Jakarta, Aktual.co — Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dijadwalkan selesai pada 5 Desember 2014. 
Salah satu tujuan revisi tersebut adalah untuk menuntaskan konflik di DPR antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Menurut pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, Badan Legislasi (Baleg) harusnya melibatkan banyak pemangku kepentingan termasuk MPR, DPD, dan DPRD dalam pembahasan tersebut.
“Walaupun tidak ada kewajiban konstitusional melibatkan para pemangku kepentingan tsb, tidak ada salahnya DPR mendengarkan masukan dari DPD dan DPRD,” kata Masnur Marzuki ,di Jakarta, selasa (2/12)
Masnur menjelaskan, banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan melalui revisi UU MD3 selain menengahi konflik antara dua kubu koalisi di DPR. 
Pertama, mengadopsi putusan MK khususnya mengenai peran dan fungsi legislasi DPD RI dalam pengajuan RUU usul inisiatif dan pembahasan bersama RUU antara DPR-Pemerintah dan DPD. Yang kedua kata Masnur harus adanya revisi norma tata cara Pemilihan Ketua DPRD yang tidak paralel dengan tata cara pemilihan Ketua DPR.
Pasalnya pemilihan ketua DPRD dilakukan ditetapkan dari Parpol pemenang.
“Ini aturan yang bertabrakan dengan prinsip kesatuan norma dalam NKRI ,” tegasnya.
Ketiga Masnur menjelaskan adalah norma pelibatan aktif DPD dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas). Sehingga momentum revisi UU MD3 bisa mewujudkan tata kelola parlemen yang berimbang dan akuntabel sesuai prinsip dan mekanisme check and balances.
“Revisi UU MD3 haram hukumnya jika hanya dimaksudkan untuk mengakomodir upaya bagi-bagi kursi pimpinan Alat Kelengkapan Dewan di DPR,” pungkasnya

Artikel ini ditulis oleh: