terbagi dalam dua level pemilihan, nasional dan daerah.

Artikel ini ditulis oleh: