Penonaktifan 243 Perguruan Tinggi (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com — Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid berharap pengelola pendidikan tinggi dapat menghindari terjadinya konflik internal. Terlebih, saat ini beberapa lembaga pendidikan tinggi dinonaktifkan oleh pemerintah terkait dengan adanya konflik internal tersebut.

Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu mengatakan, lembaga pendidikan tinggi harus dikelola secara profesional karena persaingan antarpendidikan tinggi sangat ketat. Selain itu, juga akan terbuka kompetisi dengan pendidikan tinggi mancanegara karena regulasi sudah memungkinkan untuk hal itu.

“Lembaga pendidikan tinggi yang tidak konflik saja tidak mudah untuk bisa berkembang, apalagi ditambah koflik internal yang menguras energi,” kata Edy yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi UII, Sabtu (2/1).

Dia juga mengatakan bahwa lembaga pendidikan tinggi di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan jangan merasa inferior, dan menerima saja stigma seolah sebagai pendidikan tinggi kelas dua.

“Lembaga pendidikan tinggi daerah tetap harus percaya diri dan menyiapkan lulusan yang mampu bersaing dengan lulusan dari kota-kota besar,” kata Edy.

Dengan standar kelulusan yang sama, kata dia, tidak ada alasan lulusan pendidikan tinggi daerah untuk minder, inferior, atau tersandera hanya bisa mengabdi di daerahnya. “Pendidikan tinggi daerah justru harus lepas dari kungkungan seolah sebagai lulusan dari kampus pinggiran,” katanya.

Untuk bisa seperti itu, kata dia, memang bukan hanya pengelola pendidikan tinggi harus progresif dan inovatif, melainkan juga perlu dukungan pemerintah lebih banyak, baik bantuan dosen maupun sarana dan prasarana.

“Perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah, pada pendidikan tinggi daerah seharusnya lebih besar dan lebih banyak, termasuk memberikan beasiswa,” katanya.

Menurut dia, cara itu bukan hanya bisa menguatkan pendidikan tinggi tersebut, melainkan juga mengurangi urbanisasi. Mereka tidak harus hijrah ke kota besar atau ke Pulau Jawa untuk kuliah, tetapi bisa tetap di kampung halamannya.

“Pendidikan tinggi yang berada di luar ibu kota provinsi, apalagi di luar Jawa, memang tidak serta-merta bisa sama dengan pendidikan tinggi kelas satu yang ada di Tanah Air, tetapi setidaknya bisa setara dengan di kota-kota besar pada umumnya,” kata Edy.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu