Sejumlah polisi siap berjaga melakukan pengamanan Natal 2017 dan Tahun 2018 di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (24/12/2017). Fokus pengamanan adalah tempat-tempat hiburan dan tempat-tempat vital serta gereja kemudian jalur baik kereta, darat, udara, stasiun-stasiun di seluruh Tanah Air. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul meminta Polri agar mengevaluasi sistem prosedur pengamanan objek vital nasional (obvitnas) dan objek tertentu (obter) di seluruh kawasan pemerintahan.

Menurut Adib evaluasi perlu dilakukan pascakerusuhan unjuk rasa buruh ke kantor pusat pemerintahan/gubernur Banten pada Rabu (22/12) lalu.

“Polri sebagai alat negara pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, harusnya ikut bertanggung jawab secara penuh terkait dengan keamanan kantor-kantor pelayanan masyarakat. Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” ujarnya, Jumat (24/12).

Ia menilai, pada saat terjadinya kerusuhan peserta aksi demo buruh di Banten, ada standar manajemen pengamanan yang tidak berjalan dengan semestinya. Akibatnya pihak aparatur kemanan setempat pun kebobolan.

Padahal, katanya lagi, dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3/2019 tentang Pemberian Bantuan Pengamanan Pada Objek Vital Nasional dan Objek Tertentu, sangat jelas Polri wajib melakukan protap (prosedur tetap) dalam rangka menjaga, mencegah dan mengantisipasi terjadinya ancaman, gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat terhadap objek vital nasional dan objek tertentu.

“Mestinya lingkungan Pemerintahan Provinsi Banten yang merupakan salah satu simbol dari penyelenggara pemerintah daerah harus mendapatkan pengamanan ekstra dari gangguan ancaman maupun keamanan,” katanya.

Ia pun mendorong Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera melakukan evaluasi secara detail terhadap pelaksanaan dan penerapan manajemen keamanan kepolisian dalam menjaga obvitnas dan obter.

“Apabila nanti dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan kejadian ini akan terulang kembali di seluruh kantor-kantor pemerintahan,” ujarnya pula.

Dia tidak mempersoalkan aksi buruh yang menuntut peningkatan upah minimum provinsi (UMP) tersebut. Namun, peserta aksi buruh juga harus mengetahui bahwa penetapan standar upah minimum sudah dibahas dengan melibatkan pemerintah, pengusaha, dan perwakilan buruh. Jika kemudian ada persoalan, maka sebaiknya digugat secara hukum.

“Jangan sampai aksi-aksi buruh yang sejatinya ingin menyampaikan aspirasinya, berujung ditunggangi oleh kepentingan politik menjelang Pemilu 2024 mendatang,” kata dia lagi.

Kemudian, ia menambahkan, pihak aparat kepolisian juga mesti peka terhadap keamanan dan kondusivitas aksi unjuk rasa. Pasalnya, Polri sebagai institusi pelayan masyarakat harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman.

“Termasuk menjaga kondusivitas lingkungan perkantoran pemerintahan pusat maupun daerah. Karena ini terkait dengan kegiatan roda pemerintahan. Jika kemudian ada kejadian ricuh di lingkungan pemerintahan daerah, misalnya dalam hal ini Kantor Gubenur Banten, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi citra Polri. Netralitas Polri pun akan dipertanyakan jika terkesan melakukan pembiaran terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat mengancam keamanan lingkungan pemerintahan,” kata dia pula.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Andy Abdul Hamid